A.
Pemahaman
Hadis Secara Kontekstual
Secara umum pemahaman kontekstual
mempunyai beberapa kriteria, antara lain:
1. Menyangkut sarana atau
bentuk (tertuang secara tekstual). Apa yang tertuang secara tekstual - selama tidak mencakup 4 kriteria pemahaman
tekstual di atas – pada dasarnya adalah wilayah kontekstual, jadi tidak menuntut
seseorang untuk mengikuti apa adanya. Bentuk maksudnya adalah sarana, sehingga
kontekstual adalah sifatnya. Dengan demikian mengikuti Nabi tidak harus berarti
berbicara dengan bahasa Nabi, memakai nama Arab, berjenggot dan memakai pakaian
ala Timur Tengah, menyantap kurma sebagai menu utama, memiliki budak, dan lain
sebagainya sebagaimana yang tertuang secara tekstual.
2. Mengatur hubungan manusia
sebagai individu dan makhluk biologis. Sebagai individu dan sebagai makhluk
biologis, manusia membutuhkan makanan dan minuman. Apa yang dimakan manusia dan
apa yang diminum umat Islam, dan bagaimana manusia memakan dan mengolahnya itu
adalah wilayah kontekstual, tidak terbatas pada apa yang dimakan dan diminum
Nabi dan cara Nabi memakannya. Ide dasar yang bisa kita runut pada ajaran Nabi
adalah bahwa apa yang kita makan dan kita minum adalah sesuatu yang halal dan
tidak berlebih-lebihan.
3. Mengatur hubungan dengan
sesama makhluk dan alam seisinya. Semua aspek yang mengatur bagaimana manusia
berhubungan dengan orang lain, dengan alam dan seluruh makhluk di bumi adalah
wilayah kontekstual. Bagaimana manusia bersosialisasi dengan alam, lingkungan
dan masyarakat sekitar itu memiliki keleluasaan untuk dipahami secara
kontekstual. Ide dasar yang bisa kita rujuk dari Nabi, adalah tidak melanggar
tatanan dalam kerangka untuk menjaga jiwa, kehormatan, keadilan dan persamaan
serta stabilitas secara keseluruhan dalam kerangka tunduk kepada Sang Pencipta.
4. Terkait persoalan sosial,
politik, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan/ tekhnologi (IPTEK). Tatanan sosial,
ekonomi, politik dan budaya manusia tidak membatasi diri pada bentuk-bentuk
persis apa yang ada pada masa Nabi, tetapi senantiasa disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan serta ketepatan hal itu diterapkan. Sebagai ilustrasi,
bentuk-bentuk transaksi ekonomi sudah semestinya tidak dalam bentuk yang sangat
sederhana, sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi SAW, tetapi lebih kompleks.
Hanya saja unsur ‘an taradh, adalah ide dasar atau unsur pokok yang
harus dimiliki setiap transaksi, sehingga tidak menjadikan satu di antara dua
pihak yang bertransaksi merasa dirugikan.
5. kontradiktif secara
tekstual. Teks-teks hadis yang saling kontradiktif, semestinya menunjukkan
bahwa bukan bentuk lahiriyyah yang dituju tetapi point in a direction (sebagai
penunjuk arah) atau maqasid al-syariah-nya. Ada konteks tersembunyi yang harus dicari
mengapa suatu ketika Nabi menyatakan atau melakukan sesuatu, sementara di sisi
lain menolak atau melarang melakukan sesuatu tersebut.[2]
Pembatasan semacam ini membawa konsekuensi
paradigma normatif-historis senantiasa melekat dalam setiap teks.
Hadis-hadis yang akan dipahami
secara kontekstual adalah hadis-hadis yang tidak bisa dipahami dalam bentuk
redaksinya saja (tekstual), dengan demikian hadis tersebut harus dihubungkan
dengan asbab wurud al-hadis, geografis, sosio-kultural, dan
lain-lain, kemudian baru bisa dihubungkan dengan konteks kekinian. Atau bisa
langsung ditarik pada konteks tertentu seperti konteks sasaran dan tujuan dari
hadis tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar