A.
Pemahaman
Hadis Melalui Pendekatan Kebahasaan
Hadis disampaikan dalam bahasa Arab, oleh karena itu
aspek kebahasaan sangat mempengaruhi dalam memahami hadis nabi. Apabila aspek
kebahasaan ini tidak diperhatikan ketika berhadapan dengan suatu hadis, sudah
dapat dipastikan akan terjadi kekeliruan dalam memahami maksud hadis tersebut.
Oleh karena itu dalam memahami hadis diperlukan suatu metode pemahaman secara
kebahasaan.
Membicarakan Bahasa Arab tidak terlepas dari dua masalah
pokok, yaitu; (1) qawaid (grammar) yang terdiri dari nahwu dan sharaf,
(2) masalah balaghah. Balaghah meliputi pembahasan yang sangat luas.
Dalam kajian ini penulis lebih menfokuskan pada masalah majaz saja. Dalam
pemahaman hadis secara kebahasaan, penulis juga mengklasifikasikan masalah ilmu
gharib al-hadis ke dalam pemahaman hadis secara kebahasaan. Dengan
alasan bahwa ilmu gharib al-hadis
yang dimaksud, bersumber dari bahasa Arab yang tidak dipahami oleh sebagian
orang, di samping itu juga bahwa ilmu gharib al-hadis kebanyakan
disebabkan perubahan dan pergeseran makna kata dari satu masa ke masa
berikutnya. Untuk lebih jelasnya tentang metode pemahaman hadis secara
kebahasaan ini akan penulis uraikan sebagai berikut:
a.
Qawaid
Bahasa Arab (Ilmu Nahwu dan Syaraf)
Dalam masalah nahwu, yang harus diteliti dan
diketahui terlebih dahulu adalah bagaimana Nabi mengucapkan suatu hadis
tertentu, apakah marfu’, majrur, mansub ataupun majzum,
dalam bahasa Arab hal inilah sebagai penentu kedudukan kata dalam sebuah
kalimat adakalanya sebagai subjek, prediket, objek atau keterangan.
Sebagaimana telah digambarkan di atas, betapa halusnya bahasa
Arab sehingga perbedaan kecil dalam pengucapan akan membawa pengaruh besar
dalam maknanya. Apalagi dalam memahami hadis, apabila suatu kata atau kalimat
ditemukan suatu lafaz dengan fungsi yang berbeda, ada yang menempatkan sebagai fa’il
(subjek), fi’il (prediket), dan ada juga yang menempatkan sebagai maf’ul
(objek), serta shifah (keterangan) atau lainnya. Maka redaksi yang
berbeda dalam suatu hadis ada kemungkinan akan membawa pada makna yang berbeda,
perbedaan makna lebih lanjut akan membawa kepada perbedaan hukum yang terdapat
dalam hadis tersebut.
b.
Ilmu Balaghah
Masalah balaghah yang paling diutamakan
adalah membedakan antara hakikat dengan majaz (kiasan). Sebagaimana
diketahui bahwa bahasa Arab dengan majaz, dalam ilmu balaghah gaya bahasa majaz
ini penggunaannya lebih banyak dan lebih luas cakupannya dari pada hakekat. Rasulullah
seorang bangsa Arab yang paling piawai dalam masalah balaghah , maka tak
heran jika dalam setiap ucapan beliau
banyak sekali ditemukan kata yang bermakna majaz. Baik majaz lughawiy,
‘aqliy, isti’arah, kinayah, isti’arah tamtsiliyyah, dan kata-kata yang
menggunakan ungkapan lainnya. Seperti hadis Nabi ketika beliau mengatakan
kepada istri-istrinya:
أسر
عكن لطولكن يدا (رواه البخارى و مسلم و الترمذى و النسائى)
“orang yang paling cepat di antara kalian
menyusulku adalah yang panjang tangannya”[1]
Mendengar perkataan
Nabi ini para istrinya langsung mengukur tangan masing-masing, padahal Nabi
memakai kiasan panjang tangan untuk orang yang suka bekerja, banyak melakukan
kebaikan dan bekerja di antara mereka. Inilah salah satu hadis yang mengandung
makna majazi. Jika dipahami makna hakikinya akan membawa kepada pemahaman yang keliru. Untuk itu
dibutuhkanlah suatu pemahaman hadis yaitu membedakan hakikat dengan majaz.
c.
Ilmu Gharib
al-Hadis.
Menurut Ibnu Manzur dalam Lisan al-Arab[2]
gharib jamaknya ghurama’ berarti: asing, jauh dari negeri asal
dan tak punya keluarga, sebagai contoh Ibnu Manzur mengutip hadis:
ان الاسلام بدأ
غريبا وسيعود غريبا فطوبى للغربأ (رواه الترمذى)
Islam datang
dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing, maka bahagiakanlah orang
asing.[3]
Menurut Sulaiman al-Khatabiy, bahwa gharib dari
suatu ungkapan bahasa yaitu yang tidak jelas dan jauh dari pemahaman umum.
Selanjutnya dikatakan gharib dari suatu bahasa atau ungkapan, dalam dua
hal; a). arti yang tidak jelas dan tidak bisa dipahami, b) suatu ungkapan yang
asing karena bukan berasal dari bahasa kabilah-kabilah Arab.[4]
Sedangkan gharib al-hadis adalah
ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam hadis yang tidak bisa dipahami, baik
dikarenakan ungkapan tersebut janggal kedengarannya atau lafaz tersebut bukan
dari ungkapan bahasa kabilah-kabilah Arab[5].
Contoh hadis yang mengandung lafaz yang gharib adalah seperti hadis
berikut:
حدثنا أبو العباس محمد بن
يعقوب قال : ثنا الحسن بن علي بن عفان العامري قال : ثنا أبو أسامة قال : ثنا عامر
بن عبيدة الباهلي قال : ثنا أبو المليح الهذلي ، عن أبيه قال : كنا مع النبي صلى الله
عليه وسلم فأصابنا بغيش من مطر ، فنادى منادي النبي صلى الله عليه وسلم ، ونحن في سفر
: « من شاء أن يصلي في رحله فليفعل » قال أبو عبد الله : سألت الأدباء عن معنى البغيش
، فقالوا : المطر ، والعرب تقول : بغشة ، وبغيش (رواه البخارى و مسلم و الثرمذى)
Telah
meriwayatkan kepada kami Abu ‘Abbas Muhammad Bin Ya’kub berkata, telah
meriwayatkan kepada kami Hasan Bin Aliy Bin ‘Affan al-‘Amiriy berkata, telah
meriwayatkan kepada kami Abu Usamah berkata, telah meriwayatkan kepada kami
‘Amir Bin ‘Ubaidah al-Bahiliy berkata, telah meriwayatkan kepada kami Abu
al-Malih al-Hazaliy dari bapaknya berkata: kami bersama Nabi SAW dalam
perjalanan bersama rombongan lalu mereka ditimpa hujan gerimis pada saat itu
terdengar suara azan, siapa yang ingin sholat dalam perjalanan maka dia
melakukannya.[6]Abu
Abdillah berkata; saya bertanya kepada al-Ubada’ tentang makna Baghisy, maka
mereka menjawab: maksudnya adalah hujan gerimis.
Lafaz بغيش merupakan lafaz yang gharib bagi orang Arab karena tidak bisa
dipahami oleh mereka. Tetapi setelah dijelaskan, maka maksud dari hadis ini
dapat dipahami secara jelas di mana بغيش artinya adalah hujan
gerimis. Dengan demikian maksud dari hadis ini yaitu dalam perjalanan Nabi
beserta sahabat ditimpa hujan gerimis pada waktu bersamaan waktu sholat sudah
masuk (azan). Bagi sahabat yang ingin melaksanakan sholat maka diperbolehkan,
bagi yang tidak melaksanakan dibolehkan setelah gerimis berhenti atau setelah
sampai di tempat tujuan.
Dengan demikian langkah pertama yang harus
dilakukan melalui metode ini adalah melihat persoalan yang terdapat dalam hadis
tersebut, kemudian memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kaidah bahasa
Arab, balaghah, gharib al-hadis, atau yang lainnya dari unsur-unsur
kebahasaan, setelah itu baru dijelaskan apa yang dimaksud dari hadis tersebut. Dalam
metode ini tidak tertutup kemungkinan dibantu oleh metode lainnya untuk bisa sampai
pada pemahaman yang benar.
[1] Diriwayatkan oleh Bukhari, kitab zakat bab 11, oleh Muslim
dalam Kitab Fadhail al-Shahabah, hadis nomor 101, oleh al-Turmudzi dalam
kitab Manaqib bab 60, dan al-Nasa’I dalam kitab Zakat bab 59
[2]Imam al-Alamah Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Ihya
Turats al-Arabiy, 1992) cet. Ke-2, jilid XI, h. 33
[3]Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Iman hadis nomor 232,
al-Turmudzi dalam kitab Iman bab 13, Ibnu Majah dalam kitab Fitan
bab 15, Al-Darimiy dalam kitab Raqaq bab 42, Imam Ahmad bin Hanbal Juz I
nomor 184, 398, juz II nomor 177, 222, 389 dan juz IV nomor 73
[4]Organisasi Pakar Bahasa Arab, Al-Mu’jam al-Arabiy al-Asasiy,
(Larouse: t.tb.,1998) h. 88
[5]Al-Alamah Jarullah bin Mahmud bin Amr al-Zamakhsyariy, Al-Faiq fi
Gharib al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993) Jilid I, h. 121
[6]Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Azan nomor bab 100,
Muslim dalam kitab shalat nomor hadis 175, dan al-Turmudzi dalam kitab shalat
bab 5.