Senin, 05 Mei 2014

KLASIFIKASI HADITS DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEK


KLASIFIKASI HADITS DITINJAU
DARI BERBAGAI ASPEK

I.          Pendahuluan
إلى الذى أحيا القلوب بالعلم والذكر والعرفان
أمدّ الأجيال من تراث الحديث النبوي و علومه
وأنار للأمة بحق سبيل السلف والسنة
        Kepada yang telah menghidupkan hati dengan ilmu, dzikir dan pengetahuan. Yang telah menolong generasi-generasi turats hadits Nabi dan ilmunya. Dan yang telah menerangi ummat dengan kebenaran jalan salaf (salafussholeh) dan Sunnah”.[1]

                 Itulah beberapa bait persembahan kata sebagai pembuka kalam dalam pembahasan kita dalam mempelajari hadits Rasullah SAW yang ditinjau dari berbagai aspeknya, mengingat hadits merupakan salah satu sumber dari ajaran Islam yang membutuhkan suatu pemahaman yang dalam untuk mengetahui hadits itu sendiri.
            Secara garis besar dapat kita klasifikasikan hadits dari segi datangnya kepada Mutawatir dan Ahad, dari segi diterima dan ditolak kepada hadits Makbul dan Mardud,[2] karena tidak semua sahabat atau tabi’in yang meriwayatkan suatu hadits dari Rasul SAW memiliki tingkatan kedhobitan yang sama, sehingga dibutuhkan suatu kajian atau tinjauan lebih jauh untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul nanti tentang hadits dari Rasul SAW.
            Dalam makalah yang sederhana ini akan dijelaskan  beberapa hal mengenai pengklasifikasian hadits yang ditinjau dari berbagai aspek.



II.       Klasifikasi Hadits Ditinjau Dari Bentuk Asal
Ulama hadits mendefinisikan hadits secara bahasa dengan الجديد (yang baru)[3] dengan lawannya القديم (lama) dan secara umum yang dimaksud dengannya adalah segala perkataan Nabi SAW yang dinukilkan dan disampaikan oleh manusia baik dari segi mendengar atau segi wahyu dalam keadaan terjaga atau pun tidur.
وبهذا المعنى سمى القران حديثا (ومن أصدق من الله حديثا. 24 –الطور)
وسمى ما يحدث به الإنسان فى نومه (وعلمنى من تأويل الأحاديث يوسف- 101 )
Sedangkan menurut istilah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat.[4] Didalam buku Manhaj Naqd fi ulumil hadits, Nuruddin Ithr mendefinisikan bahwa hadits segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat kholqiyyah (penciptaan), Khuluqiyyah (Akhlak) atau apa saja yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.[5]
Diantara contoh hadits yang menggambarkan akhlak Nabi adalah كان رسول  الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس و كان أجود الناس فى رمضان...
adalah Rasulullah itu manusia yang penyantun dan lebih penyantun lagi dibulan ramadhan
dan contoh yang menggambarkan Nabi seorang manusia ciptaan Allah SWT كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس وجها, وأحسنه خلقا, ليس بالطويل البائن, ولا بالقصير   
“adalah Rasulullah manusia yang paling baik/indah wajahnya, paling mulia akhlaknya, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek”.





a.      Hadits Qouli
Hadits Qouli adalah semua ucapan Nabi SAW yang disampaikan dalam berbagai macam tempat dan kesempatan, dan ulama ushul fiqh juga mendefinisikan hadits Qouli dengan defenisi yang sama.[6]
Contoh hadits yang menggambarkan perkataan Nabi SAW:
إنما الأعمال بالنيات, وإنما لكل امرء ما نوى ....
“sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, dan bagi setiap seseorang akan mendapatkan sesuatu ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkan…"
لاضرر ولاضرار....
Janganlah membahayakan diri dan membahayakan bagi orang lain…”

b.      Hadits Fi’li
Hadits fi’li adalah semua perbuatan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh para sahabat seperti wudhu nabi, tatacara pelaksanaan sholat, pelaksanaan haji, dan lain sebagainya.[7]
Contoh hadits yang menggambarkan perbuatan Nabi SAW :
خذوا عنى مناسككم
“ambillah olehmu tatacara manasik haji dariku”
Para ulama ushul fiqh juga mengelompokkan perbuatan Nabi SAW kepada beberapa bagian :
1.      Jibilli/Jiblah (perangai/tabiat), yaitu perbuatan atau pekerjaan Nabi SAW yang termasuk dalam urusan tabiat seperti makannya nabi, minum, duduk, dsb.
2.      Qurb (pendekatan/dekat), seperti ibadah sholat, puasa, shodaqoh, dsb.
3.      Mu’amalah (hukum syar’i yang mengatur kepentingan individu dengan lainnya)[8], seperti jual beli, perkawinan, pertanian, dsb.[9]
Adapun kandungan hukum yang terdapat dalam perbuatan Rasulullah SAW tersebut, bahwasanya fi’liyah Rasulullah SAW adalah pekerjaan-pekerjaan Nabi yang menjadi penerang bagi kita dalam melaksanakan perintah Allah SWT seperti beliau mengerjakan sholat Zuhur empat rakaat, Maghrib tiga rakaat, Isya empat rakaat, Ashar empat rakaat, dan Subuh dua rakaat. Kesemuanya itu merupakan perbuatan Nabi yang berkedudukan sebagai hukum asal, andaikata hukum asal yang dikerjakan Nabi itu wajib maka perkerjaan yang menerangkan cara melaksanakan perintah yang wajib itu juga wajib.[10]

c.       Hadits Taqriri
Hadits taqriri (penetapan, pengukuhan atau isbat)[11], adalah semua yang diakui oleh Nabi terhadap yang bersumber dari salah satu sahabat beliau, baik berupa perkataan dan perbuatan, meskipun perbuatan tersebut dihadapannya atau tidak.[12]
Contoh  pertama
Taqrir  dari Nabi SAW terhadap kisah dua orang sahabat yang berada dalam perjalanan, ketika telah masuk waktu sholat mereka tidak menemukan air untuk berwhudu, lalu mereka bertayamum dan melakukan sholat, setelah beberapa saat dalam perjalanan mereka menemukan air sebelum waktu sholat tersebut habis, kemudian salah seorang diantara keduanya berwhudu dan mengulang sholatnya sedangkan yang lain tidak mengulang sholatnya, kemudian sampailah hal ini kepada Rasulullah SAW, dan Nabi membenarkan perbuatan keduanya.[13]



Contoh kedua :
وما روى من أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث رجلا على سرية, وكان يقرأ لأصحابه فى صلاته فيختم بـ (قل هو الله أحد) فلما رجعوا ذكروا ذلك له عليه الصلاة والسلام, فقال : سلوه لأي شيئ يصنع ذلك؟ فسألوه, فقال: لأنها صفة الرحمن و أنا أحب أن أقرأ بها , فقال النبي صلى الله عليه وسلم : أخبروه أن الله يبحه (رواه البخارى و مسلم)[14]
           
d.      Hadits Siffati
Hadits Siffati (na’at/sifat)[15] adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada sifat dan kepribadian Nabi SAW, contoh : bahwasanya Rasulullah itu bukanlah orang yang melampaui batas dan suka berkata kotor, yang mempunyai watak yang keras, beliau juga bukan yang suka berteriak , keji, dan juga bukan yang suka membuka cela/aib.

III.    Klasifikasi Hadits Ditinjau Dari Sifat Asal
Apabila hadits ditinjau dari sifat asal, hadits terbagi kepada dua bagian, yaitu Hadits Nabawiy dan Hadits Qudsiy
a.       Hadits Nabawiy :
Hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, dan sifat.[16]
b.      Hadits Qudsiy :
Secara bahasa adalah القدسيُّ dinisbahkan kepada (Al quds) yaitu :
suci[17] dikarenakan dinisbahkan hadits tersebut kepada dzat yang
suci yaitu Allah Subhanahuwata’la.
Secara istilah adalah hadits yang disandarkan oleh Nabi SAW kepada Allah SWT, maksudnya periwayatan yang diberikan oleh Nabi bersumber dari Kalam Allah SWT, maka Rasul hanya meriwayatkan dari segi lafaz saja  dan apabila seseorang meriwayatakan, maka periwayatannya dari Rasullah yang bersandarkan kepada Allah SWT ,
Contoh bentuk sanadnya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز و جل, او
يقول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: قال الله تعالى أو يقول الله تعالى
              Contoh Hadits Qudsiy :
عن أبى هريرة رضى الله عنه أن رسول صلى الله عليه وسلم قال : يقول الله تعالى :
 أنا عند ظن عبدى بى, و أنا معه إذا ذكرنى, فإن ذكرنى فى نفسى ذكره فى نفسى,
 وإن ذكرنى فى ملاء ذكرته فى ملاء خير منه.....[18]
             
Adapun jumlah hadits Qudsiy tidaklah sebanyak hadits Nabawiy sebagaimana yang kita kenal dengan banyaknya perawi yang meriwayatkan, jumlah hadits Qudsiy berkisar 200-san hadits saja, seperti kitab hadits yang terkenal dibawah ini :
الإتحافات السّنيّة بالأحاديث القدسية------ لعبد الرءوف المُنَاوى, جمع فيه /272/حديثا[19]       

Dari segi perbedaan kita dapat membedakan antara Hadits Nabawiy dengan Hadits Qudsiy dan hadits Qudsiy dengan Al Quran :
            Hadits Qudsiy dengan Hadits Nabawiy :
1.      Hadits Qudsiy maknannya dari sisi Allah yang disampaikan kepada Rasulullah SAW dengan metode seperti metode turunnya wahyu dan tidak langsung dispesifikasikan kepada Rasul dan Rasulullah SAW mengatakan قال الله تعالى كذا...  sementara itu hafaz susunan katanya barulah dari sisi Rasulullah SAW, oleh karena itulah dinamakan dengan قدسيّاً.
2.      hadits Nabawiy tidak demikian halnya karena hadits Nabawiy bersifat Taufiqiy, ditetapkan dengan ijtihad dan pendapat Nabi SAW dari pemahamannya tentang al Quran dengan memperhatikan hakekat yang terjadi.[20]
Hadits Qudsiy dengan Al Quran :
1.      Hadits Qudsiy lafaznya dari sisi Nabi SAW dan maknanya dari Allah SWT dengan jalan ilham atau ketika tidur dengan wahyu yang جليّ ataupun tidak. Sementara al-Quran lafaz dan maknanya murni dari Allah SWT melalui wahyu yang جليّ dengan perantaraan malaikat Jibril AS dalam keadaan terjaga dan bukan dalam kondisi tidur atau pun dengan ilham.
2.      Hadits Qudsiy sah menggunakan periwayatannya dengan makna, adapun al-Quran diharamkan riwayatnya dengan makna.
3.      Hadits Qudsiy tidaklah beribadah dalam membacanya, sementara al-quran beribadah dalam membacanya.
4.      Al Quran al Karim adalah mu’jizat Allah SWT yang kekal abadi yang berurutan lafaz kalimat, huruf, susunan katanya, adapun hadits Qudsiy tidaklah berurutan dan tidak pula mu’jizat.
5.      Al Quran diharamkan menyentuhnya bagi orang yang berhadas/tidak suci, sementara hadits qudsiy tidak demikian halnya.[21]

IV.       Klasifikasi Hadits Ditinjau Dari Jumlah Periwayatan
dari sisi periwayatan , hadits dibagi menjadi tiga bagian :
a.      Hadits Mutawatir
Secara bahasa Mutawatir berarti التواتر/التتابع (berurutan, penerusan)[22] sebagaimana firman Allah Ta’ala  ثم أرسلنا رسلنا تترى[23] : أى واحدا بعد واحد  : kemudian kami utus para Rasul-rasul kami secara berurutan (satu satu).
Secara istilah: ما رواه جماعة[24] عن جماعة فى كل طبقة من طبقات السند تحيل العادة تواطئهم و توافقهم على الكذب واستندوا الى امر محسوس[25]
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah jamaah atau kelompok dari kelompok yang lain, pada setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan sanadnya yang secara tradisi terjauh kesepakatan mereka dari unsur dusta dan mereka menyandarkan kepada suatu perkara yang dapat dirasa (seperti melihat, mendengar, dsb”[26]

Sedangkan ulama ushul fiqh memberikan defenisi dengan hadis yang diriwayatkan dari Rasul SAW oleh sekelompom orang yang menurut kebiasaannya mustahil mereka sepakat untuk berdusta pada 3 masa : masa sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in.[27]
Dari defenisi dua diatas tadi dapat kita simpulkan beberapa criteria  yang bila dipenuhi oleh sebuah hadits, maka hadits tersebut dikatakan sebagai hadist Mutawatir:
1.      Adanya sejumlah perawi yang meriwayatkan
Sebagian ulama ada yang mengatakan batas jumlahnya adalah 4 orang, dan ada juga yang mengatakan 5,, 7, 10, 20 hingga 200orang[28], namun pendapat yang dipilih adalah cukup 10 orang sahabat saja.[29]
2.      Jumlahnya tidak berkurang pada setiap tingkatan sanadnya dari awal sampai akhir sanad.
3.      Secara tradisi mustahil mereka sepakat untuk berdusta/berbohong
4.      Penyandaran beritanya mesti dengan الحِسِّ seperti : kami mendengar, kami melihat atau kami merasakan atau…..[30]

Hadist mutawatir pembagiannya ada 2 :
1.      Mutawatir Lafdzi
Mutawatir lafdzi adalah berurutan itu hanyalah lafadznya saja bukan maknanya, contoh Hadits من كذّب عليّ متمدا فليتبوأ مقعده من النار (siapa yang mendustakan atas diriku secara sengaja maka tunggulah tempatnya di neraka).
2.      Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir Maknawiy adalah berurutan itu hanyalah maknannya saja bukan lafdznya, contoh hadits رفع اليدين فى الدعاء (Hadits tentang mengangkat kedua tangan ketika berdoa).[31]

b.      Khabar Ahad
Secara bahasa: ما يرويه شخص واحد hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja.[32]
Secara istilah: ما رواه الواحد او الإثنين فأكثر مما لم يتوفر فيه شروط المشهور أو المتواتر ولا عبرة للعدد فيه بعد ذلك
“Hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang perawi atau lebih yang tidak memenuhi syarat syarat mashur ataupun mutawatir dan tidak diperhitungkan lagi jumlah perawinya setelah itu”[33]
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits ahad hukumnya wajib diamalkan selama memenuhi syarat syarat diterimanya  suatu riwayat, termasuk dalam perkara hudud, meskipun sebagian ulama Hanafiah tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah, dan merekapun memasukkan hadits masyhur ke dalam pembagian dari hadits ahad.[34]

c.       Hadits Masyhur
Hadits Masyhur secara bahasa terambil dari maf’ul dengan arti أظهر (Nampak/jelas)
Secara istilah hadits masyhur adalah
ما رواه ثلاثة فأكثر فى كل طبقة مالم يبلغ حد التواتر
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan, namun belum mencapai batas mutawatir”[35]
Hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih yang tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta dan tingkatan hadits masyhur berada dibawah hadits mutawatir dan diatas hadits ahad.[36] Contoh Hadits Masyhur :
إن الله لا يقبض العلم انتزاعاً ينتزعه....
“Susungguhnya Allah tidaklah mengambil ilmu itu dengan mencabutnya begitu saja….”
Sebagian ulama hadits juga menggunakan hadits masyhut dengan المستفض yang berasal dari kata فاض الماء yang berarti air yang melimpah, disebut demikian dikarenakan kepopuleraanya, bahkan ada yang mengatakan istilah Masyhur dan Mustafid merupakan murodif (sinomim kata), ada juga yang mengatakan mustafid lebih khusus dari masyhur dan ada juga yang mengatakan lebih umum dari masyhur. Contoh :
حديث أنس : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع يدعو على رِعلٍ و ذكوان
“Hadits Anas : bahwasanya Rasulullah SAW qunut selama 1 bulan setelah setelah ruku’ untuk mendoakan ri’lin dan zakwan”[37]

V.          Pembagian hadits berdasarkan Kualitas
Hadits dari segi kuliatas terbagi kepada tiga bagian yaitu hadits shahih, hasan, dha’if.
a.      Hadits Shohih
Ibu as-shalah memberikan defenisi dari hadits shohih dengan Hadits yang sanadnya bersambung melalui periwayatan  orang yang adil lagi dhabit sampai ujungnya (muttasil) terlepas dari syaz (keganjilan/kejanggalan) dan tidak pula terkena cacat (muallal).[38]

Dikatakan dengan hadits shohih sekiranya memenuhi criteria dibawah ini:
1.      Sabadnya bersambung (dengan mendengar setiap satu orang dari orang lain dari periwayatannya sampai ke atasnya).
2.      Adalatul al- Ruwah (adil dalam artian orang tersebut benar-benar memiliki kemampuan untuk memikulnya dengan mengacu kepada nilai-nilai taqwa dan wibawa).
3.      Dhabit (benar-benar terukur keabsahan penerimaan darinya dengan mengacu kepada apa yang ia dengar dari seorang syekh kemudian ia hafal dan ia berikan pula kepada yang orang lain).
4.      Terlepas dari kejanggalan dan cacat (orang tersebut benar-benar yang paling terpercaya dari sumber pengambilan periwayatan hadisnya tanpa ada cacat dan cela).[39]
Ulama membagi hadits shohih menjadi kepada shohih lizatihi dan shohih lighairihi. Shohih lizatihi  adalah hadits yang memenuhi criteria sebagai mana yang telah dijelaskan sebelumya, sedangkan shahih lighairihi adalah hadits yang tidak memenuhi criteria yang telah disebutkan tersebut secara maksimal, misalnya perawi yang adil namun tidak sempurna kedhabitannya. Akan tetapi terdapat hadits dari jalur yang berbeda yang menguatkannya, dan bisa jadi hadits dalam ketegori hasan yang diriwayatkan dari beberapa jalur bisa menjadi derajat shahih lighairihi.[40]

b.      Hadits Hasan
ما اتصل سنده بعدل خف ضبطه من غير شذوذ ولا علة
“Hadits yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil namun lebih rendah kedhabitannya tanpa adanya syaz dan illat”
Dapat kita bandingkan perbedaan antara hadits hasan dan hadits shahih hanya terletak pada kedhabitan perawinya saja, hadist shohih perawinya dalam tingkat kedhabitan sempurna dalam hadits hasan kurang sempurna.
Adapun hadits hasan terbagi kepada 2 bagian, sama halnya dengan hadits shahih, hasan lizatihi dan hasan lighairihi. Hasan lizatihi adalah Hadits yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil namun lebih rendah kedhabitannya tanpa adanya syaz dan illat, sedangkan hadits hasan lighairihi hadits yang terdapat didalam perawinya yang belum diketahui kualitasnya akan tetapi bukan perawi yang pelupa atau banyak kesalahan dan bukan juga yang pendusta.[41] Dan mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits hasan dengan kedua jenisnya dapat dijadikan hujjah dan amalan dengan hujjah yang kuat.[42]

c.       Hadits Dha’if
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi kritaria criteria diterimanya sebuah hadits, dan kebanyakan ulama mengatakan kalau hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shohih dan hasan.[43]
Perlu kita ketahui bahwasanya hadits dha’if adalah hadits yang ditolak dan tidak boleh diamalkan, apalagi menyangkut masalah hukum dan aqidah. Dan para ulama hadits pun mengklasifikasikan hadits dhaif kepada beberapa kelompok.
Pertama adalah pembagian hadits dhaif yang disebabkan oleh gugurnya salah satu rawi pada sanad / tidak bersambung seperti hadits mu’allaq, mursal, mu’dhal, munqot’I, mudallas. Kedua adalah yang tidak berkaitan dengan bersambungnya sanad, seperti cacat perawinya baik dari segi ‘adalahnya maupun segi kedhabitannya.[44], sepertinya hadits maudhu’, matruk, munkar, bid’ah,  jihalah, mudraj, maqlub, mudhtarib, syaz.[45]

VI.       Klasifikasi Hadits Ditinjau Dari Penisbahannya
a.      Hadits Marfu’
Hadits Marfu’ adalah Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik dari segi perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat, baik sanadnya bersambung ataupun terputus dan juga disandarkan kepada sahabat dan tabi’in sampai seterusnya setelah sahabat dan tabi’in.
b.      Hadits Mauquf
Hadits Mauquf adalah Hadits yang disandarkan kepada sahabat dari segi perkataan, perbuatan baik sanadnya bersambung atau terputus.
c.       Hadits Maqtu’
Hadits Maqtu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Tabi’in dari segi perkataan , perbuatan. Lebih rincinya dapat kita lihat pada..[46]

VII.    Penutup
Demikianlah beberapa penjabaran tentang hadits Rasulullah SAW yang ditinjau dari berbagai aspek, semoga kita yang membaca makalah ini mendapatkan semangat baru lagi dalam menggali dan mengamalkan sunnah Rasulullah SAW dan bukan menjadi penentang setia bagi sunnah beliau.



                                                                                     


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Departemen Agama RI. Al Quran dan Terjemahannya, Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2009.
al-Bashori. Nabil Bin Mansur Bin Ya’cub. جداول الجامعة فى علوم النافعة, Kuwait:
Dar al-Dakwah, 1987
Ithr , Nuruddin. منهج النقد فى علوم الحديث, Beirut: Dar al-Fikri al-Mu’ashir, 2003
Ali , Atabik, A. Zuhdi Muhdhor. قاموس "كرابياك" العصرى عربى إندونسى,
Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998
Al-Qottan, Manna’ Khalil. مباحث فى علوم القران, t.p,t.th
Zuhaili , Wahbah. أصول الفقه الإسلامى, Beirut: Dar al-Fikr, 1998
Rahman , Zufran. Kajian Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam, Jakarta: CV
Pedoman Ilmu Jaya, 1995
al-Shan’ani. سبل السلام, Bandung: Maktabah Dahlan, tt,  Juz.1
al-Thohan , Mahmud. تيسير مصطلح الحديث, Surabaya: al-Haramain, tt
Hasyim , Ahmad Oemar. قواعد أصول الحديث  , Cairo: Maktabah al Azhar as
Syarif,2004
Sholeh , Subhi. علوم الحديث و مصطلحه, Beirut: Dar-al Fikri,tt
al-Khotib , Muhammad Ajaj. أصول الحديث, Beirut: dar al-Fikri,1989
al-Jabari , Abdul Mut’al Muhammad. حجية السنة و مصطلح الحادثين, Kairo:
maktabah wahbah,1986











[1] . Nuruddin Ithr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadits, (Beirut: Dar al-Fikri al-Mu’ashir, 2003), h.5
[2] . Nabil Bin Mansur Bin Ya’cub al-Bashori, Jadawilul jami’ah fi Ulumil al-Nafi’ah, (Kuwait: Dar al-Dakwah, 1987), Cet.5, h.150-153
[3] . Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, قاموس "كرابياك" العصرى عربى إندونسى, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika), Cet.8, h.658
[4] . Manna’ul Qottan, Mabahis fi ‘Ulumil Quran, (t.p,t.th), h.23-24
[5] . Nuruddin Ithr, op.cit
[6] . Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), Jilid 1, h.450
[7] . Wahbah Zuhaili, ibid.
[8] . Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, op.cit
[9].  Zufran Rahman, Kajian Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1995), h.11-12
[10] . Zufran Rahman, ibid.
[11] . Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, loc.cit
[12] . Manna’ul Qottan, Mabahis fi ‘Ulumil Quran, (t.p,t.th), h.24
[13] . al-Shan’ani, Subul al-salam, (Bandung: Maktabah Dahlan) Juz.1, h.97-99
[14] . Manna’ul Qottan, op.cit
[15] . Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, loc.cit
[16] . Manna’ul Qottan, loc.cit
[17] . Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, loc.cit
[18] . Manna’ul Qottan, loc.cit
[19] . Mahmud al-Thohan, تيسير مصطلح الحديث, (Surabaya: al-Haramain, tt), h.128
[20] . Manna’ul Qottan, loc.cit
[21] . Ahmad Oemar Hasyim, قواعد أصول الحديث  (Cairo: Maktabah al Azhar as Syarif,2004), h.25-26
[22] . Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, loc.cit
[23] . Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2009), Cet.10, h.345
[24] . Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, loc.cit
[25] . Atabik Ali, A. Zuhdi Muhdhor, loc.cit
[26] . Nabil Bin Mansur Bin Ya’cub al-Bashori, op.cit
[27] . Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), Jilid 1, h.452
[28] . Subhi Sholeh, Ulum al-Hadits wa Mustholahuhu, (Beirut: Dar-al Fikri),tt,h.149
[29] . Mahmud al-Thohan, op.cit
[30] . Mahmud al-Thohan, op.cit
[31] . Nabil Bin Mansur Bin Ya’cub al-Bashori, loc.cit
[32] . Mahmud al-Thohan, loc.cit
[33].  Muhammad Ajaj al-Khotib, Ushulul Hadits, (Beirut: dar al-Fikri,1989),h.302
[34] . Manna’ Kholil al-Qoththan, mabahis fi ulumil hadits, (Kairo: Maktabah Wahbah), h.98-101
[35] . Mahmud al-Thohan, loc.cit
[36] . Abdul Mut’al Muhammad al-Jabari, Hujjatussunnah wa mustalah hadisin wa mualimin, (Kairo: maktabah wahbah,1986), h.93
[37] . Mahmud al-Thohan, loc.cit
[38] . Muhammad Ajaj al-Khotib, op.cit
[39] . Nabil Bin Mansur Bin Ya’cub al-Bashori, loc.cit
[40] . Muhammad Ajaj al-Khotib, loc.cit
[41] . Muhammad Ajaj al-Khotib, loc.cit
[42] . Nabil Bin Mansur Bin Ya’cub al-Bashori, loc.cit
[43] . Muhammad Ajaj al-Khotib, loc.cit
[44] . Nabil Bin Mansur Bin Ya’cub al-Bashori, loc.cit
[45] . Defenisinya pada Nabil Bin Mansur Bin Ya’cub al-Bashori, loc.cit
[46] . Nabil Bin Mansur Bin Ya’cub al-Bashori, loc.cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar