Senin, 05 Mei 2014

INKAR SUNNAH



INKAR  AL- SUNNAH

        I. Pendahuluan
              

               Al-Qur’an al-Karim merupakan sumber utama ajaran Islam. Islam berfungsi sebagai petunjuk ke jalan yang benar untuk kebahagiaan manusia di dunia dan  akhirat sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra’  :
إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي
هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ
 أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا[1]
 “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan  memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal  saleh  bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Isra`:9)

               Petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an banyak yang bersifat umum dan global sehingga memerlukan penjelasan dan penafsiran. Tugas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an dan cara-cara pelaksanaannya dibebankan oleh Allah kepada Rasulullah melalui hadits-hadits atau sunnahnya. Oleh sebab itu, pantaslah Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa “tidak akan ada sunnah tanpa al-Qur’an, sebab al-Qur’an tidak akan dapat dioperasionalkan tanpa memperhatikan penjelasan sunnah”. [2]
               Atas dasar hal tersebut maka sunnah menempati posisi strategis sebagai sumber hukum ajaran Islam yang kedua  setelah al-Qur’an yang wajib dijadikan pegangan dan diamalkan oleh umat Islam.
               Disadari bahwa terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara hadits dan al-Qur’an baik dari segi redaksi dan cara penyampaiannya atau penerimaannya. Dari segi redaksi diyakini bahwa al-Qur’an disusun langsung oleh Allah dan disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad kemudian disampaikan Nabi kepada umatnya dan selanjutnya dari generasi ke generasi. Sehingga redaksi ayat-ayat al-Qur`an dapat dipastikan tidak ada perubahan karena sejak diterima oleh Rasul, al-Qur`an ditulis dan dihafal para sahabat kemudian disampaikan secara mutawatir. Dengan demikian kehujjahan al-Quran menjadi qath’iy al-wurud. Sedangkan hadits kehujjahannya zhanny al-wurud, hal ini disebabkan hadits tidak semuanya persis sama dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi kecuali hadits mutawatir tetapi ada yang periwayatannya secara maknawi.[3]
               Meskipun dari segi otensitasnya hadits bersifat zhanny al-wurud kecuali hadits mutawatir tidak berarti harus diragukan karena banyak faktor yang mendukung keabsahannya dan tidak mungkin para ulama sepakat untuk berdusta.
               Dalam perkembangan sejarah Islam, sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an mendapat tantangan, ada yang memalsukan dan ada pula yang menolak otoritas sunnah sebagai sumber hukum Islam baik secara total, sebahagian maupun sebahagian kecil. Kelompok yang mengingkari sunnah ini disebut dengan inkar al- sunnah.








 II. Pengertian Inkar al- Sunnah
      Secara bahasa inkar al-sunnah terdiri dari dua kata yaitu inkar dan sunnah. Menurut bahasa inkar berasal dari bahasa Arab yang berarti “menyangkal, tidak membenarkan atau tidak mengakui dan orangnya disebut dengan mungkir”.[4] Menurut Ragif al Isfahani, inkar berarti “penolakan hati terhadap hal-hal yang tidak tergambar olehnya, baik berupa  penolakan  dengan  lidah  sebagai  ungkapan  hati ( kebodohan ), maupun penolakan dengan lidah sedangkan hati mengakui.”[5]
      Sunnah secara bahasa adalah jalan atau tradisi yang baik dan buruk. Sedangkan pengertian sunnah secara terminology berbeda pendapat di kalangan para ahli. Ada yang membedakan pengertian sunnah dan hadits serta ada pula yang menyamakannya. Istilah sunnah di kalangan para ulama hadits pada umumnya menyamakan hadits dengan sunnah. Sedangkan di kalangan para ulama ushul membedakan pengertian antara istilah hadits dan sunnah.[6]
      Dalam makalah ini istilah sunnah dan hadits tidak dibedakan sesuai dengan pandangan para ahli hadits. Jadi inkar al-sunnah disebut juga dengan inkar al- hadits, namun karena istilah ini tidak populer maka cenderung yang dipakai adalah istilah inkar al-sunnah.
      Sedangkan pengertian istilah inkar al-sunnah secara terminology antara lain disebut dalam Ensiklopedi Islam yaitu  “orang-orang yang menolak sunnah atau hadits Rasulullah SAW sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.”[7]
      Menurut Harun Nasution, inkar al-sunnah adalah paham yang menolak sunnah atau hadits sebagai ajaran Islam di samping al-Qur`an.[8]  Pendapat lain, dikemukakan oleh Edi Safri bahwa inkar al-sunnah adalah kelompok-kelompok tertentu yang menolak otoritasnya (sunnah) sebagai hujjah atau sumber ajaran agama yang wajib ditaati dan diamalkan”.[9]
      Menurut Mustafa al- Siba`i yang dimaksud inkar al-sunnah ialah  pengingkaran karena adanya keraguan tentang metodologi kodifikasi sunnah yang menyangkut kemungkinan bahwa para perawi melakukan kesalahan atau kelalaian atau muncul dari kalangan para pemalsu dan pembohong.[10]
      Sementara itu Lukmanul Hakim  mendefenisikan bahwa ingkar al-sunnah adalah gerakan dari kelompok- kelompok umat Islam sendiri yang menolak otoritas sunnah sebagai hukum atau sumber ajaran agama Islam yang wajib dipedomani dan diamalkan.[11]
   Berdasarkan defenisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa inkar al-sunnah adalah aliran, golongan dan paham yang menolak eksistensi sunnah sebagai sumber hukum Islam  atau hujjah yang wajib ditaati dan diamalkan umat Islam.  Maksudnya keraguan  yang lahir menjadi  penolakan terhadap keberadaan sunnah atau hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al- Qur`an.

III. Sejarah  dan Perkembangan Inkar  al-Sunnah
                  Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa awal munculnya paham inkar al- sunnah dibedakan kepada dua yaitu inkar al-sunnah  tempo dulu atau zaman klasik (munkir as-sunnah qadim) dan inkar al-sunnah periode abad modern (munkir as-sunnah hadits).[12]

      A. Periode Zaman Klasik
      Berdasarkan fakta sejarah bahwa di zaman Rasulullah SAW tidak ada umat Islam yang menolak sunnah nabi sebagai salah satu sumber hukum dalam  Islam. Demkian pula di zaman khulafahur al- Rasyidin (632-661 M) dan masa Bani Umayyah (661 – 750 M) belum ada tampak secara nyata kelompok yang menginkari sunnah Nabi sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur`an.[13]
                  Menurut Imam Syafi’i, kelompok inkar al-sunnah muncul di penghujung abad ke dua atau awal abad ketiga Hijriyah pada saat pemerintah Bani Abbasiyah (750 – 932 M). Pada masa ini mereka telah menampakkan diri sebagai kelompok tertentu dan melengkapi diri dengan berbagai argument untuk mendukung pahamnya untuk menolak eksistensi dan otoritas sunnah sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.[14]
                   Pada zaman itu, paham yang menginkari sunnah belum dapat diidentifikasi berasal dari kelompok mana karena Imam Syafi’i tidak menjelaskan namanya akan tetapi  ia mengisyaratkan bahwa mereka kebanyakan berada di Basrah (Irak). Kelompok inilah yang ditentang Imam Syafi’i dengan gigih memperjuangkan sunnah sehingga ia dijuluki Nashir al-Sunnah (pembela sunnah). Karena kesungguhan Imam Syafi’i memperjuangkan sunnah dengan berbagai argument akhirnya ia berhasil menyadarkan para penginkar sunnah dan membendung gerakan inkar al-sunnah dalam waktu yang sangat panjang. [15]
                   Bahkan menurut Musthafa ‘Azami paham inkar al- sunnah telah muncul pada masa shahabat. Ia membuktikan dengan adanya dialog antara shahabat Imran bin Husain dengan seseorang yang hanya meminta diajarkan al-Qur`an saja. Namun bila dicermati hal ini tidak bisa dikategorikan dengan inkar al- sunnah tetapi menurut sebahagian ulama bisa dikategorikan sebagai benih- benih inkar al-sunnah. Kemudian ada lagi dialog Umayyah bin Khalid dengan Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat yang ditemukan dalam al- Qur`an hanya di rumah dan waktu perang saja.semenjak itu tidak ada lagi yang tidak meyakini sunnah sebagai hujjah hingga sebelas abad kemudian.[16]
                   Selanjutnya, Muhammad al-Khudari berpendapat bahwa orang-orang yang dihadapi oleh Imam Syafi’i dari kalangan teolog Mu’tazilah karena diketahui dalam sejarah Basrah saat itu merupakan pusat kegiatan ilmu pengetahuan yang menyangkut ilmu kalam. Di kota inilah berkembang  paham  dan  tokoh - tokoh  Mu’tazilah  yang  dikenal  aliran rasional dalam Islam dan banyak mengkritik ahli hadits. Jadi awal munculnya gerakan inkar al-sunnah menurut pendapat al-Khudari adalah kelompok aliran Mu’tazilah.[17]
                  Abu Zahrah menolak tuduhan asal mula munculnya aliran inkar al-sunnah yang dimotori oleh Mu’tazilah karena mereka tetap mengakui dan menerima  hadits-hadits Rasulullah sebagai sumber hukum Islam. Tetapi menurut Abu Zahrah bahwa inkar al-sunnah adalah orang-orang zindik yang lahirnya meyakini Islam tetapi batinnya ingin menghancurkan Islam.[18]
                  Dari keterangan di atas tampaknya yang paling dapat diterima awal munculnya kelompok inkar al-sunnah berawal dari kelompok kaum zindik bukan dari kelompok Mu’tazilah karena aliran mereka tetap meyakini dan menerima hadits Rasulullah sebagai hujjah atau sumber hukum Islam walaupun terkadang meragukan keshahihan suatu hadits atau menolak hadits yang tidak memenuhi standar penilaian mereka. Oleh sebab itu meragukan tingkat keshahihan suatu hadits tidak berarti menolak eksistensi dan otoritas sunnah sebagai sumber hukum Islam.
B.     Periode Abad Modern.
            Benih-benih paham inkar al-sunnah tetap ada walaupun dapat ditaklukan .  Hal ini  terbukti mereka tetap  menyerukan    agar menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam. Gerakan inkar al- sunnah periode abad modern ini muncul pada peralihan abad XIX ke abad XX M.[19]
            Di Mesir (dr.Taufiq Shidqi w.1920) yang menyerukan bahwa sumber ajaran Islam hanya al-Qur’an (al Islam huwa al-Qur’an wahdah). Pengikut setia Taufiq Shidqi adalah Gulam Ahmad Pervez (lahir tahun 1920) di India. Ia berpendapat bahwa bagaimana pelaksanaan cara shalat terserah pada pemimpin untuk menentukan secara musyawarah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat dan tidak perlu hadits-hadits Nabi untuk itu. Selain itu, Rasyad Khalifa di Amerika yang menilai bahwa al-Qur'an satu-satunya sumber ajaran Islam dan berkeyakinan bahwa hadits merupakan buatan iblis yang dibisikkan kepada Muhammad SAW. Selain itu,  Kassim Ahmad di Malaysia yang menilai bahwa hadits adalah ajaran-ajaran palsu yang dikaitkan dengan Rasulullah SAW dan hadits menurutnya merupakan penyebab terjadinya perpecahan dan kemunduran umat Islam.[20]
            Tokoh sesat inkar al-sunah lainnya di Indonesia yaitu Muhammad Irham Sutarto yang dibantu oleh teman dekatnya Abdurrahman dan Lukman Saad bahkan menyebar di pulau Jawa, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Riau.[21]  Khusus di Sumatera Barat yaitu Dalimi Lubis (lahir di Pasaman 1940).[22]




IV. Klasifikasi Inkar  al-Sunnah dan Argumennya
A. Menolak sunnah secara umum
            Yaitu kelompok yang menolak hadits hadits Rasulullah SAW sebagai hujjah dalam ajaran Islam secara keseluruhan, baik hadits mutawatir maupun hadits ahad, menurut mereka hanya al- Qur`an satu- satunya sebagai sumber ajaran Islam.
            Menurut Imam Syafi’i,[23] sebagaimana dikutip oleh Edi Safri ada tiga bentuk argumentasi yang diajukan penginkar sunnah untuk mendukung pendirian mereka yaitu :
1.      Al-Qur’an diturunkan Allah SWT dalam bahasa Arab.Sebagaimana dalam surat Firman Allah al- `Asyu`ara:                                                                                   
            [24]بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
     Al- Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas”
         (QS: Asyura:195)
      Dengan penguasaan bahasa Arab yang baik maka al-Qur`an dapat dipahami dengan baik pula tanpa memerlukan dalil-dalil. Atas argument ini maka menurut mereka tidak diperlukan lagi hadist Rasulullah untuk menjelaskan al-Qur`an.
2. Al-Qur’an adalah sebagai penjelas atas segala sesuatu. Mereka mengutip beberapa ayat antara lain surat an-Nahl  dan surat al-An’am:

...وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَة                                                                 بُشْرَىلِلْمُسْلِمِين[25]                                                                                                                     
  …dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al-Quran) untuk
    menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
    gembira bagi orang-orang yang           berserah diri. (QS.16:89)
[26]          ...  مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

              Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
                 Tuhanlah  mereka dihimpunkan (QS:6:38)

      Kelompok inkar al-sunnah berasumsi bahwa ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa segala sesuatu tentang ajaran agama sudah termuat dalam al-Qur’an dan telah merincinya sehingga tidak perlu hadits atau sunnah. Apabila sunnah diperlukan untuk menjelaskan dan merinci maka al-Qur’an telah meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi keterangan Allah sendiri, hal ini mustahil terjadi
a.       Hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai kepada kita melalui proses yang tidak terjamin keauntentikannya dan tidak ada yang menjamin keterpeliharaan hadits Nabi. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa sesuatu yang tidak autentik tidak layak dijadikan sebagai sumber ajaran agama .[27] Argumen yang mereka ajukan adalah firman Allah dalam surat al-Hijr :
[28]           إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَوَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

                    Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguh
                    Kami benar-benar memelirakannya. (QS. 15:9)

          Berdasarkan beberapa argument yang mereka ajukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka menolak otoritas hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Jadi bagi paham inkar al-sunnah, hadits-hadits Nabi Muhammad SAW (sunnah) tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dan tidak perlu ditaati dan diamalkan. Paham ini jelas mengakibatkan runtuhnya ajaran- ajaran Islam pokok Islam yang merupakan sendi agama seperti shalat dan zakat, karena butuh pedoman kepada hadits Nabi dalam pelaksanaannya.
3.  Menolak Sunnah yang Tidak Terdapat Prinsipnya dalam al- Qur`an
            Yaitu mereka yang tidak mengakui otoritas hadits- hadits untuk menentukan hukum baru selain yang ditentukan oleh al- Qur`an. Mereka juga memakai dalil yang pertama untuk mendukung argumen mereka, sehingga menurut penulis kelompok satu dan dua termasuk golongan yang ekstrim.


