Rabu, 31 Juli 2019

Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Kebahasaan


A.    Pemahaman Hadis Melalui Pendekatan Kebahasaan
Hadis disampaikan dalam bahasa Arab, oleh karena itu aspek kebahasaan sangat mempengaruhi dalam memahami hadis nabi. Apabila aspek kebahasaan ini tidak diperhatikan ketika berhadapan dengan suatu hadis, sudah dapat dipastikan akan terjadi kekeliruan dalam memahami maksud hadis tersebut. Oleh karena itu dalam memahami hadis diperlukan suatu metode pemahaman secara kebahasaan.
Membicarakan Bahasa Arab tidak terlepas dari dua masalah pokok, yaitu; (1) qawaid (grammar) yang terdiri dari nahwu dan sharaf, (2) masalah balaghah. Balaghah meliputi pembahasan yang sangat luas. Dalam kajian ini penulis lebih menfokuskan pada masalah majaz saja. Dalam pemahaman hadis secara kebahasaan, penulis juga mengklasifikasikan masalah ilmu gharib al-hadis ke dalam pemahaman hadis secara kebahasaan. Dengan alasan bahwa  ilmu gharib al-hadis yang dimaksud, bersumber dari bahasa Arab yang tidak dipahami oleh sebagian orang, di samping itu juga bahwa ilmu gharib al-hadis kebanyakan disebabkan perubahan dan pergeseran makna kata dari satu masa ke masa berikutnya. Untuk lebih jelasnya tentang metode pemahaman hadis secara kebahasaan ini akan penulis uraikan sebagai berikut:
a.       Qawaid Bahasa Arab (Ilmu Nahwu dan Syaraf)
Dalam masalah nahwu, yang harus diteliti dan diketahui terlebih dahulu adalah bagaimana Nabi mengucapkan suatu hadis tertentu, apakah marfu’, majrur, mansub ataupun majzum, dalam bahasa Arab hal inilah sebagai penentu kedudukan kata dalam sebuah kalimat adakalanya sebagai subjek, prediket, objek atau keterangan.
Sebagaimana telah digambarkan di atas, betapa halusnya bahasa Arab sehingga perbedaan kecil dalam pengucapan akan membawa pengaruh besar dalam maknanya. Apalagi dalam memahami hadis, apabila suatu kata atau kalimat ditemukan suatu lafaz dengan fungsi yang berbeda, ada yang menempatkan sebagai fa’il (subjek), fi’il (prediket), dan ada juga  yang menempatkan sebagai maf’ul (objek), serta shifah (keterangan) atau lainnya. Maka redaksi yang berbeda dalam suatu hadis ada kemungkinan akan membawa pada makna yang berbeda, perbedaan makna lebih lanjut akan membawa kepada perbedaan hukum yang terdapat dalam hadis tersebut.
b.      Ilmu Balaghah
Masalah balaghah yang paling diutamakan adalah membedakan antara hakikat dengan majaz (kiasan). Sebagaimana diketahui bahwa bahasa Arab dengan majaz, dalam ilmu balaghah gaya bahasa majaz ini penggunaannya lebih banyak dan lebih luas cakupannya dari pada hakekat. Rasulullah seorang bangsa Arab yang paling piawai dalam masalah balaghah , maka tak heran jika dalam setiap ucapan  beliau banyak sekali ditemukan kata yang bermakna majaz. Baik majaz lughawiy, ‘aqliy, isti’arah, kinayah, isti’arah tamtsiliyyah, dan kata-kata yang menggunakan ungkapan lainnya. Seperti hadis Nabi ketika beliau mengatakan kepada istri-istrinya:
أسر عكن لطولكن يدا (رواه البخارى و مسلم و الترمذى و النسائى)
“orang yang paling cepat di antara kalian menyusulku adalah yang panjang tangannya”[1]

Mendengar  perkataan Nabi ini para istrinya langsung mengukur tangan masing-masing, padahal Nabi memakai kiasan panjang tangan untuk orang yang suka bekerja, banyak melakukan kebaikan dan bekerja di antara mereka. Inilah salah satu hadis yang mengandung makna majazi. Jika dipahami makna hakikinya akan membawa kepada  pemahaman yang keliru. Untuk itu dibutuhkanlah suatu pemahaman hadis yaitu membedakan hakikat dengan majaz.
c.       Ilmu Gharib al-Hadis.
Menurut Ibnu Manzur dalam Lisan al-Arab[2] gharib jamaknya ghurama’ berarti: asing, jauh dari negeri asal dan tak punya keluarga, sebagai contoh Ibnu Manzur mengutip hadis:
ان الاسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا فطوبى للغربأ   (رواه الترمذى)
Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing, maka bahagiakanlah orang asing.[3]

Menurut Sulaiman al-Khatabiy, bahwa gharib dari suatu ungkapan bahasa yaitu yang tidak jelas dan jauh dari pemahaman umum. Selanjutnya dikatakan gharib dari suatu bahasa atau ungkapan, dalam dua hal; a). arti yang tidak jelas dan tidak bisa dipahami, b) suatu ungkapan yang asing karena bukan berasal dari bahasa kabilah-kabilah Arab.[4]
Sedangkan gharib al-hadis adalah ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam hadis yang tidak bisa dipahami, baik dikarenakan ungkapan tersebut janggal kedengarannya atau lafaz tersebut bukan dari ungkapan bahasa kabilah-kabilah Arab[5]. Contoh hadis yang mengandung lafaz yang gharib adalah seperti hadis berikut:
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب قال : ثنا الحسن بن علي بن عفان العامري قال : ثنا أبو أسامة قال : ثنا عامر بن عبيدة الباهلي قال : ثنا أبو المليح الهذلي ، عن أبيه قال : كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم فأصابنا بغيش من مطر ، فنادى منادي النبي صلى الله عليه وسلم ، ونحن في سفر : « من شاء أن يصلي في رحله فليفعل » قال أبو عبد الله : سألت الأدباء عن معنى البغيش ، فقالوا : المطر ، والعرب تقول : بغشة ، وبغيش (رواه  البخارى و مسلم و الثرمذى)
Telah meriwayatkan kepada kami Abu ‘Abbas Muhammad Bin Ya’kub berkata, telah meriwayatkan kepada kami Hasan Bin Aliy Bin ‘Affan al-‘Amiriy berkata, telah meriwayatkan kepada kami Abu Usamah berkata, telah meriwayatkan kepada kami ‘Amir Bin ‘Ubaidah al-Bahiliy berkata, telah meriwayatkan kepada kami Abu al-Malih al-Hazaliy dari bapaknya berkata: kami bersama Nabi SAW dalam perjalanan bersama rombongan lalu mereka ditimpa hujan gerimis pada saat itu terdengar suara azan, siapa yang ingin sholat dalam perjalanan maka dia melakukannya.[6]Abu Abdillah berkata; saya bertanya kepada al-Ubada’ tentang makna Baghisy, maka mereka menjawab: maksudnya adalah hujan gerimis.

Lafaz بغيش merupakan lafaz yang gharib bagi orang Arab karena tidak bisa dipahami oleh mereka. Tetapi setelah dijelaskan, maka maksud dari hadis ini dapat dipahami secara jelas di mana بغيش artinya adalah hujan gerimis. Dengan demikian maksud dari hadis ini yaitu dalam perjalanan Nabi beserta sahabat ditimpa hujan gerimis pada waktu bersamaan waktu sholat sudah masuk (azan). Bagi sahabat yang ingin melaksanakan sholat maka diperbolehkan, bagi yang tidak melaksanakan dibolehkan setelah gerimis berhenti atau setelah sampai di tempat tujuan.
Dengan demikian langkah pertama yang harus dilakukan melalui metode ini adalah melihat persoalan yang terdapat dalam hadis tersebut, kemudian memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kaidah bahasa Arab, balaghah, gharib al-hadis, atau yang lainnya dari unsur-unsur kebahasaan, setelah itu baru dijelaskan apa yang dimaksud dari hadis tersebut. Dalam metode ini tidak tertutup kemungkinan dibantu oleh metode lainnya untuk bisa sampai pada pemahaman yang benar.


[1] Diriwayatkan oleh Bukhari, kitab zakat bab 11, oleh Muslim dalam Kitab Fadhail al-Shahabah, hadis nomor 101, oleh al-Turmudzi dalam kitab Manaqib bab 60, dan al-Nasa’I dalam kitab Zakat bab 59
[2]Imam al-Alamah Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabiy, 1992) cet. Ke-2, jilid XI, h. 33
[3]Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Iman hadis nomor 232, al-Turmudzi dalam kitab Iman bab 13, Ibnu Majah dalam kitab Fitan bab 15, Al-Darimiy dalam kitab Raqaq bab 42, Imam Ahmad bin Hanbal Juz I nomor 184, 398, juz II nomor 177, 222, 389 dan juz IV nomor 73
[4]Organisasi Pakar Bahasa Arab, Al-Mu’jam al-Arabiy al-Asasiy, (Larouse: t.tb.,1998) h. 88
[5]Al-Alamah Jarullah bin Mahmud bin Amr al-Zamakhsyariy, Al-Faiq fi Gharib al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993) Jilid I, h. 121
[6]Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Azan nomor bab 100, Muslim dalam kitab shalat nomor hadis 175, dan al-Turmudzi dalam kitab shalat bab 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar