Rabu, 31 Juli 2019

Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Kebahasaan


A.    Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Kebahasaan
Hadis disampaikan dalam bahasa Arab, oleh karena itu aspek kebahasaan sangat mempengaruhi dalam memahami hadis nabi. Apabila aspek kebahasaan ini tidak diperhatikan ketika berhadapan dengan suatu hadis, sudah dapat dipastikan akan terjadi kekeliruan dalam memahami maksud hadis tersebut. Oleh karena itu dalam memahami hadis diperlukan suatu metode pemahaman secara kebahasaan.
Membicarakan Bahasa Arab tidak terlepas dari dua masalah pokok, yaitu; (1) qawaid (grammar) yang terdiri dari nahwu dan sharaf, (2) masalah balaghah. Balaghah meliputi pembahasan yang sangat luas. Dalam kajian ini penulis lebih menfokuskan pada masalah majaz saja. Dalam pemahaman hadis secara kebahasaan, penulis juga mengklasifikasikan masalah ilmu gharib al-hadis ke dalam pemahaman hadis secara kebahasaan. Dengan alasan bahwa  ilmu gharib al-hadis yang dimaksud, bersumber dari bahasa Arab yang tidak dipahami oleh sebagian orang, di samping itu juga bahwa ilmu gharib al-hadis kebanyakan disebabkan perubahan dan pergeseran makna kata dari satu masa ke masa berikutnya. Untuk lebih jelasnya tentang metode pemahaman hadis secara kebahasaan ini akan penulis uraikan sebagai berikut:
a.       Qawaid Bahasa Arab (Ilmu Nahwu dan Syaraf)
Dalam masalah nahwu, yang harus diteliti dan diketahui terlebih dahulu adalah bagaimana Nabi mengucapkan suatu hadis tertentu, apakah marfu’, majrur, mansub ataupun majzum, dalam bahasa Arab hal inilah sebagai penentu kedudukan kata dalam sebuah kalimat adakalanya sebagai subjek, prediket, objek atau keterangan.
Sebagaimana telah digambarkan di atas, betapa halusnya bahasa Arab sehingga perbedaan kecil dalam pengucapan akan membawa pengaruh besar dalam maknanya. Apalagi dalam memahami hadis, apabila suatu kata atau kalimat ditemukan suatu lafaz dengan fungsi yang berbeda, ada yang menempatkan sebagai fa’il (subjek), fi’il (prediket), dan ada juga  yang menempatkan sebagai maf’ul (objek), serta shifah (keterangan) atau lainnya. Maka redaksi yang berbeda dalam suatu hadis ada kemungkinan akan membawa pada makna yang berbeda, perbedaan makna lebih lanjut akan membawa kepada perbedaan hukum yang terdapat dalam hadis tersebut.
b.      Ilmu Balaghah
Masalah balaghah yang paling diutamakan adalah membedakan antara hakikat dengan majaz (kiasan). Sebagaimana diketahui bahwa bahasa Arab dengan majaz, dalam ilmu balaghah gaya bahasa majaz ini penggunaannya lebih banyak dan lebih luas cakupannya dari pada hakekat. Rasulullah seorang bangsa Arab yang paling piawai dalam masalah balaghah , maka tak heran jika dalam setiap ucapan  beliau banyak sekali ditemukan kata yang bermakna majaz. Baik majaz lughawiy, ‘aqliy, isti’arah, kinayah, isti’arah tamtsiliyyah, dan kata-kata yang menggunakan ungkapan lainnya. Seperti hadis Nabi ketika beliau mengatakan kepada istri-istrinya:
أسر عكن لطولكن يدا (رواه البخارى و مسلم و الترمذى و النسائى)
“orang yang paling cepat di antara kalian menyusulku adalah yang panjang tangannya”[1]

Mendengar  perkataan Nabi ini para istrinya langsung mengukur tangan masing-masing, padahal Nabi memakai kiasan panjang tangan untuk orang yang suka bekerja, banyak melakukan kebaikan dan bekerja di antara mereka. Inilah salah satu hadis yang mengandung makna majazi. Jika dipahami makna hakikinya akan membawa kepada  pemahaman yang keliru. Untuk itu dibutuhkanlah suatu pemahaman hadis yaitu membedakan hakikat dengan majaz.
c.       Ilmu Gharib al-Hadis.
Menurut Ibnu Manzur dalam Lisan al-Arab[2] gharib jamaknya ghurama’ berarti: asing, jauh dari negeri asal dan tak punya keluarga, sebagai contoh Ibnu Manzur mengutip hadis:
ان الاسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا فطوبى للغربأ   (رواه الترمذى)
Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing, maka bahagiakanlah orang asing.[3]

Menurut Sulaiman al-Khatabiy, bahwa gharib dari suatu ungkapan bahasa yaitu yang tidak jelas dan jauh dari pemahaman umum. Selanjutnya dikatakan gharib dari suatu bahasa atau ungkapan, dalam dua hal; a). arti yang tidak jelas dan tidak bisa dipahami, b) suatu ungkapan yang asing karena bukan berasal dari bahasa kabilah-kabilah Arab.[4]
Sedangkan gharib al-hadis adalah ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam hadis yang tidak bisa dipahami, baik dikarenakan ungkapan tersebut janggal kedengarannya atau lafaz tersebut bukan dari ungkapan bahasa kabilah-kabilah Arab[5]. Contoh hadis yang mengandung lafaz yang gharib adalah seperti hadis berikut:
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب قال : ثنا الحسن بن علي بن عفان العامري قال : ثنا أبو أسامة قال : ثنا عامر بن عبيدة الباهلي قال : ثنا أبو المليح الهذلي ، عن أبيه قال : كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم فأصابنا بغيش من مطر ، فنادى منادي النبي صلى الله عليه وسلم ، ونحن في سفر : « من شاء أن يصلي في رحله فليفعل » قال أبو عبد الله : سألت الأدباء عن معنى البغيش ، فقالوا : المطر ، والعرب تقول : بغشة ، وبغيش (رواه  البخارى و مسلم و الثرمذى)
Telah meriwayatkan kepada kami Abu ‘Abbas Muhammad Bin Ya’kub berkata, telah meriwayatkan kepada kami Hasan Bin Aliy Bin ‘Affan al-‘Amiriy berkata, telah meriwayatkan kepada kami Abu Usamah berkata, telah meriwayatkan kepada kami ‘Amir Bin ‘Ubaidah al-Bahiliy berkata, telah meriwayatkan kepada kami Abu al-Malih al-Hazaliy dari bapaknya berkata: kami bersama Nabi SAW dalam perjalanan bersama rombongan lalu mereka ditimpa hujan gerimis pada saat itu terdengar suara azan, siapa yang ingin sholat dalam perjalanan maka dia melakukannya.[6]Abu Abdillah berkata; saya bertanya kepada al-Ubada’ tentang makna Baghisy, maka mereka menjawab: maksudnya adalah hujan gerimis.

Lafaz بغيش merupakan lafaz yang gharib bagi orang Arab karena tidak bisa dipahami oleh mereka. Tetapi setelah dijelaskan, maka maksud dari hadis ini dapat dipahami secara jelas di mana بغيش artinya adalah hujan gerimis. Dengan demikian maksud dari hadis ini yaitu dalam perjalanan Nabi beserta sahabat ditimpa hujan gerimis pada waktu bersamaan waktu sholat sudah masuk (azan). Bagi sahabat yang ingin melaksanakan sholat maka diperbolehkan, bagi yang tidak melaksanakan dibolehkan setelah gerimis berhenti atau setelah sampai di tempat tujuan.
Dengan demikian langkah pertama yang harus dilakukan melalui metode ini adalah melihat persoalan yang terdapat dalam hadis tersebut, kemudian memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kaidah bahasa Arab, balaghah, gharib al-hadis, atau yang lainnya dari unsur-unsur kebahasaan, setelah itu baru dijelaskan apa yang dimaksud dari hadis tersebut. Dalam metode ini tidak tertutup kemungkinan dibantu oleh metode lainnya untuk bisa sampai pada pemahaman yang benar.


[1] Diriwayatkan oleh Bukhari, kitab zakat bab 11, oleh Muslim dalam Kitab Fadhail al-Shahabah, hadis nomor 101, oleh al-Turmudzi dalam kitab Manaqib bab 60, dan al-Nasa’I dalam kitab Zakat bab 59
[2]Imam al-Alamah Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabiy, 1992) cet. Ke-2, jilid XI, h. 33
[3]Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Iman hadis nomor 232, al-Turmudzi dalam kitab Iman bab 13, Ibnu Majah dalam kitab Fitan bab 15, Al-Darimiy dalam kitab Raqaq bab 42, Imam Ahmad bin Hanbal Juz I nomor 184, 398, juz II nomor 177, 222, 389 dan juz IV nomor 73
[4]Organisasi Pakar Bahasa Arab, Al-Mu’jam al-Arabiy al-Asasiy, (Larouse: t.tb.,1998) h. 88
[5]Al-Alamah Jarullah bin Mahmud bin Amr al-Zamakhsyariy, Al-Faiq fi Gharib al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993) Jilid I, h. 121
[6]Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Azan nomor bab 100, Muslim dalam kitab shalat nomor hadis 175, dan al-Turmudzi dalam kitab shalat bab 5.

METODE PEMAHAMAN HADITS


1.      Sabab Wurud al-Hadis
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa tidak semua hadis mempunyai latar belakang historis, ada hadis yang muncul karena faktor-faktor tertentu dan ada pula yang muncul begitu saja, tidak karena faktor-faktor tertentu. Berkaitan dengan pemahaman hadis yang benar, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah meneliti apakah hadis yang akan dikaji itu mempunyai sabab al-wurud atau tidak.
Secara sederhana, sabab al-wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Menurut Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H), sabab al-wurud berarti sesuatu yang menjadi thariq (jalan) untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat umum atau khusus, muthlaq atau muqayyad, dan untuk menentukan ada atau tidaknya naskh dalam hadis itu. Sebab-sebab yang melatarbelakangi munculnya hadis itu sendiri dapat berupa pertanyaan sahabat, peristiwa maupun keputusan terhadap persoalan yang terjadi antar sahabat.
Telaah historis melalui sabab al-wurud ini sangat penting dilakukan, karena- sebagaimana yang dinyatakan al-Suyuthi- kita akan mengetahui mana hadis yang umum, mana hadis yang khusus, mana hadis yang muthlaq dan mana hadis yang muqayyad, sehingga kita akan menempatkan hadis sesuai porsinya. Berkaitan dengan urgensi sabab al-wurud, Ibnu Taymiyyah mengatakan, “mengetahui sabab (al-wurud) itu menolong dalam memahami hadis (dan ayat). Karena mengetahui sabab itu dapat mengetahui musabbab (akibat)”.[1]
Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Abbas:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جأ احدكم الجمعة فليغتسل    (رواه البخارى و مسلم)
Rasulullah saw. Bersabda “apabila kamu sekalian hendak datang (menunaikan shalat) Jumat, maka hendaklah ia terlebih dahulu mandi (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan petunjuk hadits di atas, Imam Daud al-Dzahiriy (w. 270 H/883 M) dan yang sepaham dengannya menyatakan, mandi pada hari Jumat sebelum menunaikan shalat Jumat adalah wajib dan berlaku untuk siapapun. Ini karena beliau memahami hadis itu apa adanya, tanpa mengaitkannya dengan sebab yang melatarbelakangi kemunculannya.
Menurut riwayat yang ada, hadis itu memiliki sebab yang khusus. Diriwayatkan, pada saat itu perekonomian para sahabat umumnya masih dalam keadaan sulit, sehinga mereka hanya mampu memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka juga banyak yang bekerja di kebun sebagai petani. Setelah berladang, mereka banyak yang langsung pergi ke mesjid untuk menunaikan shalat Jumat. Pada suatu Jumat, cuaca sedang panas, sementara masjid sempit. Tatkala Nabi saw. Berkhutbah, aroma keringat dari orang-orang yang berbaju wol kasar dan belum mandi itu menerpa hidung Nabi saw. Suasana hening dalam mesjid menjadi terganggu oleh aroma tidak sedap itu, sehingga Nabi saw. pun mengatakan seperti hadis tadi. Karenanya, bila kita melihat sebab munculnya hadis ini, maka kita akan berkesimpulan bahwa mandi Jumat itu hanya wajib bagi orang-orang yang badannya kotor.[2]
2.      Geografis
Pada dasarnya, pemahaman model ini hanya bertujuan untuk melihat tempat  di mana hadis itu disabdakan, sehingga penerapannya tepat.[3] Misalnya hadis yang disabdakan untuk masyarakat Madinah, bila dipahami secara lafdziyyah (tekstual) belum tentu tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia. Karenanya, kondisi seperti ini menuntut adanya pemahaman secara kontekstual, sehingga makna hadis itu menjadi tepat, kendati diterapkan pada wilayah berbeda. Misalnya hadis yang diriwayatkan Imam al-Turmudziy:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي مَعْشَرٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ  (وراه الترمذى)
 Muhammad bin Abi Ma’sar meriwayatkan kepada kami, telah meriwayatkan kepada kami bapakku dari Muhammad bin Umar dari Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: Arah antara Timur dan  Barat adalah kiblat. (HR. Al-Turmuziy)

Untuk masyarakat Madinah, yang secara geografis berada di Utara Ka’bah (Mekah), makanya makna lafzhiyyah hadis ini tepat sekali, karena kota Madinah berada pada posisi antara Timur dan Barat kota Mekah. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang secara geografis berbeda dengan masyarakat Madinah? Apakah hadis itu harus dipahami apa adanya, tapi justeru memunculkan kekeliruan? Tentu tidak! Pemahamannya harus melalui pendekatakan kontekstual, yaitu dengan melihat lokasi di mana hadis itu disabdakan.
Secara kontekstual, hadis itu dapat dipahami bahwa untuk masyarakat Indonesia., maka arah yang berada di antara utara dan selatan itulah kiblat, bukan antara timur dan barat. Dengan demikian, hadis ini dapat diterapkan untuk dua wilayah yang berbeda secara tepat. Perbedaannya terletak pada model pemahaman saja. Untuk masyarakat Madinah, hadis ini cukup dipahami secara tekstual, sementara untuk masyakat Indonesia, hadis itu perlu dipahami secara kontekstual.
3.      Illat al-Kalam[4] (Kausalitas Kalimat)
Dalam memberi perintah atau larangan, Nabi SAW terkadang menggunakan ungkapan-ungkapan yang maksudnya tidak dapat dipahami secara kongkrit oleh setiap sahabat. Misalnya perintah beliau pada para sahabat perihal  shalat Ashar di Bani Quraidhah, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari. Beliau bersabda:
لا يصلين احدكم العصر الا فى بنى قريظة      (رواه البخارى)
Janganlah shalat Ashar salah seorang di antara kalian, kecuali di Bani Quraidhah (HR. Bukhari)

Oleh sebagian sahabat, perintah Nabi saw. itu dipahami bahwa maksud beliau adalah supaya para sahabat cepat sampai di Bani Quraidhah, bukan keharusan shalat Ashar di sana. Dengan demikian, bagi mereka yang jalannya lambat dan tidak sampai di Bani Quraidhah kecuali setelah matahari terbenam, maka mereka harus shalat Ashar sebelum matahari terbenam, meskipun belum sampai di Bani Quraidhah. Apabila mereka sembahyang Ashar di Bani Quraidhah, sementara waktu shalat Ashar telah habis, maka berarti mereka telah meninggalkan sembahyang Ashar pada waktunya dengan sengaja.
Merespon perintah Nabi saw. itu, ada sebagian sahabat yang memahaminya secara tekstual, sehingga mereka shalat Ashar di Bani Quraidhah, persis seperti bunyi perintah itu padahal matahari sudah terbenam. Setelah Nabi saw. diberitahu perihal dua pemahaman itu, beliau tidak menyalahkan salah satunya. Karenanya, dari sini dapat ditangkap isyarat bahwa pendekatan tekstual dan kontekstual dibenarkan Nabi saw, terkait hadis-hadis yang memungkinkan dipahami secara tekstual dan kontekstual.
Di sisi lain ada hadis yang tidak dapat dipahami kecuali melalui pendekatan kontekstual, yaitu melalui pemahaman terhadap ‘illat. Misalnya sabda Nabi saw.:
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا بَنُو إِسْرَائِيلَ لَمْ يَخْبُثْ الطَّعَامُ وَلَمْ يَخْنَزْ اللَّحْمُ وَلَوْلَا حَوَّاءُ لَمْ تَخُنْ أُنْثَى زَوْجَهَا الدَّهْرَ   (رواه مسلم) [5]
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Bin Rafi’, telah meriwayatkan kepada kami Abdu al-Razak, telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Hamam Bin Munbih berkata hal ini sebagaimana telah meriwayatkan kepada kami Abu Hurairah dari Rasulullah bersabda: Seandainya tidak ada Bani Israil, maka makanan tidak akan menjadi basi, daging tidak akan menjadi busuk, dan seandainya tidak ada hawwa, maka tidak ada isteri yang berkhianat pada suaminya. (HR. Muslim)

Hadis ini disabdakan Nabi saw. sebagai kritik atas kebakhilan orang-orang Yahudi yang tidak mau memberikan makanannya pada orang lain, sementara mereka sendiri tidak siap mengkonsumsi semuanya, sehingga makanan itu busuk. Muhammad al-Gazali yang memahami hadis ini secara tekstual, akhirnya berkesimpulan bahwa hadis ini palsu, karena membusuknya daging tidak ada kaitannya dengan orang-orang Yahudi.
4.      Sosio-Kultural
Di samping tiga pendekatan di atas, pemahaman kontekstual juga dapat dilakukan melalui pendekatan sosio-kultural, yaitu dengan mengaitkan hadis itu dengan kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Misalnya, hadis Nabi saw. yang membolehkan orang yang sedang sholat meludah di masjid. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari, yaitu:
بَاب مَا يَجُوزُ مِنْ الْبُصَاقِ وَالنَّفْخِ فِي الصَّلَاةِ وَيُذْكَرُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو نَفَخَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سُجُودِهِ فِي كُسُوفٍ
Bab tentang bolehnya meludah ketika shalat dan disebutkan dari Abdullah Bin Umar bahwa Nabi meludah dalam sujudnya ketika gerhana.
  
Untuk konteks waktu itu, meludah di masjid merupakan persoalan biasa, karena konteks masjid waktu itu tidak seperti masjid sekarang. Masjid zaman Nabi saw. belum mengenal lantai keramik, melainkan lantai pasir. Sehingga ludah yang jatuh di masjid saat itu langsung diserap pasir. Apalagi ternyata pasir di Arab dengan udara kering dan panas menyebabkan bakhteri-bakhteri tidak tahan hidup.
Ini berbeda dengan mesjid saat ini yang lantainya telah menggunakan keramik atau marmer. Bila meludah di masjid seperti ini dibenarkan, maka justru akan mengotori masjid dan membahayakan kesehatan. Bahkan boleh jadi, masjid semakin tidak ada peminatnya, karena penuh kotoran ludah. Karena itu, kita tidak mungkin menerapkan hadis itu secara tekstual, tanpa mengaitkannya dengan kondisi kultural saat itu.


[1]Ali Musthafa Yaqub, “Metode Memahami Hadis,” Makalah yang dipresentasikan pada workshop Dosen Ilmu Hadis se-Indonesia di UIN Sunan Kalijaga,  (Yokyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008)
[2]Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar al-‘Asqalâniy selanjutnya disingkat dengan Ibn Hajar al-Asqalâniy, Fath al-Bâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), Juz III, h.278 – 279
[3]Ibid.,
[4]Illah al-kalam maksudnya adalah sesuatu sebab yang menimbulkan adanya pernyataan atau percakapan. Lihat: Moh. E. Hasim, Kamus Istilah Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), h. 55
[5]Al-Imâm Abu al-Husain Muslim ibn al-Hujjaj ibn Muslim al-Qusyairiy al-Naisaburiy selanjutnya disingkat dengan al-Imâm Muslim, Shahih Muslim, (al-Qahirah: Maktabah al-Shaff, 2004), juz VII, h. 405

Pemahaman Hadis Secara Kontekstual


A.    Pemahaman Hadis Secara Kontekstual
Ada dua istilah yang terkait dengan pemahaman ini, yaitu: konteks dan pemahaman kontekstual. Yang dimaksud dengan konteks dalam pembahasan ini adalah peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya sebuah hadis. Sedangkan yang dimaksud dengan pemahaman kontekstual dalam pembahasan ini adalah suatu upaya untuk memahami hadis-hadis Nabi, dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan konteks hadis tersebut, dengan kata lain memperhatikan dan mengkaji peristiwa dan situasi yang melatarbelakangi saat hadis itu disampaikan oleh Rasulullah.[1] Dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah asbab al-wurud. Setelah diketahui konteksnya kemudian ditarik pemahaman dengan mengaitkan pada berbagai aspek, seperti fakta historis, sasaran dan tujuan dari hadis, konteks kekinian, penemuan ilmiah, ilmu pengetahuan dan sebagainya, sehingga didapatkan pemahaman yang lebih luas dan fleksibel. Dengan demikian pemahaman hadis secara kontekstual adalah pemahaman yang bersifat progresif dan sesuai dengan segala situasi dan kondisi.
Secara umum pemahaman kontekstual mempunyai beberapa kriteria, antara lain:
1.      Menyangkut sarana atau bentuk (tertuang secara tekstual). Apa yang tertuang secara tekstual  - selama tidak mencakup 4 kriteria pemahaman tekstual di atas – pada dasarnya adalah wilayah kontekstual, jadi tidak menuntut seseorang untuk mengikuti apa adanya. Bentuk maksudnya adalah sarana, sehingga kontekstual adalah sifatnya. Dengan demikian mengikuti Nabi tidak harus berarti berbicara dengan bahasa Nabi, memakai nama Arab, berjenggot dan memakai pakaian ala Timur Tengah, menyantap kurma sebagai menu utama, memiliki budak, dan lain sebagainya sebagaimana yang tertuang secara tekstual.
2.      Mengatur hubungan manusia sebagai individu dan makhluk biologis. Sebagai individu dan sebagai makhluk biologis, manusia membutuhkan makanan dan minuman. Apa yang dimakan manusia dan apa yang diminum umat Islam, dan bagaimana manusia memakan dan mengolahnya itu adalah wilayah kontekstual, tidak terbatas pada apa yang dimakan dan diminum Nabi dan cara Nabi memakannya. Ide dasar yang bisa kita runut pada ajaran Nabi adalah bahwa apa yang kita makan dan kita minum adalah sesuatu yang halal dan tidak berlebih-lebihan.
3.      Mengatur hubungan dengan sesama makhluk dan alam seisinya. Semua aspek yang mengatur bagaimana manusia berhubungan dengan orang lain, dengan alam dan seluruh makhluk di bumi adalah wilayah kontekstual. Bagaimana manusia bersosialisasi dengan alam, lingkungan dan masyarakat sekitar itu memiliki keleluasaan untuk dipahami secara kontekstual. Ide dasar yang bisa kita rujuk dari Nabi, adalah tidak melanggar tatanan dalam kerangka untuk menjaga jiwa, kehormatan, keadilan dan persamaan serta stabilitas secara keseluruhan dalam kerangka tunduk kepada Sang Pencipta.
4.      Terkait persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan/ tekhnologi (IPTEK). Tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya manusia tidak membatasi diri pada bentuk-bentuk persis apa yang ada pada masa Nabi, tetapi senantiasa disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan serta ketepatan hal itu diterapkan. Sebagai ilustrasi, bentuk-bentuk transaksi ekonomi sudah semestinya tidak dalam bentuk yang sangat sederhana, sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi SAW, tetapi lebih kompleks. Hanya saja unsur ‘an taradh, adalah ide dasar atau unsur pokok yang harus dimiliki setiap transaksi, sehingga tidak menjadikan satu di antara dua pihak yang bertransaksi merasa dirugikan.
5.      kontradiktif secara tekstual. Teks-teks hadis yang saling kontradiktif, semestinya menunjukkan bahwa bukan bentuk lahiriyyah yang dituju tetapi point in a direction (sebagai penunjuk arah) atau maqasid al-syariah-nya. Ada konteks tersembunyi yang harus dicari mengapa suatu ketika Nabi menyatakan atau melakukan sesuatu, sementara di sisi lain menolak atau melarang melakukan sesuatu tersebut.[2]
Pembatasan semacam ini membawa konsekuensi paradigma normatif-historis senantiasa melekat dalam setiap teks. 
Hadis-hadis yang akan dipahami secara kontekstual adalah hadis-hadis yang tidak bisa dipahami dalam bentuk redaksinya saja (tekstual), dengan demikian hadis tersebut harus dihubungkan dengan asbab wurud al-hadis, geografis, sosio-kultural, dan lain-lain, kemudian baru bisa dihubungkan dengan konteks kekinian. Atau bisa langsung ditarik pada konteks tertentu seperti konteks sasaran dan tujuan dari hadis tersebut.


[1] Edi Safri, op.cit., h. 160
[2]Nurun Najwah, op.cit.

Pemahaman Hadis Secara Tekstual


A.    Pemahaman Hadis Secara Tekstual 
Yang dimaksud dengan pemahaman tekstual adalah pemahaman berdasarkan makna literatur dan makna zahir dari nash (pemahaman terhadap makna hadis seperti apa adanya (lafdziyyah). Secara umum, hadis dapat dipahami dengan pendekatan tekstual, namun tentu ada juga hadis yang tidak dapat dipahami dengan pendekatan tekstual. Pada dasarnya, hadis harus dipahami secara tekstual, tetapi apabila pemahaman tekstual ini dinilai tidak mungkin ditempuh, barulah kita menggunakan pemahaman kontekstual.
Pemahaman tekstual secara umum dapat mencakup;
    1. menyangkut ide moral/ ide dasar/ tujuan. Ide moral, ide dasar, gayah, ini ditentukan dari makna yang tersirat, yang sifatnya universal, lintas ruang waktu, dan intersubyektif
    2. bersifat absolut, prinsipil, universal dan fundamental
    3. mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, dan mu’asyarah bi al-ma’ruf.
    4. menyangkut relasi langsung dan spesifik manusia dengan Allah yang bersifat universal (bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun). Pemberlakuan sebagaimana yang tertuang dalam tekstualnya lintas ruang dan waktu, artinya sesuatu yang bisa diterima oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun, tidak terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historitas tertentu.[1]
Terlalu banyak contoh hadis yang dapat dipahami secara tekstual, misalnya:
صلوا كما رأيتموني اصلى   (رواه مسلم)
Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. (HR. Muslim)

Secara normatif, shalat adalah relasi manusia dengan Allah secara khusus. Tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk berkomunikasi, beribadah dan menyembah kepada penciptanya dalam kondisi apapun selama hidupnya.
  Namun apabila terlalu berpegang kepada pemahaman tekstual tanpa mempedulikan pemahaman kontekstual sering kali membawa kesalahan atau kejanggalan makna yang dikandung oleh sebuah hadis karena dapat melahirkan polarisasi interpretasi yang cendrung kaku dan sempit, bahkan terkesan bahwa hadis tersebut hanya terikat dengan waktu dan kondisi tertentu saja. Hal ini tentu akan membias kepada pandangan terhadap Islam sendiri seolah-olah memiliki ruang gerak yang sempit. Hal yang demikian tentu saja bertentangan dengan prinsip Islam, di mana ajaran Islam bersifat universal dan sangat fleksibel.


[1]Nurun Najwah, dkk, Metodologi Penelitian Living Quran dan Hadis, (Yokyakarta: Teras, 2007) cet. Ke-1, h. 147

Metode Pemahaman Hadis Tematik-Korelatif


A.    Metode Pemahaman Hadis Tematik-Korelatif
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk memahami hadis-hadis Rasulullah adalah melalui pendekatan tematik-korelatif. Metode pendekatan tematik-korelatif ini sudah terlebih dahulu populer di kalangan ulama tafsir. Sewaktu hendak melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran, kadangkala seorang mufassir menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang membicarakan topik atau permasalahan yang sama. Selanjutnya, dilakukan pembahasan secara tematik dengan jalan mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya sehingga akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan menyeluruh mengenai masalah tersebut menurut pandangan al-Quran.[1]Namun metode yang lebih popular sebagai salah satu metode penafsiran al-Quran ini, ternyata dapat pula diterapkan untuk memahami hadis. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya hadis tidak jauh berbeda dengan al-Quran yang saling terkait dan saling menafsirkan satu sama lain (yufassiru ba’dhuhu ba’dhan).
Namun demikian, metode tematik-korelatif untuk pemahaman hadis belum memiliki kerangka kerja atau langkah-langkah metodologi yang sedemikian jelas  sebagaimana halnya metode tafsir tematik (maudhu’iy). Hal ini agaknya disebabkan karena perhatian ulama hadis selama ini lebih banyak terkonsentrasi pada upaya pelestarian hadis atau ilmu-ilmu yang terkait dengannya demi untuk menjaga orisinalitas hadis itu sendiri. Akibatnya mereka tidak atau kurang begitu memperhatikan upaya “pengembangan” metode pemahamannya. Oleh sebab itu, dapatlah dimaklumi apabila metode pemahaman hadis tersebut agak tertinggal dibandingkan dengan metode penafsiran al-Quran.
Batasan pengertian pemahaman hadis tematik-korelatif  belum ditemukan secara tegas dan jelas, serta belum ada yang dapat dijadikan rujukan standar yang dapat diperpegangi. Namun demikian, bukan berarti tidak dapat ditarik pengertian sama sekali tentang metode tematik-korelatif ini. Demikian juga bahwa metode pemahaman hadis secara tematik-korelatif ini belum mempunyai langkah-langkah metodologis yang mapan, bukanlah berarti ia belum dikenal ulama. Dalam hal ini, Imam Syafe’i agaknya dapat dipandang sebagai ulama hadis yang pertama sekali merumuskan metode ini yang oleh Edi Safri disebut dengan “pemahaman korelatif”. Metode ini digunakan oleh Imam al-Syafe’i sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, yaitu hadis-hadis mengenai suatu masalah yang sama, namun petunjuknya kelihatan saling bertentangan, dikaji bersama dengan hadis lainnya yang relevan dengan memperhatikan keterkaitan maknanya satu sama lain.[2]
Dengan begitu, maksud hadis tersebut dapat dipahami dengan baik dan pertentangan yang tampak secara lahiriyah itu dapat ditemukan langkah pengompromiannya. Namun bila diperhatikan, sejauh ini nampaknya Imam al-Syafe’i sendiri belum mengembangkannya sebagai metode pemahaman hadis yang berlaku umum, bukan hanya berkenaan dengan hadis-hadis mukhtalif saja.
Tokoh lain yang juga mempunyai andil dalam mengembangkan pendekatan pemahaman hadis tematik-korelatif ini adalah Yusuf al-Qardhawi, seorang ulama kontemporer yang ahli dalam bidang hukum Islam. Menurutnya, untuk memahami hadis secara benar harus dihimpun hadis-hadis shahih yang topik pembahasannya sama. Dengan demikian, kandungan hadis yang semula mutasyabihat dapat dijelaskan dengan yang muhkamat, hal-hal yang muthlaq dapat dibatasi dengan hal-hal yang muqayyid, dan hal-hal yang bermakna umum dapat ditafsirkan oleh hal-hal yang bermakna khusus, sehingga makna yang dimaksud oleh hadis-hadis tersebut menjadi lebih jelas dan tidak nampak lagi pertentangan.[3]
Berdasarkan dua pendapat di atas (pendapat Syafe’i dan Qardhawi) terlihat bahwa penggunaan metode tematik-korelatif terutama yang dilakukan Imam Syafe’i lebih banyak menekankan kepada pemahaman hadis yang secara lahiriyahnya terlihat bertentangan. Adapun hadis-hadis yang saling bertentangan tersebut membicarakan masalah yang sama (satu tema), namun setelah dihimpun semua hadis yang semakna dan ditelusuri asbab al-wurud-nya maka hadis yang bertentangan tersebut bisa dikompromikan atau dapat ditemukan maksud dan tujuan dari masing-masing hadis.
Sedangkan Qardhawi menawarkan metode tematik bukan untuk memahami hadis-hadis mukhtalif seperti yang dilakukan Syafe’iy, tetapi ia memakai metode tematik untuk memahami hadis secara umum dengan tema-tema tertentu dan langkah-langkah metodologis tertentu.
Berdasarkan apa yang ditawarkan oleh Syafe’iy dan Qardhawi, maka dapat disimpulkan bahwa metode tematik korelatif dapat dipakai dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif dan dapat juga dipergunakan untuk memahami hadis-hadis lain (hadis yang bukan mukhtalif), namun prinsip dasarnya hadis-hadis tersebut harus berbicara dalam satu objek atau saling mempunyai keterkaitan makna.
Ditilik dari uraian di atas, nampaklah bahwa baik Imam al-Syafe’i maupun Yusuf al-Qardhawi sama-sama memprioritaskan penggabungan (al-jam’u wa al-tawfiq) ketimbang pen-tarjih-an. Dengan demikian, langkah-langkah metodologis tematik-korelatif dalam memahami hadis dapat diurutkan sebagai berikut:
1.      Memilih dan menetapkan tema pokok (khusus) sebagai objek kajian atau pembahasan. Pemilihan dan penetapan tema ini bisa saja dengan melihat permasalahan atau tuntutan yang muncul, yang memerlukan penyelesaian dan jawaban. Atau boleh juga berdasarkan persoalan yang muncul ketika dihadapkan  pada hadis yang kelihatannya bertentangan baik itu makna atau hukum yang terkandung di dalamnya.
2.      Melacak dan menghimpun hadis-hadis yang semakna sesuai dengan tema yang telah ditetapkan.
3.      Menyeleksi keshahihan hadis-hadis yang sudah dihimpun, langkah ini biasanya dilakukan melalui kritik sanad dan kritik matan.
4.      Mengungkap asbab al-wurud dari hadis-hadis yang telah diseleksi dan akan dipergunakan dalam pembahasan. Mengungkap asbab al-wurud ini sangat penting, karena dengan mengetahui asbab al-wurud maka hadis-hadis tersebut terlihat secara jelas pada siapa ditujukan, dalam situasi dan kondisi bagaimana diucapkan Rasulullah.
5.      Mencari dan mengungkap korelasi  hadis-hadis yang dibahas dengan hadis-hadis lain yang memberikan indikasi terhadap hadis yang sedang dibahas, atau hadis lain yang menerangkan tentang hadis yang sedang dibahas.
6.      Membandingkan dan menyelaraskan hadis-hadis yang dibahas dengan ayat al-Quran karena sebagaimana diketahui bahwa hadis pada umumnya merupakan penafsiran dari ayat-ayat al-Quran yang mengandung makna umum.
7.      Mengambil kesimpulan sesuai dengan apa yang dituntut dalam permasalahannya, apabila yang dituntut untuk menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, maka dalam kesimpulan ini akan terlihat pengkompromiannya atau penyelesaiannya, apabila yang dituntut suatu ketetapan hukum maka pada kesimpulan ini dapat di-istinbath-kan hukum yang dimaksud oleh hadis-hadis tersebut.[4]
Langkah-langkah yang disebutkan di atas bukanlah suatu rumusan yang baku dan kaku, langkah-langkah tersebut dapat saja ditambah atau dikembangkan lagi atau dalam operasionalnya bisa ditempuh dengan jalan yang berbeda. Seperti halnya Syafe’iy dalam menyeleksi kualitas hadis, hanya hadis-hadis mukhtalif yang maqbul saja yang diambil, sedangkan Qardhawi dalam metode tematik ini selain hadis yang shahih bisa saja memakai hadis dhaif, selama tingkat kedhaifannya tidak terlalu berat, seperti hadis-hadis muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Walaupun terdapat perbedaan masing-masing mereka, namun setidaknya inilah langkah-langkah penting yang akan dilalui dalam memahami hadis secara tematik.
Dari uraian di atas, menurut penulis ada berbagai keunggulan yang dimiliki dengan menggunakan metode tematis korelatif ini, antara lain;
a.       Dalam memahami hadis, metode ini lebih dekat pada kebenaran dan jauh dari kemungkinan kesalahan dan kekeliruan.
b.      Metode ini dapat menolak dan menghapus kekeliruan yang mengatakan bahwa terdapat kontradiksi antara satu hadis dengan hadis lainnya, begitu juga dengan hukum tentang sesuatu yang seolah-olah bertentangan.
c.       Agar tidak terburu-buru menolak suatu hadis karena pemahaman yang parsial, atau tidak tersalah dalam memahami sebuah hadis.
d.      Menjauhkan diri dari kemungkinan pemahaman hadis berdasarkan takwil yang berlebihan, hal ini disebabkan memahami hadis tanpa mengaitkan dengan hadis lainnya yang semakna atau hadis lainnya yang masih membicarakan objek yang sama, cenderung melahirkan interpretasi yang lebih luas.
e.       Pemahaman tematik-korelatif memungkinkan kita mengetahui pesan-pesan Rasulullah tentang sesuatu dengan pemahaman yang komprehensif.
f.       Dengan metode ini kemungkinan seseorang mengetahui permasalahan dengan segala aspeknya, serta memungkinkan untuk sampai pada inti permasalahan yang dituju menjadi lebih besar, sehingga ia mampu mengemukakan argumen yang kuat tentang maksud dan tujuan hadis-hadis Rasulullah.
Pemahaman hadis secara tematik ini nampaknya merupakan perpanjangan dari pemahaman hadis berdasarkan al-Quran. Di kalangan Sahabat, fuqaha dan muhadditsin metode tematik ini merupakan pemahaman hadis dengan sunnah.[5]


[1]Musthafa Muslim, Mabahits fi al-Tafsir al-Maudhu’iy (Damaskus: Dar al-Qalam, 1418 H/1997 M), cet. Ke-2, h. 16. ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’iy: Suatu Pengantar, diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah, judul asli “Al-Bidayat fi al-Tafsir al-Maudhu’iy: Dirasat Mahajiyyat Maudhu’iyyah”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) cet. Ke-1 h. 33-34, dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quran Dengan Metode Maudhu’I dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, (ed) Bustami A. Gani dan Chatibul Umam (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1994), cet. Ke-2, h. 27.
[2]Edi Safri, Al-Imam Al-Syafe’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999) cet. Ke-1 h. 111. lihat juga, Suryadi, “Pendekatan Tematik Dalam Memahami Hadis”, dalam jurnal ESENSIA Vo. 3 Nomor 1, (Januari 2002) h. 50.
[3]Yusuf al-Qardhawi, Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Virginia: Al-Ma’had al-‘Ali li al-Fikr al-Islami, 1989), h. 103
[4]Bandingkan dengan Buchari M. Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), cet. Ke-1. h. 104-105
[5]Musfar Azmillah, op.cit., h. 77, 161 dan 345

Memahami Hadis Berdasarkan Isyarat Al-Quran


A.    Memahami Hadis Berdasarkan Isyarat Al-Quran

 Untuk dapat memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan interpretasi yang salah, maka sebaiknya sunnah terlebih dahulu dipahami sesuai dengan petunjuk al-Quran, karena al-Quran merupakan ruh eksistensi Islam dan azas bangunannya. Ia merupakan konstitusi dasar yang pertama dan utama, padanya dikembalikan segala perundang-undangan yang ada dalam Islam. Sedangkan sunnah merupakan penjelas (bayan) dan merinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun petunjuk penerapan secara praktis.
 Secara logika tidak mungkin sesuatu yang merupakan pemberi penjelasan bertentangan dengan apa yang hendak dijelaskan. Karena sunnah merupakan penjelasan dan penafsiran al-Quran, maka sunnah sudah pasti tidak bertentangan dengan al-Quran dan tidak pernah ada sunnah atau hadis shahih yang bertentangan dengan al-Quran. Apabila ditemukan sunnah shahih yang tampak bertentangan dengan al-Quran, maka boleh jadi sunnah tersebut shahih tetapi tidak tegas dan jelas petunjuknya (dilalat) atau sunnah yang tegas tetapi tidak shahih. Apabila sunnah tidak shahih maka sunnah tersebut tidak dapat dijadikan hujjah, sedangkan sunnah yang kurang tegas petunjuknya harus ditakwilkan sehingga ia sesuai dengan al-Quran.[1]
Ibnu al-Qayyim mengatakan dalam bukunya I’lam al-Muwaqqi’in tentang hubungan antara al-Quran dan sunnah sebagai berikut: Pertama, Sunnah harus sesuai dengan al-Quran dari segala seginya, sehingga al-Quran dan sunnah sama-sama menetapkan satu hukum dengan berbagai dalilnya. Kedua, Sunnah sebagai pemberi penjelasan dari apa yang diinginkan oleh al-Quran dan penafsirannya. Ketiga, Sunnah mewajibkan atas persoalan yang tidak disebutkan kewajibannya oleh al-Quran dan mengharamkan apa yang tidak disebutkan pengharamannya oleh al-Quran. Hubungan yang ketiga ini bukan berarti sunnah menyalahi al-Quran, melainkan penjabaran lebih lanjut tentang hukum asal yang ada dalam al-Quran. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa hal ini adalah tambahan kewajiban atas al-Quran yang berasal dari Rasulullah dan merupakan penetapan hukum syariat yang dilakukan oleh Nabi dan harus dita’ati. Bukan berarti mengutamakan sunnah dari al-Quran, melainkan keta’atan kepada Allah dan dalam menta’ati RasulNya.[2]
Alasan lain sunnah harus dipahami berdasarkan al-Quran adalah bahwa  segala sesuatu yang diucapkan Rasulullah merujuk kepada al-Quran, karena al-Quran merupakan asalnya, secara dekat maupun jauh. Oleh karena itu tidak satupun sunnah yang bertentangan dengan al-Quran. Maka dari itulah sunnah dikatakan sebagai penjabaran garis-garis besar dari al-Quran dan menentukan spesifikasi hal-hal yang umum atau mengikat (muqayyad) dan hal-hal yang lepas (muthlaq)".
Dari berbagai alasan di atas maka tidak mungkin ada suatu hadis shahih yang kandungannya berlawanan dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamat, dengan berisikan keterangan-keterangan yang jelas dan pasti. Apabila ada sebagian orang yang memperkirakan bahwa ada kontradiksi antara sunnah dengan al-Quran, maka hal itu bisa disebabkan oleh beberapa kemungkinan; 1) Hampir dapat dipastikan bahwa sunnah atau hadis tersebut tidak berkualitas shahih, 2). Boleh jadi pemahaman yang diberikan pada hadis tersebut tidak tepat dan salah, 3). Apa yang dikira sebagai pertentangan dan kontradiksi tersebut hanyalah bersifat semu, bukan pertentangan hakiki, karena setelah diteliti dan ditelusuri maka keduanya dapat dikompromikan.
Untuk dapat memahami sunnah dengan benar, terhindar dari penyimpangan dan salah mentakwilkan maka salah satu cara yang ditempuh yaitu pemahaman dengan berpedoman kepada al-Quran, atau sunnah harus dipahami dalam kerangka petunjuk al-Quran. Pemahaman hadis berdasarkan al-Quran ini sebetulnya telah dimulai semenjak masa sahabat, ketika sahabat menemukan kontradiksi atau hadis yang menyalahi al-Quran, maka al-Quran-lah yang didahulukan, adakalanya hadis tersebut ditolak, atau dikompromikan melalui takwil jika memungkinkan. Di antara hadis-hadis yang dipahami dengan metode ini adalah hadis tentang nafkah istri yang diceraikan suaminya, hadis tentang memakan daging binatang buas, hadis Nabi tentang melihat Tuhan, nikah mut’ah  dan hadis lainnya.[3]


[1]Yusuf al-Qardhawi, Al-Quran dan Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam,judul asli, al-Marja’iyah al-Ulya fiy al-Islam li al-Quran wa al-Sunnah, penterjemah Bahruddin Fannani,  (Jakarta: Robbani Press, 1997), cet. Ke-1, h. 202
[2]Ibid.
[3]Musfar Azmillah al-Dhaminiy, Maqais Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadh: 1984) cet. Ke-1, h. 65