INKAR AL- SUNNAH
I. Pendahuluan
Al-Qur’an al-Karim merupakan
sumber utama ajaran Islam. Islam berfungsi sebagai petunjuk ke jalan yang benar
untuk kebahagiaan manusia di dunia dan
akhirat sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra’ :
إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي
هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ
يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ
أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا[1]
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang
Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Isra`:9)
Petunjuk-petunjuk
yang terdapat dalam al-Qur’an banyak yang bersifat umum dan global sehingga
memerlukan penjelasan dan penafsiran. Tugas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an
dan cara-cara pelaksanaannya dibebankan oleh Allah kepada Rasulullah melalui
hadits-hadits atau sunnahnya. Oleh sebab itu, pantaslah Wahbah al-Zuhaili
mengemukakan bahwa “tidak akan ada sunnah tanpa al-Qur’an, sebab al-Qur’an
tidak akan dapat dioperasionalkan tanpa memperhatikan penjelasan sunnah”. [2]
Atas
dasar hal tersebut maka sunnah menempati posisi strategis sebagai sumber hukum
ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an
yang wajib dijadikan pegangan dan diamalkan oleh umat Islam.
Disadari
bahwa terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara hadits dan al-Qur’an baik
dari segi redaksi dan cara penyampaiannya atau penerimaannya. Dari segi redaksi
diyakini bahwa al-Qur’an disusun langsung oleh Allah dan disampaikan oleh Malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad kemudian disampaikan Nabi kepada umatnya dan
selanjutnya dari generasi ke generasi. Sehingga redaksi ayat-ayat al-Qur`an
dapat dipastikan tidak ada perubahan karena sejak diterima oleh Rasul, al-Qur`an
ditulis dan dihafal para sahabat kemudian disampaikan secara mutawatir. Dengan
demikian kehujjahan al-Quran menjadi qath’iy al-wurud. Sedangkan hadits
kehujjahannya zhanny al-wurud, hal
ini disebabkan hadits tidak semuanya persis sama dengan redaksi yang diucapkan
oleh Nabi kecuali hadits mutawatir tetapi ada yang periwayatannya secara
maknawi.[3]
Meskipun
dari segi otensitasnya hadits bersifat zhanny al-wurud kecuali hadits
mutawatir tidak berarti harus diragukan karena banyak faktor yang mendukung
keabsahannya dan tidak mungkin para ulama sepakat untuk berdusta.
Dalam
perkembangan sejarah Islam, sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an
mendapat tantangan, ada yang memalsukan dan ada pula yang menolak otoritas
sunnah sebagai sumber hukum Islam baik secara total, sebahagian maupun
sebahagian kecil. Kelompok yang
mengingkari sunnah ini disebut dengan inkar al- sunnah.
II. Pengertian Inkar al- Sunnah
Secara
bahasa inkar al-sunnah terdiri dari dua kata yaitu inkar dan sunnah. Menurut bahasa
inkar berasal dari bahasa Arab yang berarti “menyangkal, tidak membenarkan atau
tidak mengakui dan orangnya disebut dengan mungkir”.[4]
Menurut Ragif al Isfahani, inkar berarti “penolakan hati terhadap hal-hal yang
tidak tergambar olehnya, baik berupa penolakan
dengan lidah
sebagai ungkapan hati ( kebodohan ), maupun penolakan dengan lidah
sedangkan hati mengakui.”[5]
Sunnah secara bahasa adalah jalan atau
tradisi yang baik dan buruk. Sedangkan pengertian sunnah secara terminology
berbeda pendapat di kalangan para ahli. Ada yang membedakan pengertian sunnah
dan hadits serta ada pula yang menyamakannya. Istilah sunnah di kalangan para
ulama hadits pada umumnya menyamakan hadits dengan sunnah. Sedangkan di
kalangan para ulama ushul membedakan pengertian antara istilah hadits dan
sunnah.[6]
Dalam makalah ini istilah sunnah dan hadits
tidak dibedakan sesuai dengan pandangan para ahli hadits. Jadi inkar al-sunnah
disebut juga dengan inkar al- hadits, namun karena istilah ini tidak populer
maka cenderung yang dipakai adalah istilah inkar al-sunnah.
Sedangkan pengertian istilah inkar al-sunnah
secara terminology antara lain disebut dalam Ensiklopedi Islam yaitu “orang-orang yang menolak sunnah atau hadits
Rasulullah SAW sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan
diamalkan.”[7]
Menurut Harun Nasution, inkar al-sunnah
adalah paham yang menolak sunnah atau hadits sebagai ajaran Islam di samping
al-Qur`an.[8]
Pendapat lain, dikemukakan oleh Edi
Safri bahwa inkar al-sunnah adalah kelompok-kelompok tertentu yang menolak
otoritasnya (sunnah) sebagai hujjah atau sumber ajaran agama yang wajib ditaati
dan diamalkan”.[9]
Menurut Mustafa al- Siba`i yang dimaksud
inkar al-sunnah ialah pengingkaran
karena adanya keraguan tentang metodologi kodifikasi sunnah yang menyangkut
kemungkinan bahwa para perawi melakukan kesalahan atau kelalaian atau muncul
dari kalangan para pemalsu dan pembohong.[10]
Sementara itu Lukmanul Hakim mendefenisikan bahwa ingkar al-sunnah adalah
gerakan dari kelompok- kelompok umat Islam sendiri yang menolak otoritas sunnah
sebagai hukum atau sumber ajaran agama Islam yang wajib dipedomani dan
diamalkan.[11]
Berdasarkan
defenisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa inkar al-sunnah adalah aliran,
golongan dan paham yang menolak eksistensi sunnah sebagai sumber hukum Islam atau hujjah yang wajib ditaati dan diamalkan
umat Islam. Maksudnya keraguan yang lahir menjadi penolakan terhadap keberadaan sunnah atau
hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al- Qur`an.
III.
Sejarah dan Perkembangan Inkar al-Sunnah
Dalam
Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa awal munculnya paham inkar al- sunnah
dibedakan kepada dua yaitu inkar al-sunnah tempo dulu atau zaman klasik (munkir as-sunnah
qadim) dan inkar al-sunnah periode abad modern (munkir as-sunnah hadits).[12]
A. Periode Zaman Klasik
Berdasarkan
fakta sejarah bahwa di zaman Rasulullah SAW tidak ada umat Islam yang menolak
sunnah nabi sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam. Demkian pula di zaman khulafahur al-
Rasyidin (632-661 M) dan masa Bani Umayyah (661 – 750 M) belum ada tampak
secara nyata kelompok yang menginkari sunnah Nabi sebagai sumber hukum Islam
setelah al-Qur`an.[13]
Menurut
Imam Syafi’i, kelompok inkar al-sunnah muncul di penghujung abad ke dua atau
awal abad ketiga Hijriyah pada saat pemerintah Bani Abbasiyah (750 – 932 M). Pada
masa ini mereka telah menampakkan diri sebagai kelompok tertentu dan melengkapi
diri dengan berbagai argument untuk mendukung pahamnya untuk menolak eksistensi
dan otoritas sunnah sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam yang wajib ditaati
dan diamalkan.[14]
Pada zaman itu, paham yang menginkari sunnah
belum dapat diidentifikasi berasal dari kelompok mana karena Imam Syafi’i tidak
menjelaskan namanya akan tetapi ia
mengisyaratkan bahwa mereka kebanyakan berada di Basrah (Irak). Kelompok inilah
yang ditentang Imam Syafi’i dengan gigih memperjuangkan sunnah sehingga ia
dijuluki Nashir al-Sunnah (pembela
sunnah). Karena kesungguhan Imam Syafi’i memperjuangkan sunnah dengan berbagai
argument akhirnya ia berhasil menyadarkan para penginkar sunnah dan membendung
gerakan inkar al-sunnah dalam waktu yang sangat panjang. [15]
Bahkan menurut Musthafa ‘Azami paham inkar al-
sunnah telah muncul pada masa shahabat. Ia membuktikan dengan adanya dialog
antara shahabat Imran bin Husain dengan seseorang yang hanya meminta diajarkan
al-Qur`an saja. Namun bila dicermati
