A.
Memahami
Hadis Berdasarkan Isyarat Al-Quran
Untuk dapat
memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan,
dan interpretasi yang salah, maka sebaiknya sunnah terlebih dahulu dipahami
sesuai dengan petunjuk al-Quran, karena al-Quran merupakan ruh eksistensi Islam
dan azas bangunannya. Ia merupakan konstitusi dasar yang pertama dan utama,
padanya dikembalikan segala perundang-undangan yang ada dalam Islam. Sedangkan
sunnah merupakan penjelas (bayan) dan merinci tentang isi konstitusi
tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun petunjuk penerapan
secara praktis.
Secara logika
tidak mungkin sesuatu yang merupakan pemberi penjelasan bertentangan dengan apa
yang hendak dijelaskan. Karena sunnah merupakan penjelasan dan penafsiran
al-Quran, maka sunnah sudah pasti tidak bertentangan dengan al-Quran dan tidak
pernah ada sunnah atau hadis shahih yang bertentangan dengan al-Quran. Apabila
ditemukan sunnah shahih yang tampak bertentangan dengan al-Quran, maka boleh
jadi sunnah tersebut shahih tetapi tidak tegas dan jelas petunjuknya (dilalat)
atau sunnah yang tegas tetapi tidak shahih. Apabila sunnah tidak shahih maka
sunnah tersebut tidak dapat dijadikan hujjah, sedangkan sunnah yang kurang
tegas petunjuknya harus ditakwilkan sehingga ia sesuai dengan al-Quran.[1]
Ibnu al-Qayyim mengatakan dalam bukunya I’lam al-Muwaqqi’in
tentang hubungan antara al-Quran dan sunnah sebagai berikut: Pertama,
Sunnah harus sesuai dengan al-Quran dari segala seginya, sehingga al-Quran dan
sunnah sama-sama menetapkan satu hukum dengan berbagai dalilnya. Kedua,
Sunnah sebagai pemberi penjelasan dari apa yang diinginkan oleh al-Quran dan
penafsirannya. Ketiga, Sunnah mewajibkan atas persoalan yang tidak
disebutkan kewajibannya oleh al-Quran dan mengharamkan apa yang tidak
disebutkan pengharamannya oleh al-Quran. Hubungan yang ketiga ini bukan berarti
sunnah menyalahi al-Quran, melainkan penjabaran lebih lanjut tentang hukum asal
yang ada dalam al-Quran. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa hal ini adalah
tambahan kewajiban atas al-Quran yang berasal dari Rasulullah dan merupakan
penetapan hukum syariat yang dilakukan oleh Nabi dan harus dita’ati. Bukan
berarti mengutamakan sunnah dari al-Quran, melainkan keta’atan kepada Allah dan
dalam menta’ati RasulNya.[2]
Alasan lain sunnah harus dipahami berdasarkan al-Quran
adalah bahwa segala sesuatu yang
diucapkan Rasulullah merujuk kepada al-Quran, karena al-Quran merupakan
asalnya, secara dekat maupun jauh. Oleh karena itu tidak satupun sunnah yang
bertentangan dengan al-Quran. Maka dari itulah sunnah dikatakan sebagai
penjabaran garis-garis besar dari al-Quran dan menentukan spesifikasi hal-hal
yang umum atau mengikat (muqayyad) dan hal-hal yang lepas (muthlaq)".
Dari berbagai alasan di atas maka tidak mungkin ada
suatu hadis shahih yang kandungannya berlawanan dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamat,
dengan berisikan keterangan-keterangan yang jelas dan pasti. Apabila ada
sebagian orang yang memperkirakan bahwa ada kontradiksi antara sunnah dengan
al-Quran, maka hal itu bisa disebabkan oleh beberapa kemungkinan; 1) Hampir
dapat dipastikan bahwa sunnah atau hadis tersebut tidak berkualitas shahih, 2).
Boleh jadi pemahaman yang diberikan pada hadis tersebut tidak tepat dan salah,
3). Apa yang dikira sebagai pertentangan dan kontradiksi tersebut hanyalah
bersifat semu, bukan pertentangan hakiki, karena setelah diteliti dan
ditelusuri maka keduanya dapat dikompromikan.
Untuk dapat memahami sunnah dengan benar, terhindar dari
penyimpangan dan salah mentakwilkan maka salah satu cara yang ditempuh yaitu
pemahaman dengan berpedoman kepada al-Quran, atau sunnah harus dipahami dalam
kerangka petunjuk al-Quran. Pemahaman hadis berdasarkan al-Quran ini sebetulnya
telah dimulai semenjak masa sahabat, ketika sahabat menemukan kontradiksi atau
hadis yang menyalahi al-Quran, maka al-Quran-lah yang didahulukan, adakalanya
hadis tersebut ditolak, atau dikompromikan melalui takwil jika memungkinkan. Di
antara hadis-hadis yang dipahami dengan metode ini adalah hadis tentang nafkah
istri yang diceraikan suaminya, hadis tentang memakan daging binatang buas,
hadis Nabi tentang melihat Tuhan, nikah mut’ah dan hadis lainnya.[3]
[1]Yusuf al-Qardhawi, Al-Quran dan Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam,judul
asli, al-Marja’iyah al-Ulya fiy al-Islam li al-Quran wa al-Sunnah, penterjemah
Bahruddin Fannani, (Jakarta:
Robbani Press, 1997), cet. Ke-1, h. 202
[2]Ibid.
[3]Musfar Azmillah al-Dhaminiy, Maqais Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadh : 1984) cet. Ke-1,
h. 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar