Rabu, 31 Juli 2019

Metode Pemahaman Hadis Tematik-Korelatif


A.    Metode Pemahaman Hadis Tematik-Korelatif
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk memahami hadis-hadis Rasulullah adalah melalui pendekatan tematik-korelatif. Metode pendekatan tematik-korelatif ini sudah terlebih dahulu populer di kalangan ulama tafsir. Sewaktu hendak melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran, kadangkala seorang mufassir menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang membicarakan topik atau permasalahan yang sama. Selanjutnya, dilakukan pembahasan secara tematik dengan jalan mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya sehingga akhirnya dapat diambil suatu kesimpulan menyeluruh mengenai masalah tersebut menurut pandangan al-Quran.[1]Namun metode yang lebih popular sebagai salah satu metode penafsiran al-Quran ini, ternyata dapat pula diterapkan untuk memahami hadis. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya hadis tidak jauh berbeda dengan al-Quran yang saling terkait dan saling menafsirkan satu sama lain (yufassiru ba’dhuhu ba’dhan).
Namun demikian, metode tematik-korelatif untuk pemahaman hadis belum memiliki kerangka kerja atau langkah-langkah metodologi yang sedemikian jelas  sebagaimana halnya metode tafsir tematik (maudhu’iy). Hal ini agaknya disebabkan karena perhatian ulama hadis selama ini lebih banyak terkonsentrasi pada upaya pelestarian hadis atau ilmu-ilmu yang terkait dengannya demi untuk menjaga orisinalitas hadis itu sendiri. Akibatnya mereka tidak atau kurang begitu memperhatikan upaya “pengembangan” metode pemahamannya. Oleh sebab itu, dapatlah dimaklumi apabila metode pemahaman hadis tersebut agak tertinggal dibandingkan dengan metode penafsiran al-Quran.
Batasan pengertian pemahaman hadis tematik-korelatif  belum ditemukan secara tegas dan jelas, serta belum ada yang dapat dijadikan rujukan standar yang dapat diperpegangi. Namun demikian, bukan berarti tidak dapat ditarik pengertian sama sekali tentang metode tematik-korelatif ini. Demikian juga bahwa metode pemahaman hadis secara tematik-korelatif ini belum mempunyai langkah-langkah metodologis yang mapan, bukanlah berarti ia belum dikenal ulama. Dalam hal ini, Imam Syafe’i agaknya dapat dipandang sebagai ulama hadis yang pertama sekali merumuskan metode ini yang oleh Edi Safri disebut dengan “pemahaman korelatif”. Metode ini digunakan oleh Imam al-Syafe’i sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, yaitu hadis-hadis mengenai suatu masalah yang sama, namun petunjuknya kelihatan saling bertentangan, dikaji bersama dengan hadis lainnya yang relevan dengan memperhatikan keterkaitan maknanya satu sama lain.[2]
Dengan begitu, maksud hadis tersebut dapat dipahami dengan baik dan pertentangan yang tampak secara lahiriyah itu dapat ditemukan langkah pengompromiannya. Namun bila diperhatikan, sejauh ini nampaknya Imam al-Syafe’i sendiri belum mengembangkannya sebagai metode pemahaman hadis yang berlaku umum, bukan hanya berkenaan dengan hadis-hadis mukhtalif saja.
Tokoh lain yang juga mempunyai andil dalam mengembangkan pendekatan pemahaman hadis tematik-korelatif ini adalah Yusuf al-Qardhawi, seorang ulama kontemporer yang ahli dalam bidang hukum Islam. Menurutnya, untuk memahami hadis secara benar harus dihimpun hadis-hadis shahih yang topik pembahasannya sama. Dengan demikian, kandungan hadis yang semula mutasyabihat dapat dijelaskan dengan yang muhkamat, hal-hal yang muthlaq dapat dibatasi dengan hal-hal yang muqayyid, dan hal-hal yang bermakna umum dapat ditafsirkan oleh hal-hal yang bermakna khusus, sehingga makna yang dimaksud oleh hadis-hadis tersebut menjadi lebih jelas dan tidak nampak lagi pertentangan.[3]
Berdasarkan dua pendapat di atas (pendapat Syafe’i dan Qardhawi) terlihat bahwa penggunaan metode tematik-korelatif terutama yang dilakukan Imam Syafe’i lebih banyak menekankan kepada pemahaman hadis yang secara lahiriyahnya terlihat bertentangan. Adapun hadis-hadis yang saling bertentangan tersebut membicarakan masalah yang sama (satu tema), namun setelah dihimpun semua hadis yang semakna dan ditelusuri asbab al-wurud-nya maka hadis yang bertentangan tersebut bisa dikompromikan atau dapat ditemukan maksud dan tujuan dari masing-masing hadis.
Sedangkan Qardhawi menawarkan metode tematik bukan untuk memahami hadis-hadis mukhtalif seperti yang dilakukan Syafe’iy, tetapi ia memakai metode tematik untuk memahami hadis secara umum dengan tema-tema tertentu dan langkah-langkah metodologis tertentu.
Berdasarkan apa yang ditawarkan oleh Syafe’iy dan Qardhawi, maka dapat disimpulkan bahwa metode tematik korelatif dapat dipakai dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif dan dapat juga dipergunakan untuk memahami hadis-hadis lain (hadis yang bukan mukhtalif), namun prinsip dasarnya hadis-hadis tersebut harus berbicara dalam satu objek atau saling mempunyai keterkaitan makna.
Ditilik dari uraian di atas, nampaklah bahwa baik Imam al-Syafe’i maupun Yusuf al-Qardhawi sama-sama memprioritaskan penggabungan (al-jam’u wa al-tawfiq) ketimbang pen-tarjih-an. Dengan demikian, langkah-langkah metodologis tematik-korelatif dalam memahami hadis dapat diurutkan sebagai berikut:
1.      Memilih dan menetapkan tema pokok (khusus) sebagai objek kajian atau pembahasan. Pemilihan dan penetapan tema ini bisa saja dengan melihat permasalahan atau tuntutan yang muncul, yang memerlukan penyelesaian dan jawaban. Atau boleh juga berdasarkan persoalan yang muncul ketika dihadapkan  pada hadis yang kelihatannya bertentangan baik itu makna atau hukum yang terkandung di dalamnya.
2.      Melacak dan menghimpun hadis-hadis yang semakna sesuai dengan tema yang telah ditetapkan.
3.      Menyeleksi keshahihan hadis-hadis yang sudah dihimpun, langkah ini biasanya dilakukan melalui kritik sanad dan kritik matan.
4.      Mengungkap asbab al-wurud dari hadis-hadis yang telah diseleksi dan akan dipergunakan dalam pembahasan. Mengungkap asbab al-wurud ini sangat penting, karena dengan mengetahui asbab al-wurud maka hadis-hadis tersebut terlihat secara jelas pada siapa ditujukan, dalam situasi dan kondisi bagaimana diucapkan Rasulullah.
5.      Mencari dan mengungkap korelasi  hadis-hadis yang dibahas dengan hadis-hadis lain yang memberikan indikasi terhadap hadis yang sedang dibahas, atau hadis lain yang menerangkan tentang hadis yang sedang dibahas.
6.      Membandingkan dan menyelaraskan hadis-hadis yang dibahas dengan ayat al-Quran karena sebagaimana diketahui bahwa hadis pada umumnya merupakan penafsiran dari ayat-ayat al-Quran yang mengandung makna umum.
7.      Mengambil kesimpulan sesuai dengan apa yang dituntut dalam permasalahannya, apabila yang dituntut untuk menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, maka dalam kesimpulan ini akan terlihat pengkompromiannya atau penyelesaiannya, apabila yang dituntut suatu ketetapan hukum maka pada kesimpulan ini dapat di-istinbath-kan hukum yang dimaksud oleh hadis-hadis tersebut.[4]
Langkah-langkah yang disebutkan di atas bukanlah suatu rumusan yang baku dan kaku, langkah-langkah tersebut dapat saja ditambah atau dikembangkan lagi atau dalam operasionalnya bisa ditempuh dengan jalan yang berbeda. Seperti halnya Syafe’iy dalam menyeleksi kualitas hadis, hanya hadis-hadis mukhtalif yang maqbul saja yang diambil, sedangkan Qardhawi dalam metode tematik ini selain hadis yang shahih bisa saja memakai hadis dhaif, selama tingkat kedhaifannya tidak terlalu berat, seperti hadis-hadis muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Walaupun terdapat perbedaan masing-masing mereka, namun setidaknya inilah langkah-langkah penting yang akan dilalui dalam memahami hadis secara tematik.
Dari uraian di atas, menurut penulis ada berbagai keunggulan yang dimiliki dengan menggunakan metode tematis korelatif ini, antara lain;
a.       Dalam memahami hadis, metode ini lebih dekat pada kebenaran dan jauh dari kemungkinan kesalahan dan kekeliruan.
b.      Metode ini dapat menolak dan menghapus kekeliruan yang mengatakan bahwa terdapat kontradiksi antara satu hadis dengan hadis lainnya, begitu juga dengan hukum tentang sesuatu yang seolah-olah bertentangan.
c.       Agar tidak terburu-buru menolak suatu hadis karena pemahaman yang parsial, atau tidak tersalah dalam memahami sebuah hadis.
d.      Menjauhkan diri dari kemungkinan pemahaman hadis berdasarkan takwil yang berlebihan, hal ini disebabkan memahami hadis tanpa mengaitkan dengan hadis lainnya yang semakna atau hadis lainnya yang masih membicarakan objek yang sama, cenderung melahirkan interpretasi yang lebih luas.
e.       Pemahaman tematik-korelatif memungkinkan kita mengetahui pesan-pesan Rasulullah tentang sesuatu dengan pemahaman yang komprehensif.
f.       Dengan metode ini kemungkinan seseorang mengetahui permasalahan dengan segala aspeknya, serta memungkinkan untuk sampai pada inti permasalahan yang dituju menjadi lebih besar, sehingga ia mampu mengemukakan argumen yang kuat tentang maksud dan tujuan hadis-hadis Rasulullah.
Pemahaman hadis secara tematik ini nampaknya merupakan perpanjangan dari pemahaman hadis berdasarkan al-Quran. Di kalangan Sahabat, fuqaha dan muhadditsin metode tematik ini merupakan pemahaman hadis dengan sunnah.[5]


[1]Musthafa Muslim, Mabahits fi al-Tafsir al-Maudhu’iy (Damaskus: Dar al-Qalam, 1418 H/1997 M), cet. Ke-2, h. 16. ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’iy: Suatu Pengantar, diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah, judul asli “Al-Bidayat fi al-Tafsir al-Maudhu’iy: Dirasat Mahajiyyat Maudhu’iyyah”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) cet. Ke-1 h. 33-34, dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quran Dengan Metode Maudhu’I dalam Beberapa Aspek Ilmiah Tentang Al-Quran, (ed) Bustami A. Gani dan Chatibul Umam (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1994), cet. Ke-2, h. 27.
[2]Edi Safri, Al-Imam Al-Syafe’i: Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999) cet. Ke-1 h. 111. lihat juga, Suryadi, “Pendekatan Tematik Dalam Memahami Hadis”, dalam jurnal ESENSIA Vo. 3 Nomor 1, (Januari 2002) h. 50.
[3]Yusuf al-Qardhawi, Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Virginia: Al-Ma’had al-‘Ali li al-Fikr al-Islami, 1989), h. 103
[4]Bandingkan dengan Buchari M. Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), cet. Ke-1. h. 104-105
[5]Musfar Azmillah, op.cit., h. 77, 161 dan 345

Tidak ada komentar:

Posting Komentar