4.   Menolak Hadits Ahad dan Menerima Hadits Mutawatir
          Hadits ahad adalah hadits yang berasal dari Nabi yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang rawi kepada satu atau dua orang rawi lainnya, yang adil dan tepercaya dan demikian selanjutnya. Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang berasal dari Nabi yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi kepada sejumlah rawi yang adil dan tepercaya dan demikian seterusnya.[29]
          Mereka hanya menerima hadits- hadits yang mutawatir sebagai hujjah dan menolak hadits- hadits ahad, walaupun hadits- hadits tersebut memenuhi persyaratan sebagai hadits shahih. Sebagai argumennya mereka merujuk kepada Firman Allah al- Isra` :
[30]                                                                 ... وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
 Janganlah kamu mengikuti apa- apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan    tentangnya”.(QS: al- Isra`:36)
Surat al- Nisa` :
[31]                                                                          ....    وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ
                  Janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang
                     benar”(QS:an-Nisa`:71)
V. Inkar al- Sunnah di Indonesia
                      Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Islam ternyata sempat dihebohkan dengan munculnya paham- paham atau aliran sesat seperti muncunya paham inkar al- sunnah. Inkar al-sunnah muncul di Indonesia pada pertengahan tahun 1983 yang berpusat di Jakarta . Adapun tokoh pendirinya adalah Moch. Irham Sutarto yang dibantu oleh Abdurrahman dan Lukman Saat dalam penyebarannya.
            Sedangkan Moch. Irham Sutarto sendiri bukanlah seorang ahli dalam Islam melainkan hanya sebagai pemerhati terhadap Islam di Indonesia. Hal ini terungkap dalam suratnya yang dikirim kepada Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta tertanggal 4 April 1983 yang berbunyi:
” Saya sebagai orang yang hanya mempunyai pengetahuan , bisa membaca  al- Qur`an tanpa bisa mengerti arti atau mengetahui maknanya dan tanpa dapat menulisnya selain hanya dapat mencontoh dan kadang- kadang masih banyak juga salahnya”.[32]
             Aliran ini ternyata berkembang di pusat saja, namun tersebar di berbagai daerah Jawa dan bahkan sampai ke luar Jawa seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Riau.[33]
Sutarto sebagai tokoh utama pernah menerbitkan sebuah buku atau diktat yang pada prinsipnya berisi ajaran yang menolak sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebagai sumber ajaran Islam dan ia mengajak pengikutnya agar berpedoman hanya kepada al- Qur`an dalam segala aspek kehidupan.[34]
            Paham ini ternyata menimbulkan banyak reaksi di Indonesia , apalagi setelah diketahui bahwa dia bukanlah ahli dalam agama Islam. Hingga akhirnya Presiden RI melalui Kejaksaan Agung menyatakan sebagai aliran sesat dan dinyatakan terlarang di seluruh wilayah Republik Indonesia. Walaupun sudah dilarang, namun masih juga terdapat di berbagai daerah seperti di Sumatera Barat yaitu yang dikembangkan oleh Dalimi Lubis yang lahir di Pasaman tahun 1940 M, dan akhirnya dia pindah ke Padang panjang.[35]

VI. Kritik Ahli Terhadap Penginkar  al- Sunnah
                        Paham inkar al-sunnah merupakan kekesatan yang nyata dan menyesatkan umat. Tujuan  mereka adalah untuk meruntuhkan ajaran Islam. Oleh karena itu para ulama dengan gencar menolak argumentasi mereka tidak logis dan dibuat-buat. Salah seorang ulama yang paling gigih mempertahankan otentitas kehujjahan sunnah sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur`an adalah Imam Syafi’i sehingga ia dikenal sebagai Pembela Sunnah.
                        Menurut Imam Syafi’i, dengan menguasai bahasa Arab maka orang lebih mengetahui bahwa al-Qur’anlah yang memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah SAW. Mengikuti Rasulullah sama halnya dengan perintah mengikuti al-Qur’an. Untuk mendukung argument Imam Syafi’i, ia mengemukakan dalil al-Qur`an al-Jum`ah:
                                                                                                                         [36]           هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَرَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِم              
 وَيُعَلِّمُهُ لْكِتَابَ  وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِين              
             
            Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seoran Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As-Sunnah) dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS.62:2)”
               Di samping ayat diatas juga dikemukakan surat al-Ahzab  :


[37]     وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ
مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
                Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan  Hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha Mengetahui.”
                       Menurut Imam Syafi`i, kedua ayat di atas harus difahami dengan dua hal yang berbeda. Jika yang dimaksud dengan al- Kitab adalah al- Qur`an , maka al- Hikmah harus difahami sebagai ajaran- ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan ayat ke dua terkandung perintah Allah kepada dan  isteri- isteri Rasulullah agar mereka menyampaikan  dua hal yang diajarkan  Rasulullah  ketika berada di rumah mereka. Ke dua  hal tersebut adalah ayat- ayat Allah dalam al-Qur`an dan  al- Hikmah yakni Hadits Rasulullah.[38]
                       Berdasarkan pendapat imam Syafi`i tersebut, jelas bahwa Penginkar sunnah tidak pintar dalam memahami bahasa Arab , dan tidak dapat membedakan makna- makna yang terdapat dalam al- Qur`an. Nampaknya mereka menafsirkan ayat al- Qur`an hanya sesuai selera dan hawa nafsu semata. Alasan mereka bahwa al- Qur`an tidak membutuhkan sunnah atau hadits, karena al- Qur`an sudah memuat segala sesuatu secara terperinci tentang ajaran Islam. Pendapat mereka ini sangat bertentangan dengan pendapat imam Syafi`i. Dimana menurut imam Syafi`i  al- Qur`an hanya mengandung ajaran yang bersifat global, serta banyak ajaran al- Qur`an yang bersifat umum yang tata cara pelaksanaannya dibutuhkan penjelasan dari hadits – hadits Rasulullah untuk memahami petunjuk- petunjuk Allah.
                        Menurut Argumen yang dikemukakan oleh paham inkar al- sunnah bahwa hadits- hadits nabi tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena tidak terpelihara keautentikannya. Imam Syafi`i memberikan penolakan bahwa pandangan mereka keliru dan tidak tepat karena kata “Azzikru” dalam surat al- Hijjr ayat 9 mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi baik al- Qur`an maupun sunnah untuk menjelaskan al- Qur`an.[39]
                         Dari pendapat di atas jelas bahwa tidak diragukan lagi bahwa Allah  menjamin sunnah Rasulullah sebagaimana Allah menjamin kitabNya. Bukti sejarah juga menunjukkan dari perjuangan ulama yang telah menghabiskan usianya untuk mempelajari dan meneliti serta menghafal dan  menuliskan al- Qur`an dan sunnah.
                         Anggapan para penginkar sunnah yang meragukan dan menolak autentitas penjelasan- penjelasan Nabi yang merupakan sunnah disebabkan karena menurut mereka bahwa hadits- hadits ditulis pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 99- 101 H), sehinggga keasliannya tidak terpelihara. Pendapat ini muncul karena mereka tidak dapat membedakan antara penulisan hadits yang secara resmi dan penulisan hadits di zaman Rasulullah atas prakarsa perorangan. Beberapa naskah yang ditemukan yang ditulis pada zaman Rasulullah adalah al- Shahifah al- Shahihah (Shahifah Humam) berisikan hadits- hadits Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya Humam bin Munabbih. Al- Shahifah al- shadiqah yang ditulis langsung oleh sahabat Abdullah bin Amir bin Ash, Shahifah Sumarah Ibnu Jundub, Shahifah Jabir bin Abdullah  yang berisikan masalah ibadah, haji, dan khutbah Rasulullah.[40]
                        Memperhatikan penemuan- penemuan ilmiah terhadap naskah- naskah tersebut membuktikan bahwa hadits- hadits Rasulullah  telah ditulis atas prakarsa sahabat dan tabi`in jauh sebelum penulisan hadits secara resmi. Atas dasar penjelaan dari al- Qur`an dan bukti autentik lainnya maka tidaklah pantas diragukan kehujjahan sunnah sebagai sumber ajaran Islam yang ke dua setelah al- Qur`an. Pada dasarnya keraguan dan kekeliruan pengingkar sunnah terhadap kedudukan dan fungsi sunnah sebagai hujjah dalam Islam timbul akibat  dangkalnya pengetahuan mereka serta upaya untuk menghancurkan Islam.  


          [1] Qur`an Surat al- Isra` Ayat: 9
          [2] Wahbah al- Zuhaili, Usul al- Fiqh al- Islam, Damaskus : Dar al- Fkr, 1986, Jild. I, Hal. 456
          [3] M, Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur`an, Jakarta: Mizan, 1992, Cet. Ke 2, hal. 122
          [4] Abdul Aziz Dahlan, Dkk., Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 1996, Cet. Ke 1. Jild.III., hal. 718
          [5] Al- Ragif al- Isfhani, Mu`jam Mufradat al- Fath al- Qur`an al- Karim Tahqiq Nadim  al- Marasyli, Beirut: Dar al-Fkr, Tth, hal. 526
          [6] Ulama hadits mendefenisikan sunnah sebagai semua yang muncul dari Rasulullah baik itu perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat kemanusiaan atau akhlak atau jalan baik sebelum menjadi rasul atau sesudahnya. Lihat: Muhammad `A`jaj al- Khatib, Ushul al- Hadits, Beirut: Dar al- Fikr, 1989, hal.19 dan 26, dan Musthafa al- Siba`I al- Sunnah wa makanatuhu fi al- Tasyr` al- Islami, Beirut: Maktabah al- Islamiyat, 1978, hal. 47
          [7] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam , Ensiklopedi Islam , Jild.II, Jakarta: PT.Ikhtiar baru Van Houve, 1994, Cet. Ke 2, hal.225
          [8] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hal.428
          [9] Edi Safri, al- Imam al- Syafi`i , Metode Penyelesaian Hadits- Hadits Mukhtalif, Padang, IAIN IB Press, 1999, hal. 34
         [10] Musthafa al- Shiba`i, Inkar Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Terj. Nurcholish Madjid, Judul Asli, al- Sunnah wa Makanatuha fi al- Tsyri al- Islami, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, Cet. Ke 1, hal.116
          [11] Lukmanul hakim, Inkar Sunnah Priode Klasik, Jakarta: Hayfa Press, 2004, Cet. Ke 1, hal. 57
          [12] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,  Loc.Cit.
          [13] M, Syuhudi Ismail, Hadits Nabi  Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. Ke 1, hal.14
          [14] Muhammad bin Idris al- Syafi`i, al- Umm, Jild.VII, Beirut: Dar al- Fkr, Tth,  hal 287
          [15] Muhammad abu Zahw, al- Hadits wa al- Muhaddisun aw Inayat al- Ummat al- Islamiyat abi al- Sunnah al- Nabawiyat, TK. Al- Maktabat al- Taufiqiyat,Tth, hal. 282
          [16] Edi Safri , Op.Cit., hal. 41
          [17] Dewan Redaksi  Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hal 226
          [18] Ibid.
          [19] Mustafa  al- Shiba`i , Al- Hadits sebagai Sumber Hukum, Terj.Djan`far abd. Muchit, Judul Asli, Assunnah wa Makanatuhi fi al- Tasyri` al- Islam, Bandung:, Diponegoro, 1993, Cet.ke 4,  hal.138
          [20] Ibid., hal.153
          [21] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hal . 256
          [22] Abdul Aziz Dahlan, Dkk, Op.Cit., Hal.724
          [23] Edi Safri, Imam Syafi`i, Op.Cit., hal. 35
          [24] Qur`an Surat Asyura Ayat: 195
          [25] Qur`an Surat  an-Nahl Ayat:38
          [26] Qur`an Surat  al- An`am Ayat 38
          [27] Musthafa al- Shiba`i, al-Hadits , Op.Cit. , Hal.224
          [28] Qur`an Surat Al- Hijr: Ayat .9
[29] Musthafa al- Shiba`i, Op.Cit., hal.245
[30] Qur`an Surat Al- Isra` Ayat. 36
[31] Qur`an Surat, an-Nisa` Ayat.71
[32] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi, Loc.Cit.
[33] Ibid.
[34] Edi Safri, Loc.Cit.
[35] Ibid,
[36] Qur`an Surat Al- Jum`ah Ayat 2
[37] Qur`an Surat al- Ahzab Ayat.34
[38] Imam Syafi`i, Op.Cit., Hal. 228
[39] Ibid.
[40] M. Quraish Shihab, Op.Cit., Hal. 129