A.
Metode
Pemahaman Hadis Tematik-Korelatif
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk memahami
hadis-hadis Rasulullah adalah melalui pendekatan tematik-korelatif. Metode
pendekatan tematik-korelatif ini sudah terlebih dahulu populer di kalangan
ulama tafsir. Sewaktu hendak melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran,
kadangkala seorang mufassir menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari
beberapa surat
yang membicarakan topik atau permasalahan yang sama. Selanjutnya, dilakukan
pembahasan secara tematik dengan jalan mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya
sehingga akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan menyeluruh mengenai masalah
tersebut menurut pandangan al-Quran.[1]Namun
metode yang lebih popular sebagai salah satu metode penafsiran al-Quran ini,
ternyata dapat pula diterapkan untuk memahami hadis. Hal ini disebabkan karena
pada dasarnya hadis tidak jauh berbeda dengan al-Quran yang saling terkait dan
saling menafsirkan satu sama lain (yufassiru ba’dhuhu ba’dhan).
Namun demikian, metode tematik-korelatif untuk pemahaman
hadis belum memiliki kerangka kerja atau langkah-langkah metodologi yang
sedemikian jelas sebagaimana halnya
metode tafsir tematik (maudhu’iy). Hal ini agaknya disebabkan karena
perhatian ulama hadis selama ini lebih banyak terkonsentrasi pada upaya
pelestarian hadis atau ilmu-ilmu yang terkait dengannya demi untuk menjaga
orisinalitas hadis itu sendiri. Akibatnya mereka tidak atau kurang begitu
memperhatikan upaya “pengembangan” metode pemahamannya. Oleh sebab itu,
dapatlah dimaklumi apabila metode pemahaman hadis tersebut agak tertinggal
dibandingkan dengan metode penafsiran al-Quran.
Batasan pengertian pemahaman hadis tematik-korelatif belum ditemukan secara tegas dan jelas, serta
belum ada yang dapat dijadikan rujukan standar yang dapat diperpegangi. Namun
demikian, bukan berarti tidak dapat ditarik pengertian sama sekali tentang
metode tematik-korelatif ini. Demikian juga bahwa metode pemahaman hadis secara
tematik-korelatif ini belum mempunyai langkah-langkah metodologis yang mapan,
bukanlah berarti ia belum dikenal ulama. Dalam hal ini, Imam Syafe’i agaknya
dapat dipandang sebagai ulama hadis yang pertama sekali merumuskan metode ini
yang oleh Edi Safri disebut dengan “pemahaman korelatif”. Metode ini digunakan
oleh Imam al-Syafe’i sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif,
yaitu hadis-hadis mengenai suatu masalah yang sama, namun petunjuknya
kelihatan saling bertentangan, dikaji bersama dengan hadis lainnya yang relevan
dengan memperhatikan keterkaitan maknanya satu sama lain.[2]
Dengan begitu, maksud hadis tersebut dapat dipahami
dengan baik dan pertentangan yang tampak secara lahiriyah itu dapat ditemukan
langkah pengompromiannya. Namun bila diperhatikan, sejauh ini nampaknya Imam
al-Syafe’i sendiri belum mengembangkannya sebagai metode pemahaman hadis yang berlaku
umum, bukan hanya berkenaan dengan hadis-hadis mukhtalif saja.
