SUNNAH
SEBAGAI SUMBER DAN
DALIL HUKUM
A.
Pendahuluan
Allah Swt telah mempersiapkan Nabi Muhammad Saw dengan persiapan yang
matang dan sempurna untuk memikul risalah da’wah, menanamkan `aqidah
yang benar, serta mengajarkan syari’at kepada manusia. Karena itu Allah Swt
menurunkan sebuah kitab kepada Nabi-Nya Muhammad Saw, yang tidak ada keraguan
dalam kitab tersebut, yaitu al-Quran al-Karim. Kitab ini adalah mu’jizat
terbesar yang diberikan Allah Swt kepada Nabi-Nya, di dalamnya terdapat
keterangan dan dalil-dalil yang abadi tentang
kebenaran Nabi Muhammad Saw.
Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk menjelaskan semua yang
diturunkan kepadanya. Penjelasan dan keterangan inilah nantinya yang dinamakan
dengan Sunnah. Allah Swt berfirman dalam QS an-Nahl ayat 44:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya
:Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.
Kedudukan
Sunnah dalam pembinaan hukum Islam dan pengaruhnya dalam kehidupan kaum
muslimin tidak dapat diragukan. Barangsiapa yang menela’ah al-Quran dan Sunnah,
niscaya akan menemukan sumbangsih Sunnah dalam syari’at Islam. Namun masih ada
sebahagian orang-orang yang tidak menerima Sunnah sebagai sumber hukum, mereka
meragukan kehujjahan Sunnah. Akibatnya terjadilah pertentangan di kalangan Umat
Islam sendiri.
Untuk
menepis pendapat dan keragu-raguan para penentang Sunnah, maka penulis di sini
akan menjelaskan kembali tentang kehujjahan Sunnah dan kedudukannya dalam
syari’at, serta fungsi-fungsi Sunnah.
B.
Pengertian Sunnah
Secara etimologis, Sunnah berarti perjalanan, yang baik maupun yang buruk.[1]
Sesuai dengan sabda Rasul Saw.:
"من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها بعده من غير أن
ينقص من أجورهم شيء و من سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها
من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء"
Artinya: Siapa saja yang memberi contoh/tuntunan
perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut, serta
pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan
Siapa saja yang memberikan contoh jalan yang buruk, maka ia akan menadapatkan
dosa perbuatan tersebut dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa
mereka sedikitpun.
Sunnah menurut para leksikograf (ahli perkamusan) bahasa Arab berarti:
cara, jalan, aturan, model, atau pola bertindak.[2]
Sunnah juga berati lawan dari bid’ah.[3]
Menurut terminologi (syari’at), Sunnah adalah: Segala sesuatu yang diambil
dari Rasul Saw, berupa perkataan, perbuatan, keputusan, sifat fisik dan sifat
non fisik, atau perjalanan hidup, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul
atau setelahnya.[4]
C.
Kedudukan Sunnah
Umat Islam
sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah Saw. baik ucapan, perbuatan,
atau taqrir yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir dan ahad dengan
sanad yang shahih, wajib kita mengimani dan mengamalkannya. Sunnah menempati
kedudukannya yang sangat penting setelah al-Quran. Ia merupakan sumber kedua
dalam ajaran Islam, namun kewajiban mengikuti Sunnah sama wajibnya dengan
mengikuti al-Quran.[5]
Hal ini karena Sunnah mempunyai fungsi penting terhadap al-Quran. Tanpa
memahami dan menguasai Sunnah, siapa pun tidak akan bisa memahami al-Quran
dengan utuh. Sebaliknya orang yang tidak memahami al-Quran tidak akan bisa
memahami Sunnah, karena al-Quran merupakan dasar hukum pertama, yang di
dalamnya terdapat dasar dan garis besar syari’at, dan Sunnah (hadits) merupakan
dasar hukum kedua, yang di dalamnya terdapat penjabaran dan penjelasan dari
garis besar yang terdapat dalam al-Quran. Oleh karena itu, antara hadits dan
al-Quran mempunyai kaitan yang sangat erat,yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Berdasarkan hal tersebut, kedudukan Sunnah dalam Islam tidak dapat
diragukan karena terdapat banyak penegasan tentang hal ini di dalam al-Quran
maupun dalam hadits Nabi Muhammad Saw.
