Rabu, 31 Juli 2019

METODE PEMAHAMAN HADITS


1.      Sabab Wurud al-Hadis
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa tidak semua hadis mempunyai latar belakang historis, ada hadis yang muncul karena faktor-faktor tertentu dan ada pula yang muncul begitu saja, tidak karena faktor-faktor tertentu. Berkaitan dengan pemahaman hadis yang benar, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah meneliti apakah hadis yang akan dikaji itu mempunyai sabab al-wurud atau tidak.
Secara sederhana, sabab al-wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Menurut Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H), sabab al-wurud berarti sesuatu yang menjadi thariq (jalan) untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat umum atau khusus, muthlaq atau muqayyad, dan untuk menentukan ada atau tidaknya naskh dalam hadis itu. Sebab-sebab yang melatarbelakangi munculnya hadis itu sendiri dapat berupa pertanyaan sahabat, peristiwa maupun keputusan terhadap persoalan yang terjadi antar sahabat.
Telaah historis melalui sabab al-wurud ini sangat penting dilakukan, karena- sebagaimana yang dinyatakan al-Suyuthi- kita akan mengetahui mana hadis yang umum, mana hadis yang khusus, mana hadis yang muthlaq dan mana hadis yang muqayyad, sehingga kita akan menempatkan hadis sesuai porsinya. Berkaitan dengan urgensi sabab al-wurud, Ibnu Taymiyyah mengatakan, “mengetahui sabab (al-wurud) itu menolong dalam memahami hadis (dan ayat). Karena mengetahui sabab itu dapat mengetahui musabbab (akibat)”.[1]
Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Abbas:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جأ احدكم الجمعة فليغتسل    (رواه البخارى و مسلم)
Rasulullah saw. Bersabda “apabila kamu sekalian hendak datang (menunaikan shalat) Jumat, maka hendaklah ia terlebih dahulu mandi (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan petunjuk hadits di atas, Imam Daud al-Dzahiriy (w. 270 H/883 M) dan yang sepaham dengannya menyatakan, mandi pada hari Jumat sebelum menunaikan shalat Jumat adalah wajib dan berlaku untuk siapapun. Ini karena beliau memahami hadis itu apa adanya, tanpa mengaitkannya dengan sebab yang melatarbelakangi kemunculannya.
Menurut riwayat yang ada, hadis itu memiliki sebab yang khusus. Diriwayatkan, pada saat itu perekonomian para sahabat umumnya masih dalam keadaan sulit, sehinga mereka hanya mampu memakai baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Mereka juga banyak yang bekerja di kebun sebagai petani. Setelah berladang, mereka banyak yang langsung pergi ke mesjid untuk menunaikan shalat Jumat. Pada suatu Jumat, cuaca sedang panas, sementara masjid sempit. Tatkala Nabi saw. Berkhutbah, aroma keringat dari orang-orang yang berbaju wol kasar dan belum mandi itu menerpa hidung Nabi saw. Suasana hening dalam mesjid menjadi terganggu oleh aroma tidak sedap itu, sehingga Nabi saw. pun mengatakan seperti hadis tadi. Karenanya, bila kita melihat sebab munculnya hadis ini, maka kita akan berkesimpulan bahwa mandi Jumat itu hanya wajib bagi orang-orang yang badannya kotor.[2]
2.      Geografis
Pada dasarnya, pemahaman model ini hanya bertujuan untuk melihat tempat  di mana hadis itu disabdakan, sehingga penerapannya tepat.[3] Misalnya hadis yang disabdakan untuk masyarakat Madinah, bila dipahami secara lafdziyyah (tekstual) belum tentu tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia. Karenanya, kondisi seperti ini menuntut adanya pemahaman secara kontekstual, sehingga makna hadis itu menjadi tepat, kendati diterapkan pada wilayah berbeda. Misalnya hadis yang diriwayatkan Imam al-Turmudziy:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي مَعْشَرٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ  (وراه الترمذى)
 Muhammad bin Abi Ma’sar meriwayatkan kepada kami, telah meriwayatkan kepada kami bapakku dari Muhammad bin Umar dari Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: Arah antara Timur dan  Barat adalah kiblat. (HR. Al-Turmuziy)

Untuk masyarakat Madinah, yang secara geografis berada di Utara Ka’bah (Mekah), makanya makna lafzhiyyah hadis ini tepat sekali, karena kota Madinah berada pada posisi antara Timur dan Barat kota Mekah. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang secara geografis berbeda dengan masyarakat Madinah? Apakah hadis itu harus dipahami apa adanya, tapi justeru memunculkan kekeliruan? Tentu tidak! Pemahamannya harus melalui pendekatakan kontekstual, yaitu dengan melihat lokasi di mana hadis itu disabdakan.
Secara kontekstual, hadis itu dapat dipahami bahwa untuk masyarakat Indonesia., maka arah yang berada di antara utara dan selatan itulah kiblat, bukan antara timur dan barat. Dengan demikian, hadis ini dapat diterapkan untuk dua wilayah yang berbeda secara tepat. Perbedaannya terletak pada model pemahaman saja. Untuk masyarakat Madinah, hadis ini cukup dipahami secara tekstual, sementara untuk masyakat Indonesia, hadis itu perlu dipahami secara kontekstual.
3.      Illat al-Kalam[4] (Kausalitas Kalimat)
Dalam memberi perintah atau larangan, Nabi SAW terkadang menggunakan ungkapan-ungkapan yang maksudnya tidak dapat dipahami secara kongkrit oleh setiap sahabat. Misalnya perintah beliau pada para sahabat perihal  shalat Ashar di Bani Quraidhah, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari. Beliau bersabda:
لا يصلين احدكم العصر الا فى بنى قريظة      (رواه البخارى)
Janganlah shalat Ashar salah seorang di antara kalian, kecuali di Bani Quraidhah (HR. Bukhari)

Oleh sebagian sahabat, perintah Nabi saw. itu dipahami bahwa maksud beliau adalah supaya para sahabat cepat sampai di Bani Quraidhah, bukan keharusan shalat Ashar di sana. Dengan demikian, bagi mereka yang jalannya lambat dan tidak sampai di Bani Quraidhah kecuali setelah matahari terbenam, maka mereka harus shalat Ashar sebelum matahari terbenam, meskipun belum sampai di Bani Quraidhah. Apabila mereka sembahyang Ashar di Bani Quraidhah, sementara waktu shalat Ashar telah habis, maka berarti mereka telah meninggalkan sembahyang Ashar pada waktunya dengan sengaja.
Merespon perintah Nabi saw. itu, ada sebagian sahabat yang memahaminya secara tekstual, sehingga mereka shalat Ashar di Bani Quraidhah, persis seperti bunyi perintah itu padahal matahari sudah terbenam. Setelah Nabi saw. diberitahu perihal dua pemahaman itu, beliau tidak menyalahkan salah satunya. Karenanya, dari sini dapat ditangkap isyarat bahwa pendekatan tekstual dan kontekstual dibenarkan Nabi saw, terkait hadis-hadis yang memungkinkan dipahami secara tekstual dan kontekstual.
Di sisi lain ada hadis yang tidak dapat dipahami kecuali melalui pendekatan kontekstual, yaitu melalui pemahaman terhadap ‘illat. Misalnya sabda Nabi saw.:
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا بَنُو إِسْرَائِيلَ لَمْ يَخْبُثْ الطَّعَامُ وَلَمْ يَخْنَزْ اللَّحْمُ وَلَوْلَا حَوَّاءُ لَمْ تَخُنْ أُنْثَى زَوْجَهَا الدَّهْرَ   (رواه مسلم) [5]
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Bin Rafi’, telah meriwayatkan kepada kami Abdu al-Razak, telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Hamam Bin Munbih berkata hal ini sebagaimana telah meriwayatkan kepada kami Abu Hurairah dari Rasulullah bersabda: Seandainya tidak ada Bani Israil, maka makanan tidak akan menjadi basi, daging tidak akan menjadi busuk, dan seandainya tidak ada hawwa, maka tidak ada isteri yang berkhianat pada suaminya. (HR. Muslim)

Hadis ini disabdakan Nabi saw. sebagai kritik atas kebakhilan orang-orang Yahudi yang tidak mau memberikan makanannya pada orang lain, sementara mereka sendiri tidak siap mengkonsumsi semuanya, sehingga makanan itu busuk. Muhammad al-Gazali yang memahami hadis ini secara tekstual, akhirnya berkesimpulan bahwa hadis ini palsu, karena membusuknya daging tidak ada kaitannya dengan orang-orang Yahudi.
4.      Sosio-Kultural
Di samping tiga pendekatan di atas, pemahaman kontekstual juga dapat dilakukan melalui pendekatan sosio-kultural, yaitu dengan mengaitkan hadis itu dengan kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Misalnya, hadis Nabi saw. yang membolehkan orang yang sedang sholat meludah di masjid. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari, yaitu:
بَاب مَا يَجُوزُ مِنْ الْبُصَاقِ وَالنَّفْخِ فِي الصَّلَاةِ وَيُذْكَرُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو نَفَخَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سُجُودِهِ فِي كُسُوفٍ
Bab tentang bolehnya meludah ketika shalat dan disebutkan dari Abdullah Bin Umar bahwa Nabi meludah dalam sujudnya ketika gerhana.
  
Untuk konteks waktu itu, meludah di masjid merupakan persoalan biasa, karena konteks masjid waktu itu tidak seperti masjid sekarang. Masjid zaman Nabi saw. belum mengenal lantai keramik, melainkan lantai pasir. Sehingga ludah yang jatuh di masjid saat itu langsung diserap pasir. Apalagi ternyata pasir di Arab dengan udara kering dan panas menyebabkan bakhteri-bakhteri tidak tahan hidup.
Ini berbeda dengan mesjid saat ini yang lantainya telah menggunakan keramik atau marmer. Bila meludah di masjid seperti ini dibenarkan, maka justru akan mengotori masjid dan membahayakan kesehatan. Bahkan boleh jadi, masjid semakin tidak ada peminatnya, karena penuh kotoran ludah. Karena itu, kita tidak mungkin menerapkan hadis itu secara tekstual, tanpa mengaitkannya dengan kondisi kultural saat itu.


[1]Ali Musthafa Yaqub, “Metode Memahami Hadis,” Makalah yang dipresentasikan pada workshop Dosen Ilmu Hadis se-Indonesia di UIN Sunan Kalijaga,  (Yokyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008)
[2]Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar al-‘Asqalâniy selanjutnya disingkat dengan Ibn Hajar al-Asqalâniy, Fath al-Bâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), Juz III, h.278 – 279
[3]Ibid.,
[4]Illah al-kalam maksudnya adalah sesuatu sebab yang menimbulkan adanya pernyataan atau percakapan. Lihat: Moh. E. Hasim, Kamus Istilah Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), h. 55
[5]Al-Imâm Abu al-Husain Muslim ibn al-Hujjaj ibn Muslim al-Qusyairiy al-Naisaburiy selanjutnya disingkat dengan al-Imâm Muslim, Shahih Muslim, (al-Qahirah: Maktabah al-Shaff, 2004), juz VII, h. 405

Tidak ada komentar:

Posting Komentar