Tokoh lain yang juga mempunyai andil dalam mengembangkan
pendekatan pemahaman hadis tematik-korelatif ini adalah Yusuf al-Qardhawi,
seorang ulama kontemporer yang ahli dalam bidang hukum Islam. Menurutnya, untuk
memahami hadis secara benar harus dihimpun hadis-hadis shahih yang topik
pembahasannya sama. Dengan demikian, kandungan hadis yang semula mutasyabihat
dapat dijelaskan dengan yang muhkamat, hal-hal yang muthlaq dapat
dibatasi dengan hal-hal yang muqayyid, dan hal-hal yang bermakna umum
dapat ditafsirkan oleh hal-hal yang bermakna khusus, sehingga makna yang
dimaksud oleh hadis-hadis tersebut menjadi lebih jelas dan tidak nampak lagi
pertentangan.[3]
Berdasarkan dua pendapat di atas (pendapat Syafe’i dan
Qardhawi) terlihat bahwa penggunaan metode tematik-korelatif terutama yang
dilakukan Imam Syafe’i lebih banyak menekankan kepada pemahaman hadis yang
secara lahiriyahnya terlihat bertentangan. Adapun hadis-hadis yang saling
bertentangan tersebut membicarakan masalah yang sama (satu tema), namun setelah
dihimpun semua hadis yang semakna dan ditelusuri asbab al-wurud-nya maka
hadis yang bertentangan tersebut bisa dikompromikan atau dapat ditemukan maksud
dan tujuan dari masing-masing hadis.
Sedangkan Qardhawi menawarkan metode tematik bukan untuk
memahami hadis-hadis mukhtalif seperti yang dilakukan Syafe’iy, tetapi
ia memakai metode tematik untuk memahami hadis secara umum dengan tema-tema
tertentu dan langkah-langkah metodologis tertentu.
Berdasarkan apa yang ditawarkan oleh Syafe’iy dan
Qardhawi, maka dapat disimpulkan bahwa metode tematik korelatif dapat dipakai
dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif dan dapat juga dipergunakan
untuk memahami hadis-hadis lain (hadis yang bukan mukhtalif), namun
prinsip dasarnya hadis-hadis tersebut harus berbicara dalam satu objek atau
saling mempunyai keterkaitan makna.
Ditilik dari uraian di atas, nampaklah bahwa baik Imam
al-Syafe’i maupun Yusuf al-Qardhawi sama-sama memprioritaskan penggabungan (al-jam’u
wa al-tawfiq) ketimbang pen-tarjih-an. Dengan demikian, langkah-langkah
metodologis tematik-korelatif dalam memahami hadis dapat diurutkan sebagai
berikut:
1.
Memilih
dan menetapkan tema pokok (khusus) sebagai objek kajian atau pembahasan.
Pemilihan dan penetapan tema ini bisa saja dengan melihat permasalahan atau
tuntutan yang muncul, yang memerlukan penyelesaian dan jawaban. Atau boleh juga
berdasarkan persoalan yang muncul ketika dihadapkan pada hadis yang kelihatannya bertentangan baik
itu makna atau hukum yang terkandung di dalamnya.
2.
Melacak
dan menghimpun hadis-hadis yang semakna sesuai dengan tema yang telah
ditetapkan.
3.
Menyeleksi
keshahihan hadis-hadis yang sudah dihimpun, langkah ini biasanya dilakukan
melalui kritik sanad dan kritik matan.
4.
Mengungkap
asbab al-wurud dari hadis-hadis yang telah diseleksi dan akan
dipergunakan dalam pembahasan. Mengungkap asbab al-wurud ini sangat
penting, karena dengan mengetahui asbab al-wurud maka hadis-hadis
tersebut terlihat secara jelas pada siapa ditujukan, dalam situasi dan kondisi
bagaimana diucapkan Rasulullah.
5.
Mencari
dan mengungkap korelasi hadis-hadis yang
dibahas dengan hadis-hadis lain yang memberikan indikasi terhadap hadis yang
sedang dibahas, atau hadis lain yang menerangkan tentang hadis yang sedang
dibahas.
6.
Membandingkan
dan menyelaraskan hadis-hadis yang dibahas dengan ayat al-Quran karena
sebagaimana diketahui bahwa hadis pada umumnya merupakan penafsiran dari
ayat-ayat al-Quran yang mengandung makna umum.
7.