D.
Dalil-dalil kehujjahan Sunnah
1.
Dalil al-Quran
Dalam al-Quran banyak ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti
Allah yang digandengkan dengan kewajiban mengikuti Rasul-Nya.Di antara
dalil-dalil tersebut adalah:[6]
Firman Allah dalm Q.S Ali Imran ayat 31-32,
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósã ª!$# öÏÿøótur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRè 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# ^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# w =Ïtä tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
Artinya: Katakanlah,
Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
Dalam Q.S An-Nisa ayat 59, Allah berfirman,
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya
Dalam
Q.S al-Maidah ayat 92,
(#qãèÏÛr&ur ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# (#râx÷n$#ur 4 bÎ*sù öNçGø©9uqs? (#þqßJn=÷æ$$sù $yJ¯Rr& 4n?tã $uZÏ9qßu à÷»n=t7ø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÒËÈ
Artinya: dan taatlah
kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika
kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban Rasul Kami,
hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.
Di samping itu , banyak
juga ayat yang mewajibkan ketaatan kepada Rasul secara khusus dan terpisah,
karena pada dasarnya keta’tan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah Swt.
Di antaranya adalah:[7]
Dalam Q.S al-Hasyr ayat 7,
4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ .
Artinya:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Amat keras hukumannya.
Terdapat juga dalam firman Allah Q.S An-Nisa ayat 65 dan 80, Q.S Ali Imran
ayat 31, Q.S An-Nur ayat 56, 62, dan 63, Q.S al-A’raf ayat 158.
2.
Dalil dari Hadits
Begitu pula halnya dalam hadits-hadits Nabi Saw, banyak
kita temukan perintah yang mewajibkan kita mengikuti Nabi Saw dalam segala
perkara. Di antaranya adalah:[8]
عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : كل امتى يدخلون الجنة إلا من أبى، قيل :
ومن يأبى يارسول الله ؟ قال : من أطاعنى
دخل الجنة، ومن عصانى فقد أبى ، (رواه البخارى)
Artinya: Dari Abi Hurairah, bahwa rasulullah Saw.
bersabda: Setiap umatku pasti akan masuk surga, kecuali yang enggan. Sahabat
bertanya: Siapa yang enggan itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: siapa saja
yang menta’atiku pasti akan masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku, sungguh
ia telah enggan. (H.R Bukhari)
قال
: …)فعليكم
بسنّتى وسنة الخلفاءالراشدين المهديين ، عضوا عليها بالنواجذ ، وإياكم و محدثات
الأمور ،فإنّ كل بدعة ضلالة )
Artinya:
Kalian harus berpegang dengan Sunnahku, dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin yang
memperoleh hidayah. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu. Waspadalah
terhadap sesuatu hal yang baru (dalam
ibadah),karena tiap-tiap yang baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.
قوله – صلى الله عليه وسلم – (ألا إنى أوتيت الكتاب ومثله معه ألا إنى أوتيت القرآن
ومثله معه )
Artinya:
Ketahuilah sesungguhnya aku diberikan al-Quran dan yang seperti al-Quran
bersamanya (Sunnah).
عن
أبى هر يرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم:" تركت فيكم شئين لن
تضلوا بعدهما (ما تمسكتم بهما) كتاب الله وسنتي.."
Artinya:
Dari Abi Hurairah semoga Allah meredhainya, Ia berkata: Telah bersabda
Rasulullah Saw: “Aku tinggalkan dua perkara yang apabila kalian berpegang teguh
pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu al-Quran dan
Sunnahku.”
