Rabu, 31 Juli 2019

Pemahaman Hadis Secara Tekstual


A.    Pemahaman Hadis Secara Tekstual 
Yang dimaksud dengan pemahaman tekstual adalah pemahaman berdasarkan makna literatur dan makna zahir dari nash (pemahaman terhadap makna hadis seperti apa adanya (lafdziyyah). Secara umum, hadis dapat dipahami dengan pendekatan tekstual, namun tentu ada juga hadis yang tidak dapat dipahami dengan pendekatan tekstual. Pada dasarnya, hadis harus dipahami secara tekstual, tetapi apabila pemahaman tekstual ini dinilai tidak mungkin ditempuh, barulah kita menggunakan pemahaman kontekstual.
Pemahaman tekstual secara umum dapat mencakup;
    1. menyangkut ide moral/ ide dasar/ tujuan. Ide moral, ide dasar, gayah, ini ditentukan dari makna yang tersirat, yang sifatnya universal, lintas ruang waktu, dan intersubyektif
    2. bersifat absolut, prinsipil, universal dan fundamental
    3. mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, dan mu’asyarah bi al-ma’ruf.
    4. menyangkut relasi langsung dan spesifik manusia dengan Allah yang bersifat universal (bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun). Pemberlakuan sebagaimana yang tertuang dalam tekstualnya lintas ruang dan waktu, artinya sesuatu yang bisa diterima oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun, tidak terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historitas tertentu.[1]
Terlalu banyak contoh hadis yang dapat dipahami secara tekstual, misalnya:
صلوا كما رأيتموني اصلى   (رواه مسلم)
Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. (HR. Muslim)

Secara normatif, shalat adalah relasi manusia dengan Allah secara khusus. Tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk berkomunikasi, beribadah dan menyembah kepada penciptanya dalam kondisi apapun selama hidupnya.
  Namun apabila terlalu berpegang kepada pemahaman tekstual tanpa mempedulikan pemahaman kontekstual sering kali membawa kesalahan atau kejanggalan makna yang dikandung oleh sebuah hadis karena dapat melahirkan polarisasi interpretasi yang cendrung kaku dan sempit, bahkan terkesan bahwa hadis tersebut hanya terikat dengan waktu dan kondisi tertentu saja. Hal ini tentu akan membias kepada pandangan terhadap Islam sendiri seolah-olah memiliki ruang gerak yang sempit. Hal yang demikian tentu saja bertentangan dengan prinsip Islam, di mana ajaran Islam bersifat universal dan sangat fleksibel.


[1]Nurun Najwah, dkk, Metodologi Penelitian Living Quran dan Hadis, (Yokyakarta: Teras, 2007) cet. Ke-1, h. 147

Tidak ada komentar:

Posting Komentar