1.
Sabab Wurud al-Hadis
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa tidak semua hadis mempunyai
latar belakang historis, ada hadis yang muncul karena faktor-faktor tertentu
dan ada pula yang muncul begitu saja, tidak karena faktor-faktor tertentu.
Berkaitan dengan pemahaman hadis yang benar, maka pertama kali yang harus
dilakukan adalah meneliti apakah hadis yang akan dikaji itu mempunyai sabab
al-wurud atau tidak.
Secara sederhana, sabab al-wurud dapat diartikan
sebagai sebab-sebab yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Menurut Imam
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H), sabab al-wurud berarti sesuatu yang
menjadi thariq (jalan) untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat
umum atau khusus, muthlaq atau muqayyad, dan untuk menentukan ada
atau tidaknya naskh dalam hadis itu. Sebab-sebab yang melatarbelakangi
munculnya hadis itu sendiri dapat berupa pertanyaan sahabat, peristiwa maupun
keputusan terhadap persoalan yang terjadi antar sahabat.
Telaah historis melalui sabab al-wurud ini sangat
penting dilakukan, karena- sebagaimana yang dinyatakan al-Suyuthi- kita akan
mengetahui mana hadis yang umum, mana hadis yang khusus, mana hadis yang muthlaq
dan mana hadis yang muqayyad, sehingga kita akan menempatkan hadis
sesuai porsinya. Berkaitan dengan urgensi sabab al-wurud, Ibnu Taymiyyah
mengatakan, “mengetahui sabab (al-wurud) itu menolong dalam
memahami hadis (dan ayat). Karena mengetahui sabab itu dapat mengetahui musabbab
(akibat)”.[1]
Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari
dan Muslim dari Abdullah bin ‘Abbas:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم إذا جأ احدكم الجمعة فليغتسل
(رواه البخارى و مسلم)
Rasulullah
saw. Bersabda “apabila kamu sekalian hendak datang (menunaikan shalat) Jumat,
maka hendaklah ia terlebih dahulu mandi (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan petunjuk hadits di atas, Imam Daud
al-Dzahiriy (w. 270 H/883 M) dan yang sepaham dengannya menyatakan, mandi pada
hari Jumat sebelum menunaikan shalat Jumat adalah wajib dan berlaku untuk
siapapun. Ini karena beliau memahami hadis itu apa adanya, tanpa mengaitkannya
dengan sebab yang melatarbelakangi kemunculannya.
Menurut riwayat yang ada, hadis itu memiliki sebab yang
khusus. Diriwayatkan, pada saat itu perekonomian para sahabat umumnya masih
dalam keadaan sulit, sehinga mereka hanya mampu memakai baju wol yang kasar dan
jarang dicuci. Mereka juga banyak yang bekerja di kebun sebagai petani. Setelah
berladang, mereka banyak yang langsung pergi ke mesjid untuk menunaikan shalat
Jumat. Pada suatu Jumat, cuaca sedang panas, sementara masjid sempit. Tatkala
Nabi saw. Berkhutbah, aroma keringat dari orang-orang yang berbaju wol kasar
dan belum mandi itu menerpa hidung Nabi saw. Suasana hening dalam mesjid
menjadi terganggu oleh aroma tidak sedap itu, sehingga Nabi saw. pun mengatakan
seperti hadis tadi. Karenanya, bila kita melihat sebab munculnya hadis ini,
maka kita akan berkesimpulan bahwa mandi Jumat itu hanya wajib bagi orang-orang
yang badannya kotor.[2]
2.
Geografis
Pada dasarnya, pemahaman model ini hanya bertujuan untuk
melihat tempat di mana hadis itu
disabdakan, sehingga penerapannya tepat.[3]
Misalnya hadis yang disabdakan untuk masyarakat Madinah, bila dipahami secara lafdziyyah
(tekstual) belum tentu tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia . Karenanya, kondisi
seperti ini menuntut adanya pemahaman secara kontekstual, sehingga makna hadis
itu menjadi tepat, kendati diterapkan pada wilayah berbeda. Misalnya hadis yang
diriwayatkan Imam al-Turmudziy:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
أَبِي مَعْشَرٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَيْنَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
(وراه الترمذى)
Muhammad bin Abi Ma’sar meriwayatkan kepada kami, telah meriwayatkan
kepada kami bapakku dari Muhammad bin Umar dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: Arah antara Timur dan Barat adalah kiblat. (HR. Al-Turmuziy)
Untuk masyarakat Madinah, yang secara geografis berada
di Utara Ka’bah (Mekah), makanya makna lafzhiyyah hadis ini tepat
sekali, karena kota Madinah berada pada posisi
antara Timur dan Barat kota
Mekah. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang secara geografis
berbeda dengan masyarakat Madinah? Apakah hadis itu harus dipahami apa adanya,
tapi justeru memunculkan kekeliruan? Tentu tidak! Pemahamannya harus melalui
pendekatakan kontekstual, yaitu dengan melihat lokasi di mana hadis itu
disabdakan.
Secara kontekstual, hadis itu dapat dipahami bahwa untuk
masyarakat Indonesia. ,
maka arah yang berada di antara utara dan selatan itulah kiblat, bukan antara
timur dan barat. Dengan demikian, hadis ini dapat diterapkan untuk dua wilayah
yang berbeda secara tepat. Perbedaannya terletak pada model pemahaman saja.
Untuk masyarakat Madinah, hadis ini cukup dipahami secara tekstual, sementara
untuk masyakat Indonesia ,
hadis itu perlu dipahami secara kontekstual.
3.
‘Illat
al-Kalam[4]
(Kausalitas Kalimat)
Dalam memberi perintah atau larangan, Nabi SAW terkadang
menggunakan ungkapan-ungkapan yang maksudnya tidak dapat dipahami secara
kongkrit oleh setiap sahabat. Misalnya perintah beliau pada para sahabat
perihal shalat Ashar di Bani Quraidhah,
seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari. Beliau bersabda:
لا يصلين احدكم
العصر الا فى بنى قريظة (رواه
البخارى)
Janganlah
shalat Ashar salah seorang di antara kalian, kecuali di Bani Quraidhah (HR. Bukhari)
Oleh sebagian sahabat, perintah Nabi saw. itu dipahami
bahwa maksud beliau adalah supaya para sahabat cepat sampai di Bani Quraidhah,
bukan keharusan shalat Ashar di sana .
Dengan demikian, bagi mereka yang jalannya lambat dan tidak sampai di Bani
Quraidhah kecuali setelah matahari terbenam, maka mereka harus shalat Ashar
sebelum matahari terbenam, meskipun belum sampai di Bani Quraidhah. Apabila
mereka sembahyang Ashar di Bani Quraidhah, sementara waktu shalat Ashar telah
habis, maka berarti mereka telah meninggalkan sembahyang Ashar pada waktunya
dengan sengaja.
Merespon perintah Nabi saw. itu, ada sebagian sahabat
yang memahaminya secara tekstual, sehingga mereka shalat Ashar di Bani
Quraidhah, persis seperti bunyi perintah itu padahal matahari sudah terbenam.
Setelah Nabi saw. diberitahu perihal dua pemahaman itu, beliau tidak
menyalahkan salah satunya. Karenanya, dari sini dapat ditangkap isyarat bahwa
pendekatan tekstual dan kontekstual dibenarkan Nabi saw, terkait hadis-hadis
yang memungkinkan dipahami secara tekstual dan kontekstual.
Di sisi lain ada hadis yang tidak dapat dipahami kecuali
melalui pendekatan kontekstual, yaitu melalui pemahaman terhadap ‘illat.
Misalnya sabda Nabi saw.:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا
أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ
أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا بَنُو
إِسْرَائِيلَ لَمْ يَخْبُثْ الطَّعَامُ وَلَمْ يَخْنَزْ اللَّحْمُ وَلَوْلَا حَوَّاءُ
لَمْ تَخُنْ أُنْثَى زَوْجَهَا الدَّهْرَ (رواه
مسلم) [5]
Telah
meriwayatkan kepada kami Muhammad Bin Rafi’, telah meriwayatkan kepada kami
Abdu al-Razak, telah memberitakan kepada kami Ma’mar dari Hamam Bin Munbih
berkata hal ini sebagaimana telah meriwayatkan kepada kami Abu Hurairah dari
Rasulullah bersabda: Seandainya tidak ada Bani Israil, maka makanan tidak akan
menjadi basi, daging tidak akan menjadi busuk, dan seandainya tidak ada hawwa,
maka tidak ada isteri yang berkhianat pada suaminya. (HR. Muslim)
Hadis ini disabdakan Nabi saw. sebagai kritik atas
kebakhilan orang-orang Yahudi yang tidak mau memberikan makanannya pada orang
lain, sementara mereka sendiri tidak siap mengkonsumsi semuanya, sehingga
makanan itu busuk. Muhammad al-Gazali yang memahami hadis ini secara tekstual,
akhirnya berkesimpulan bahwa hadis ini palsu, karena membusuknya daging tidak
ada kaitannya dengan orang-orang Yahudi.
4.
Sosio-Kultural
Di samping tiga pendekatan di atas, pemahaman
kontekstual juga dapat dilakukan melalui pendekatan sosio-kultural, yaitu
dengan mengaitkan hadis itu dengan kondisi sosial masyarakat pada waktu itu.
Misalnya, hadis Nabi saw. yang membolehkan orang yang sedang sholat meludah di
masjid. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari, yaitu:
بَاب مَا يَجُوزُ مِنْ الْبُصَاقِ
وَالنَّفْخِ فِي الصَّلَاةِ وَيُذْكَرُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو نَفَخَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سُجُودِهِ فِي كُسُوفٍ
Bab tentang
bolehnya meludah ketika shalat dan disebutkan dari Abdullah Bin Umar bahwa Nabi
meludah dalam sujudnya ketika gerhana.
Untuk konteks waktu itu, meludah di masjid merupakan
persoalan biasa, karena konteks masjid waktu itu tidak seperti masjid sekarang.
Masjid zaman Nabi saw. belum mengenal lantai keramik, melainkan lantai pasir.
Sehingga ludah yang jatuh di masjid saat itu langsung diserap pasir. Apalagi
ternyata pasir di Arab dengan udara kering dan panas menyebabkan
bakhteri-bakhteri tidak tahan hidup.
Ini berbeda dengan mesjid saat ini yang lantainya telah
menggunakan keramik atau marmer. Bila meludah di masjid seperti ini dibenarkan,
maka justru akan mengotori masjid dan membahayakan kesehatan. Bahkan boleh
jadi, masjid semakin tidak ada peminatnya, karena penuh kotoran ludah. Karena
itu, kita tidak mungkin menerapkan hadis itu secara tekstual, tanpa
mengaitkannya dengan kondisi kultural saat itu.
[1]Ali Musthafa Yaqub, “Metode Memahami Hadis,” Makalah yang
dipresentasikan pada workshop Dosen Ilmu Hadis se-Indonesia di UIN Sunan
Kalijaga, (Yokyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2008)
[2]Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar al-‘Asqalâniy selanjutnya disingkat dengan
Ibn Hajar al-Asqalâniy, Fath al-Bâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), Juz
III, h.278 – 279
[3]Ibid.,
[4]Illah al-kalam maksudnya adalah sesuatu
sebab yang menimbulkan adanya pernyataan atau percakapan. Lihat: Moh. E. Hasim,
Kamus Istilah Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), h. 55
[5]Al-Imâm Abu al-Husain Muslim ibn al-Hujjaj ibn Muslim al-Qusyairiy
al-Naisaburiy selanjutnya disingkat dengan al-Imâm Muslim, Shahih Muslim, (al-Qahirah:
Maktabah al-Shaff, 2004), juz VII, h. 405
Tidak ada komentar:
Posting Komentar