hal ini tidak bisa dikategorikan dengan inkar al- sunnah tetapi menurut
sebahagian ulama bisa dikategorikan sebagai benih- benih inkar al-sunnah. Kemudian
ada lagi dialog Umayyah bin Khalid dengan Abdullah bin Umar tentang ketentuan
shalat yang ditemukan dalam al- Qur`an hanya di rumah dan waktu perang saja.semenjak
itu tidak ada lagi yang tidak meyakini sunnah sebagai hujjah hingga sebelas
abad kemudian.[16]
Selanjutnya, Muhammad al-Khudari berpendapat
bahwa orang-orang yang dihadapi oleh Imam Syafi’i dari kalangan teolog
Mu’tazilah karena diketahui dalam sejarah Basrah saat itu merupakan pusat
kegiatan ilmu pengetahuan yang menyangkut ilmu kalam. Di kota inilah berkembang paham
dan tokoh - tokoh Mu’tazilah
yang dikenal aliran rasional dalam Islam dan banyak
mengkritik ahli hadits. Jadi awal munculnya gerakan inkar al-sunnah menurut
pendapat al-Khudari adalah kelompok aliran Mu’tazilah.[17]
Abu
Zahrah menolak tuduhan asal mula munculnya aliran inkar al-sunnah yang dimotori
oleh Mu’tazilah karena mereka tetap mengakui dan menerima hadits-hadits Rasulullah sebagai sumber hukum
Islam. Tetapi menurut Abu Zahrah bahwa inkar al-sunnah adalah orang-orang
zindik yang lahirnya meyakini Islam tetapi batinnya ingin menghancurkan Islam.[18]
Dari
keterangan di atas tampaknya yang paling dapat diterima awal munculnya kelompok
inkar al-sunnah berawal dari kelompok kaum zindik bukan dari kelompok
Mu’tazilah karena aliran mereka tetap meyakini dan menerima hadits Rasulullah
sebagai hujjah atau sumber hukum Islam walaupun terkadang meragukan keshahihan
suatu hadits atau menolak hadits yang tidak memenuhi standar penilaian mereka.
Oleh sebab itu meragukan tingkat keshahihan suatu hadits tidak berarti menolak
eksistensi dan otoritas sunnah sebagai sumber hukum Islam.
B.
Periode Abad Modern.
Benih-benih paham inkar al-sunnah
tetap ada walaupun dapat ditaklukan .
Hal ini terbukti mereka
tetap menyerukan agar menolak sunnah sebagai sumber hukum
Islam. Gerakan inkar al- sunnah
periode abad modern ini muncul pada peralihan abad XIX ke abad XX M.[19]
Di
Mesir (dr.Taufiq Shidqi w.1920) yang menyerukan bahwa sumber ajaran Islam hanya
al-Qur’an (al Islam huwa al-Qur’an wahdah). Pengikut setia Taufiq Shidqi adalah
Gulam Ahmad Pervez (lahir tahun 1920) di India. Ia berpendapat bahwa bagaimana
pelaksanaan cara shalat terserah pada pemimpin untuk menentukan secara
musyawarah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat dan tidak perlu
hadits-hadits Nabi untuk itu. Selain itu, Rasyad Khalifa di Amerika yang
menilai bahwa al-Qur'an satu-satunya sumber ajaran Islam dan berkeyakinan bahwa
hadits merupakan buatan iblis yang dibisikkan kepada Muhammad SAW. Selain
itu, Kassim Ahmad di Malaysia yang
menilai bahwa hadits adalah ajaran-ajaran palsu yang dikaitkan dengan
Rasulullah SAW dan hadits menurutnya merupakan penyebab terjadinya perpecahan
dan kemunduran umat Islam.[20]
Tokoh sesat inkar al-sunah lainnya di Indonesia yaitu Muhammad
Irham Sutarto yang dibantu oleh teman dekatnya Abdurrahman dan Lukman Saad
bahkan menyebar di pulau Jawa, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Riau.[21]
Khusus di Sumatera Barat yaitu Dalimi
Lubis (lahir di Pasaman 1940).[22]
IV. Klasifikasi
Inkar al-Sunnah dan Argumennya
A.
Menolak sunnah secara umum
Yaitu kelompok yang menolak hadits hadits
Rasulullah SAW sebagai hujjah dalam ajaran Islam secara keseluruhan, baik
hadits mutawatir maupun hadits ahad, menurut mereka hanya al- Qur`an satu-
satunya sebagai sumber ajaran Islam.
Menurut Imam Syafi’i,[23]
sebagaimana dikutip oleh Edi Safri ada tiga bentuk argumentasi yang diajukan
penginkar sunnah untuk mendukung pendirian mereka yaitu :
1. Al-Qur’an diturunkan
Allah SWT dalam bahasa Arab.Sebagaimana dalam surat Firman Allah al- `Asyu`ara:
[24]بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
”Al-
Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas”
(QS: Asyura:195)
Dengan penguasaan bahasa Arab yang baik
maka al-Qur`an dapat dipahami dengan baik pula tanpa memerlukan dalil-dalil. Atas argument ini maka menurut mereka
tidak diperlukan lagi hadist Rasulullah untuk menjelaskan al-Qur`an.
2. Al-Qur’an
adalah sebagai penjelas atas segala sesuatu. Mereka mengutip beberapa ayat antara lain surat
an-Nahl dan surat al-An’am:
...وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَة بُشْرَىلِلْمُسْلِمِين[25]
…dan Kami
turunkan kepadamu Al kitab (Al-Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta
rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS.16:89)
…Tiadalah
Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan (QS:6:38)
Kelompok
inkar al-sunnah berasumsi bahwa ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa segala
sesuatu tentang ajaran agama sudah termuat dalam al-Qur’an dan telah merincinya
sehingga tidak perlu hadits atau sunnah. Apabila sunnah diperlukan untuk
menjelaskan dan merinci maka al-Qur’an telah meninggalkan sesuatu yang tidak
menjadi keterangan Allah sendiri, hal ini mustahil terjadi
a. Hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai kepada kita melalui
proses yang tidak terjamin keauntentikannya dan tidak ada yang menjamin
keterpeliharaan hadits Nabi. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa sesuatu
yang tidak autentik tidak layak dijadikan sebagai sumber ajaran agama .[27] Argumen yang mereka ajukan adalah firman Allah
dalam surat al-Hijr :
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al-Quran, dan sesungguh
Kami benar-benar
memelirakannya. (QS. 15:9)
Berdasarkan beberapa argument yang mereka
ajukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka menolak otoritas
hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang
kedua setelah al-Qur’an. Jadi bagi paham inkar al-sunnah, hadits-hadits Nabi
Muhammad SAW (sunnah) tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dan tidak perlu
ditaati dan diamalkan. Paham ini jelas mengakibatkan runtuhnya ajaran- ajaran
Islam pokok Islam yang merupakan sendi agama seperti shalat dan zakat, karena
butuh pedoman kepada hadits Nabi dalam pelaksanaannya.
3. Menolak Sunnah yang Tidak Terdapat Prinsipnya
dalam al- Qur`an
Yaitu mereka yang tidak mengakui
otoritas hadits- hadits untuk menentukan hukum baru selain yang ditentukan oleh
al- Qur`an. Mereka juga memakai dalil yang pertama untuk mendukung argumen
mereka, sehingga menurut penulis kelompok satu dan dua termasuk golongan yang
ekstrim.
4. Menolak Hadits Ahad dan Menerima Hadits
Mutawatir
Hadits ahad adalah hadits yang
berasal dari Nabi yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang rawi kepada satu
atau dua orang rawi lainnya, yang adil dan tepercaya dan demikian selanjutnya.
Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang berasal dari Nabi yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi kepada sejumlah rawi yang adil dan tepercaya
dan demikian seterusnya.[29]
Mereka hanya menerima hadits- hadits
yang mutawatir sebagai hujjah dan menolak hadits- hadits ahad, walaupun hadits-
hadits tersebut memenuhi persyaratan sebagai hadits shahih. Sebagai argumennya
mereka merujuk kepada Firman Allah al- Isra` :
” Janganlah kamu mengikuti apa-
apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”.(QS:
al- Isra`:36)
Surat al- Nisa` :
” Janganlah
kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang
benar”(QS:an-Nisa`:71)
V. Inkar
al- Sunnah di Indonesia
Indonesia sebagai negara yang berpenduduk
mayoritas Islam ternyata sempat dihebohkan dengan munculnya paham- paham atau
aliran sesat seperti muncunya paham inkar al- sunnah. Inkar al-sunnah muncul di
Indonesia pada pertengahan tahun 1983 yang berpusat di Jakarta . Adapun tokoh
pendirinya adalah Moch. Irham Sutarto yang dibantu oleh Abdurrahman dan Lukman
Saat dalam penyebarannya.
Sedangkan Moch. Irham
Sutarto sendiri bukanlah seorang ahli dalam Islam melainkan hanya sebagai
pemerhati terhadap Islam di Indonesia. Hal ini terungkap dalam suratnya yang
dikirim kepada Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta tertanggal 4 April 1983 yang
berbunyi:
” Saya sebagai orang yang hanya mempunyai
pengetahuan , bisa membaca al- Qur`an
tanpa bisa mengerti arti atau mengetahui maknanya dan tanpa dapat menulisnya
selain hanya dapat mencontoh dan kadang- kadang masih banyak juga salahnya”.[32]
Aliran ini ternyata berkembang di pusat saja,
namun tersebar di berbagai daerah Jawa dan bahkan sampai ke luar Jawa seperti
Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Riau.[33]
Sutarto sebagai tokoh utama pernah menerbitkan
sebuah buku atau diktat yang pada prinsipnya berisi ajaran yang menolak sunnah
Nabi Muhammad SAW. Sebagai sumber ajaran Islam dan ia mengajak pengikutnya agar
berpedoman hanya kepada al- Qur`an dalam segala aspek kehidupan.[34]
Paham ini ternyata
menimbulkan banyak reaksi di Indonesia , apalagi setelah diketahui bahwa dia
bukanlah ahli dalam agama Islam. Hingga akhirnya Presiden RI melalui Kejaksaan
Agung menyatakan sebagai aliran sesat dan dinyatakan terlarang di seluruh
wilayah Republik Indonesia. Walaupun sudah dilarang, namun masih juga terdapat
di berbagai daerah seperti di Sumatera Barat yaitu yang dikembangkan oleh
Dalimi Lubis yang lahir di Pasaman tahun 1940 M, dan akhirnya dia pindah ke
Padang panjang.[35]
VI. Kritik Ahli Terhadap
Penginkar al- Sunnah
Paham inkar al-sunnah merupakan kekesatan yang nyata dan
menyesatkan umat. Tujuan mereka adalah untuk meruntuhkan ajaran Islam. Oleh karena itu para ulama dengan gencar
menolak argumentasi mereka tidak logis dan dibuat-buat. Salah seorang ulama
yang paling gigih mempertahankan otentitas kehujjahan sunnah sebagai sumber
ajaran Islam setelah al-Qur`an adalah Imam Syafi’i sehingga ia dikenal sebagai
Pembela Sunnah.
Menurut Imam
Syafi’i, dengan menguasai bahasa Arab maka orang lebih mengetahui bahwa
al-Qur’anlah yang memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah SAW. Mengikuti
Rasulullah sama halnya dengan perintah mengikuti al-Qur’an. Untuk mendukung
argument Imam Syafi’i, ia mengemukakan dalil al-Qur`an al-Jum`ah:
[36] هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَرَسُولًا مِّنْهُمْ
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِم
وَيُعَلِّمُهُ لْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ
لَفِي ضَلَالٍ مُّبِين
”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seoran
Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As-Sunnah) dan sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS.62:2)”
Di samping ayat diatas juga dikemukakan
surat al-Ahzab :
مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“ Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah
adalah Maha lembut lagi Maha Mengetahui.”
Menurut Imam Syafi`i, kedua ayat di
atas harus difahami dengan dua hal yang berbeda. Jika yang dimaksud dengan al-
Kitab adalah al- Qur`an , maka al- Hikmah harus difahami sebagai ajaran- ajaran
yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan ayat ke dua terkandung perintah
Allah kepada dan isteri- isteri Rasulullah
agar mereka menyampaikan dua hal yang
diajarkan Rasulullah ketika berada di rumah mereka. Ke dua hal tersebut adalah ayat- ayat Allah dalam
al-Qur`an dan al- Hikmah yakni Hadits
Rasulullah.[38]
Berdasarkan pendapat imam Syafi`i
tersebut, jelas bahwa Penginkar sunnah tidak pintar dalam memahami bahasa Arab
, dan tidak dapat membedakan makna- makna yang terdapat dalam al- Qur`an.
Nampaknya mereka menafsirkan ayat al- Qur`an hanya sesuai selera dan hawa nafsu
semata. Alasan mereka bahwa al- Qur`an tidak membutuhkan sunnah atau hadits,
karena al- Qur`an sudah memuat segala sesuatu secara terperinci tentang ajaran
Islam. Pendapat mereka ini sangat bertentangan dengan pendapat imam Syafi`i.
Dimana menurut imam Syafi`i al- Qur`an
hanya mengandung ajaran yang bersifat global, serta banyak ajaran al- Qur`an
yang bersifat umum yang tata cara pelaksanaannya dibutuhkan penjelasan dari
hadits – hadits Rasulullah untuk memahami petunjuk- petunjuk Allah.
Menurut Argumen yang dikemukakan
oleh paham inkar al- sunnah bahwa hadits- hadits nabi tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah karena tidak terpelihara keautentikannya. Imam Syafi`i
memberikan penolakan bahwa pandangan mereka keliru dan tidak tepat karena kata
“Azzikru” dalam surat
al- Hijjr ayat 9 mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi baik al-
Qur`an maupun sunnah untuk menjelaskan al- Qur`an.[39]
Dari pendapat di atas jelas bahwa tidak
diragukan lagi bahwa Allah menjamin
sunnah Rasulullah sebagaimana Allah menjamin kitabNya. Bukti sejarah juga
menunjukkan dari perjuangan ulama yang telah menghabiskan usianya untuk
mempelajari dan meneliti serta menghafal dan
menuliskan al- Qur`an dan sunnah.
Anggapan para penginkar sunnah yang meragukan
dan menolak autentitas penjelasan- penjelasan Nabi yang merupakan sunnah
disebabkan karena menurut mereka bahwa hadits- hadits ditulis pada masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 99- 101 H), sehinggga keasliannya tidak
terpelihara. Pendapat ini muncul karena mereka tidak dapat membedakan antara
penulisan hadits yang secara resmi dan penulisan hadits di zaman Rasulullah atas
prakarsa perorangan. Beberapa naskah yang ditemukan yang ditulis pada zaman
Rasulullah adalah al- Shahifah al- Shahihah (Shahifah Humam) berisikan hadits-
hadits Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya Humam bin Munabbih. Al-
Shahifah al- shadiqah yang ditulis langsung oleh sahabat Abdullah bin Amir bin
Ash, Shahifah Sumarah Ibnu Jundub, Shahifah Jabir bin Abdullah yang berisikan masalah ibadah, haji, dan khutbah
Rasulullah.[40]
Memperhatikan penemuan- penemuan
ilmiah terhadap naskah- naskah tersebut membuktikan bahwa hadits- hadits
Rasulullah telah ditulis atas prakarsa
sahabat dan tabi`in jauh sebelum penulisan hadits secara resmi. Atas dasar
penjelaan dari al- Qur`an dan bukti autentik lainnya maka tidaklah pantas
diragukan kehujjahan sunnah sebagai sumber ajaran Islam yang ke dua setelah al-
Qur`an. Pada dasarnya keraguan dan kekeliruan pengingkar sunnah terhadap
kedudukan dan fungsi sunnah sebagai hujjah dalam Islam timbul akibat dangkalnya pengetahuan mereka serta upaya
untuk menghancurkan Islam.
[6] Ulama
hadits mendefenisikan sunnah sebagai semua yang muncul dari Rasulullah baik itu
perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat kemanusiaan atau akhlak atau jalan baik
sebelum menjadi rasul atau sesudahnya. Lihat: Muhammad `A`jaj al- Khatib, Ushul
al- Hadits, Beirut: Dar al- Fikr, 1989, hal.19
dan 26, dan Musthafa al- Siba`I al- Sunnah wa makanatuhu fi al- Tasyr` al-
Islami, Beirut:
Maktabah al- Islamiyat, 1978, hal. 47
[29] Musthafa
al- Shiba`i, Op.Cit., hal.245
[30] Qur`an Surat Al- Isra` Ayat. 36
[31] Qur`an Surat, an-Nisa` Ayat.71
[32] Abdul
Aziz Dahlan, Ensiklopedi, Loc.Cit.
[33] Ibid.
[34] Edi
Safri, Loc.Cit.
[35]
Ibid,
[36] Qur`an
Surat Al- Jum`ah Ayat 2
[37] Qur`an
Surat al- Ahzab Ayat.34
[38] Imam Syafi`i, Op.Cit., Hal. 228
[39] Ibid.
[40] M.
Quraish Shihab, Op.Cit., Hal. 129