Mengambil
kesimpulan sesuai dengan apa yang dituntut dalam permasalahannya, apabila yang
dituntut untuk menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, maka dalam
kesimpulan ini akan terlihat pengkompromiannya atau penyelesaiannya, apabila
yang dituntut suatu ketetapan hukum maka pada kesimpulan ini dapat di-istinbath-kan
hukum yang dimaksud oleh hadis-hadis tersebut.[4]
Langkah-langkah yang disebutkan di atas bukanlah suatu
rumusan yang baku
dan kaku, langkah-langkah tersebut dapat saja ditambah atau dikembangkan lagi
atau dalam operasionalnya bisa ditempuh dengan jalan yang berbeda. Seperti
halnya Syafe’iy dalam menyeleksi kualitas hadis, hanya hadis-hadis mukhtalif
yang maqbul saja yang diambil, sedangkan Qardhawi dalam metode tematik
ini selain hadis yang shahih bisa saja memakai hadis dhaif,
selama tingkat kedhaifannya tidak terlalu berat, seperti hadis-hadis muallaq
yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Walaupun terdapat perbedaan masing-masing mereka, namun setidaknya inilah
langkah-langkah penting yang akan dilalui dalam memahami hadis secara tematik.
Dari uraian di atas, menurut penulis ada berbagai
keunggulan yang dimiliki dengan menggunakan metode tematis korelatif ini,
antara lain;
a.
Dalam
memahami hadis, metode ini lebih dekat pada kebenaran dan jauh dari kemungkinan
kesalahan dan kekeliruan.
b.
Metode ini
dapat menolak dan menghapus kekeliruan yang mengatakan bahwa terdapat
kontradiksi antara satu hadis dengan hadis lainnya, begitu juga dengan hukum
tentang sesuatu yang seolah-olah bertentangan.
c.
Agar tidak
terburu-buru menolak suatu hadis karena pemahaman yang parsial, atau tidak
tersalah dalam memahami sebuah hadis.
d.
Menjauhkan
diri dari kemungkinan pemahaman hadis berdasarkan takwil yang berlebihan,
hal ini disebabkan memahami hadis tanpa mengaitkan dengan hadis lainnya yang
semakna atau hadis lainnya yang masih membicarakan objek yang sama, cenderung
melahirkan interpretasi yang lebih luas.
e.
Pemahaman
tematik-korelatif memungkinkan kita mengetahui pesan-pesan Rasulullah tentang sesuatu
dengan pemahaman yang komprehensif.
f.
Dengan
metode ini kemungkinan seseorang mengetahui permasalahan dengan segala
aspeknya, serta memungkinkan untuk sampai pada inti permasalahan yang dituju
menjadi lebih besar, sehingga ia mampu mengemukakan argumen yang kuat tentang
maksud dan tujuan hadis-hadis Rasulullah.
Pemahaman hadis secara tematik ini nampaknya merupakan
perpanjangan dari pemahaman hadis berdasarkan al-Quran. Di kalangan Sahabat, fuqaha
dan muhadditsin metode tematik ini merupakan pemahaman hadis dengan
sunnah.[5]
[1]Musthafa Muslim, Mabahits fi al-Tafsir al-Maudhu’iy
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1418 H/1997 M), cet. Ke-2, h. 16. ‘Abd al-Hayy
al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’iy: Suatu Pengantar, diterjemahkan oleh
Suryan A. Jamrah, judul asli “Al-Bidayat fi al-Tafsir al-Maudhu’iy: Dirasat
Mahajiyyat Maudhu’iyyah”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) cet. Ke-1 h.
33-34, dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quran Dengan Metode Maudhu’I
dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, (ed) Bustami A. Gani dan
Chatibul Umam (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1994), cet. Ke-2, h. 27.
[2]Edi Safri, Al-Imam Al-Syafe’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis
Mukhtalif, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999) cet. Ke-1 h. 111. lihat
juga, Suryadi, “Pendekatan Tematik Dalam Memahami Hadis”, dalam jurnal
ESENSIA Vo. 3 Nomor 1, (Januari 2002) h. 50.
[3]Yusuf al-Qardhawi, Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah,
(Virginia: Al-Ma’had al-‘Ali li al-Fikr al-Islami, 1989), h. 103
[4]Bandingkan dengan Buchari M. Metode Pemahaman Hadis: Sebuah
Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), cet. Ke-1. h. 104-105
[5]Musfar Azmillah, op.cit., h. 77, 161 dan 345
Tidak ada komentar:
Posting Komentar