3.
Ijma’ Shahabah dan umat berikutnya
Umat Islam telah sepakat tentang wajibnya beramal dengan
Sunnah Nabi Saw yang shahih, bahkan yang demikian termasuk memenuhi seruan
Allah dan Rasul-Nya. Kaum muslimin sejak masa sahabat Rasulullah Saw, tabi’in,
tabi’ tabi’in, dan generasi-generasi sesudahnya sampai hari ini mereka selalu
mengembalikan setiap persoalan agama kepada al-Quran dan sunnah, berpegang
dengannya, dan menjaganya.
Di antara dalil-dalil yang menyatakan para sahabat dan
tabi’in berpegang kepada al-Quran dan sunnah adalah:[9]
1). Dalam sebuah riwayat Abu Bakr pernah berkata:”Aku tidak akan
meninggalkan sesuatupun yang diamalkan oleh Rasulullah Saw. karena aku
khawatirbila aku meninggalkan perintahnya aku akan sesat”.(HR. Ahmad)
2). Umar berkata:”Sesungguhnya aku mengutus para qadhi agar mereka
mengajarkan al-Quran dan Sunnah Nabi Saw kepada Umat agar mereka membagi
rampasan perang dengan adil, dan barangsiapa ragu-ragu hendaklah ia datang
menemuiku.”(HR. Darimy)
3). Umar bin Khatab berdiri di hadapan Hajar Aswad seraya berkata:
“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu, engkau tidak bisa mendatangkan
manfaat dan bahaya, seandainya aku tidak melihat Nabi Muhammad Saw menciummu, niscaya
aku tidak akan menciummu.”(HR. Ahmad)
4). Sa’id bin Musayyab mengatakan:”Aku berwudhu seperti wudhunya Rasulullah
Saw dan aku shalat seperti shalatnya Rasulullah Saw.”(HR. Ahmad)
5) Ali berkata tentang berdiri ketika jenazah lewat: “Aku pernah melihat
Rasulullah Saw. berdiri, maka kami berdiri, dan beliau duduk, maka kamik pun
duduk.”
Masih banyak lagi
contoh-contoh tentang berpegangnya para sahabat dan tabi’in terhadap sunnah
Rasul Saw. yang kemudian diikuti oleh orang-orang setelahnya. Seorang tabi’in
yang bernama Mutharrif bin Abdullah bin Syakhir pernah ditanya oleh seseorang,
“Janganlah engkau sampaikan kepada kami melainkan al-Quran saja.” Mutharrif
berkata: “Demi Allah kami tidak menghendaki ganti dari al-Quran, tapi kami
ingin penjelasan dari orang yang lebih mengetahui tetntang al-Quran daripada
kami, yaitu Rasulullah Saw. Beliau menjelaskan, menerangkan maksud dan tujuan
firman Allah, serta merinci hukum-hukumnya dengan Sunnah beliau yang suci.
Beliau adalah qudwah bagi kaum muslimin, oleh karena itu berpeganglah kalian
dengan Sunnah sebagaimana kalian berpegang dengan al-Quran, dan jagalah Sunnah
sebagaimana kalian menjaga al-Quran.”
4. Dalil ‘aqli
(logika)
Tidak dapat diterima oleh akal, ketika orang-orang
yang menerima al-Quran tidak menerima al-Quran. Karena dalam al-Quran yang
mereka imani terdapat perintah untuk patuh dan percaya pada Sunnah tersebut.
Kita tidak tahu, bagaimana cara shalat orang yang menentang Sunnah, karena tata
cara shalat tidak ada dijelaskan dalam al-Quran. Begitu juga dengan
ibadah-ibadah lain, penjelsan-penjelasannya hanya ada dalam Sunnah.
E.
Fungsi Sunnah
1.
Fungsi Sunnah Dalam Ajaran Islam
Dalam Ajaran Islam Sunnah dijadikan sebagai manhaj ‘amali. Sunnah menjalankan
fungsi-fungsinya yang sangat penting dalam Islam. Di antara fungsi-fungsi
Sunnah terhadap ajaran Islam adalah:
a). Sunnah sebagai manhaj syumuli, yaitu manhaj yang sudah
mencakup semuanya, manhaj yang komprehensif. Sebagaimana yang telah dijelaskan
Allah Swt. dalam QS An-Nahal ayat 89:
t4 $uZø9¨tRur øn=tã
|=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï?
Èe@ä3Ïj9
&äóÓx«
Yèdur ZpyJômuur
3uô³ç0ur
tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ
Artinya: dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al
Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Sangat disayangkan, bahwa
sebahagian kaum muslimin sekarang ini memahami Sunnah secara parsial, tidak
menyeluruh, ada yang mengetahui Sunnah itu hanya sebatas jenggot, bersiwak,
dll, dan mereka lupa manhaj syumuli dalam Sunnah. [10]Dalam
artian mereka mengamalkan Sunnah itu dan mengabaikan yang lain.
b).
Sunnah Manhaj Mutawazin, yaitu manhaj yang menyeimbangkan anatara jasad
dan ruh, antara akal dan hati, dunia dan akhirat, teori dan praktek, antara
kebebasan dan tanggung jawab, hak individu dan jama’ah. Ketika Rasulullah
melihat Abdullah bin ‘Amru terlalu berlebihan dlam beribadah (puasa, shalat,
dll), Rasulullah mengingatkannya dengan mengatakan: “Sesungguhnya badanmu juga
punya hak istirahat, matamu juga punya hak tidur, keluargamu juga punya hak
atasmu… maka berikanlah hak setiap yang punya hak atasmu.”[11]
c).
Sunnah Manhaj Takamuli (saling melengkapi).
2.
Fungsi Sunnah terhadap al-Quran
Sudah kita ketahui bahwa Sunnah mempunyai kedudukan
yang sangat penting dalam Islam. Ia menempati posisi ke dua setelah al-Quran.
Al-Quran sebagai sumber pertama memuat hukum-hukum yang bersifat global, yang
perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah sunnah menempati
fungsinya sebagai sumber kedua.
Dalam hubungannya dengan al-Quran,
Sunnah mempunyai fungsi sebagai berikut:[12]
a).
Sebagai penguat hukum yang sudah ada dalam al-Quran.
b).
Sebagai penafsir atau perinci hal-hal yang masih umum dalam al-Quran, member taqyid
atau takhsish untuk hal-hal yang masih muthlaq dan ‘am
dalam al-Quran.
Di antara contoh Sunnah yang
mentakhsish al-Quran adalah:
“Allah
Swt berwasiat kepada kamu tentang anak-anak kamu, bagi laki-laki bagiannya sama
dengan dua anak perempuan.”(an-Nisa:11). Ayat ini ditakhsishkan oleh Sunnah:
-
Para Nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk
anaknya, dan apa yang mereka tinggalkan adalah sebagai shadaqah”
-
Tidak boleh orang tua kafir wewarisi anaknya yang
muslim, atau sebaliknya.
-
Pembunuh tidak mewariskan apa-apa (HR. Turmudzi dan
Ibnu Majah)
Contoh
Sunnah yang mentaqyid kemutlakan al-Quran:
“Pencuri
laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong kedua tangannya”(al-Maidah:38). Ayat
ini tidak menjelaskan batasan potong tangan tersebut, penjelasan ini kita
temukan dalam Sunnah, yakni sampai pergelangan tangan.
Contoh al-Quran sebagai bayan dari
mujmal al-Quran:
-
Menjelaskan tentang tata cara shalat Nabi Saw.
Rasulullah Saw bersabda: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku
shalat.”
-
Menjelaskan tata cara haji Nabi Saw.
c).Terkadang
al-Quran menetapkan hukum yang belum ada dalam al-Quran.
Di antara hukum-hukum itu adalah:
binatang buas yang mempunyai taring,haramnya mengenakan kain sutera dan emas
bagi laki-laki. Semua ini dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih.
F. Independensi
Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Para Ulama sepakat tentang
kedudukan Sunnah sebagai bayani (menjalankan fungsi yang menjelaskan
hokum al-Quran). Hal ini tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua
pihak, karena memang untuk itulah Nabi Saw ditugaskan Allah Swt. Namun dalam
kedudukan Sunnah sebagai dalil yang independen (berdiri sendiri) dan sebagai
sumber kedua setelah al-Quran, menjadi perbincangan dan perbedaan di kalangan
ulama. Perbedaan ini muncul disebabkan oleh firman Allah yang menjelaskan bahwa
Islam telah sempurna, oleh karena itu
tidak diperlukan lagi sumber lain selain al-Quran, ternasuk Sunnah.[13]
Jumhur ulama berpendapat bahwa
Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil setelah al-Quran, dan mempunyai
kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama
mengemukakan beberapa alasan, di antaranya adalah:[14]
1. Banyak ayat
al-Quran yang menyuruh umat Islam untuk mentaati Rasul Saw. Ketaatan kepada
Rasul sering dirangkai dengan ketaatan kepada Allah Swt. Sepeti yang terdapat
dalam Qs Annisa’ ayat 59 dan 80.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul
dalam ayat adalah mengikuti semua yang dikatakan dan dilakukan Rasul
sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
2. Allah menyuruh
umat untuk beriman kepada Rasul dan menetapkan beriman kepada Rasul bersama
dengan kewajiban beriman kepada Allah (al-A’raf ayat 158)
3. Ayat-ayat al-Quran
menetapkan bahwa apa yang dikatakan Nabi seluruhnya berdasarkan wahyu (al-Najm
ayat 3-4).
Menurut Ramadhan Buthi dari segi
kehujjahannya, al-Quran sama kedudukannya dengan Sunnah, yaitu sama-sama
dijadikan dalil hukum, walaupun dalam urutannya (tingkatannya) kita letakkan
setelah al-Quran.[15]
Dalam kitab al-Muwafaqat dikatakan
bahwa tingkatan Sunnah setingkat di bawah al-Quran, artinya, ketika ada
pertentangan antara keduanya maka diambil yang ada dalam al-Quran. Di antara
dalilnya adalah:[16]
1. Al-Quran
bersifat Qath’I, sedangkan Sunnah bersifat Zhanni. Qath’I harus didahulukan
daripada zhanni.
2. Sunnah adalah penjelas
dari al-Quran, atau menambahkan apa yang ada dalam al-Quran, kalau begitu maka
yang menjelaskan berada dibawah yang dijelaskan, karena yang menjelaskan tidak
aka nada kalau tidak ada yang dijelaskan, tetapi yang dijelaskan akan tetap ada
walaupun tidak ada yang menjelaskan.
3. Ada banyak
hadits yang menerangkan bahwa tingkatan Sunnah tidak sama dengan al-Quran,
tetapi Sunnah berada di bawah al-Quran. Di antaranya adalah hadits Mu’az bin
Jabal yang akan berhukum dengan Sunnah ketika tidak ada lagi keterangan dalam
al-Quran.
Imam Asy-Syaukani juga berpendapat
bahwa Sunnah adalah dalil yang independen dalam penetapan hukum. Sunnah
mempunyai kekuatan dalam penetapan halal dan haram seperti al-Quran.[17]
Setelah melihat pendapat-pendapat
di atas berikut dengan dalil-dalil mereka, penulis berpendapat bahwa Sunnah
sama dengan al-Quran dari segi ia dipandang sebagai sumber asli dalam hukum,
tetapi dari segi kekuatan dan tingkatannya Sunnah berada di bawah al-Quran, ia
merupakan dalil setelah al-Quran. Sunnah juga independen dalam penetapan hukum
ketika hal tersebut didiamkan dalam al-Quran.
G. Penutup
Dari
penjelasan-penjelasan dalam bahasan tadi kita dapat simpulkan bahwa:
1.
Sunnah mempunyai kaitan yang sangat erat dengan
al-Quran.
2.
Al-Quran berfungsi sebagai penguat apa yang sudah ada
dalam al-Quran, penjelas yang masih umum dalam al-Quran, serta pembuat hukum
baru yang belum ada dalam al-Quran.
3.
Dari segi kekuatan, Sunnah berada satu tingkat di
bawah al-Quran.
4.
Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerima al-Quran.
Terakhir,penulis mohon maaf atas
segala keterbatasan, baik itu dalam metode penulisan maupun isi. Penulis
berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik yang membangun, supaya ada
perbaikan yang berarti dari hari ke hari. Mudah-mudahan bermanfa’at.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Khatib,
Muhammad ‘Ajad, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar
al-Fikri, 2006
As-Syathibi, al-Muwafaqat
fi Ushul as-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth, Jilid IV
Asy-Syaukani, Muhammad, Irsyadul
Fuhul ila tahqiqi al-haq min ilmi al-Ushul, Kairo: Dar-al-Salam, 2006
Azami,
M.M., Memahami Ilmu Hadits, Jakarta: Lentera, 1993, terjemahan oleh:
Meth Kieraha, judul asli: Studies in Hadits Methodology and Literature
Al-Qattan, Manna’, Mabahits fi ‘ulum al-Hadits, Kairo: Maktabahh
Wahbah, 1992
Al-Qaradawi , Yusuf, madkhal lidirasati
al-Sunnah al-Nabawiyah, Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Qaradawi, Yusuf, Kaifa Nata’amal ma’a
Sunnah Nabawiyah, Kairo: Dar al-Syuruq
Buthi,
Muhammad Sa’id Ramadhan, Mabahitsul kitab
wa al-Sunnah min ‘ilmi al-Ushul, Damaskus: Universitas Damaskus
Jawas, Yazid Bin abdul Qadir, Kedudukan
al-Sunnah Dalam Syari’at Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Shalahuddin , M. Agus dan
Agus Suyadi, ‘Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia
Syarifuddin, Amir, Ushul
Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
[1]
Muhammad ‘Ajad al-Khatib, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut:
Dar al-Fikri, 2006 M), h. 13
[2]
M.M. Azami, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Lentera, 1993), terjemahan
oleh: Meth Kieraha, judul asli: Studies in Hadits Methodology and
Literature. h. 6
[3]
As-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, tt), jilid IV, h. 3
[4]
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, op.cit., h. 14
[5]
Manna’ al-Qattan, Mabahits fi ‘ulum al-Hadits, (Kairo: Maktabahh Wahbah,
1992), h. 16
[6]
M. Agus Shalahuddin dan Agus Suyadi, ‘Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka
Setia), h. 74
[7]
Ibid, h. 75
[8]
Yusuf al-Qaradawi, madkhal lidirasati al-Sunnah
al-Nabawiyah,(Kairo: Maktabah Wahbah), h. 41
[9]
Yazid Bin abdul Qadir Jawas, Kedudukan
al-Sunnah Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), h. 48
[10]
Yusuf Qaradawi, Kaifa
Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyah, (Kairo: Dar al-Syuruq), h. 26
[12]
Yazid Abdul Qadir Jawas, op.cit., h. 52
[13]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 95
[14]Ibid
,h. 95-96
[15]
Muhammad Sa’id Ramadhan Buthi, Mabahitsul kitab wa al-Sunnah min ‘ilmi al-Ushul, (Damaskus:
Universitas Damaskus, 1975), h. 15
[16]
As-Syathibi, Op. Cit,. h. 6
[17]
Muhammad asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila tahqiqi al-haq min ilmi al-Ushul, (Kairo:
Dar-al-Salam, 2006), h. 132