KLASIFIKASI
HADITS DITINJAU
DARI
BERBAGAI ASPEK
I.
Pendahuluan
إلى الذى أحيا القلوب بالعلم والذكر والعرفان
أمدّ الأجيال من تراث الحديث النبوي و علومه
وأنار للأمة بحق سبيل السلف والسنة
“Kepada yang telah
menghidupkan hati dengan ilmu, dzikir dan pengetahuan. Yang telah menolong
generasi-generasi turats hadits Nabi dan ilmunya. Dan yang telah menerangi
ummat dengan kebenaran jalan salaf (salafussholeh) dan Sunnah”.[1]
Itulah
beberapa bait persembahan kata sebagai pembuka kalam dalam pembahasan kita
dalam mempelajari hadits Rasullah SAW yang ditinjau dari berbagai aspeknya, mengingat
hadits merupakan salah satu sumber dari ajaran Islam yang membutuhkan suatu
pemahaman yang dalam untuk mengetahui hadits itu sendiri.
Secara
garis besar dapat kita klasifikasikan hadits dari segi datangnya kepada Mutawatir
dan Ahad, dari segi diterima dan ditolak kepada hadits Makbul
dan Mardud,[2] karena tidak semua sahabat
atau tabi’in yang meriwayatkan suatu hadits dari Rasul SAW memiliki tingkatan kedhobitan
yang sama, sehingga dibutuhkan suatu kajian atau tinjauan lebih jauh untuk
menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul nanti tentang hadits dari Rasul
SAW.
Dalam
makalah yang sederhana ini akan dijelaskan
beberapa hal mengenai pengklasifikasian hadits yang ditinjau dari
berbagai aspek.
II. Klasifikasi Hadits Ditinjau Dari Bentuk Asal
Ulama hadits mendefinisikan hadits secara
bahasa dengan الجديد (yang baru)[3]
dengan lawannya القديم (lama)
dan secara umum yang dimaksud dengannya adalah segala perkataan Nabi SAW yang
dinukilkan dan disampaikan oleh manusia baik dari segi mendengar atau segi
wahyu dalam keadaan terjaga atau pun tidur.
وبهذا المعنى سمى القران
حديثا (ومن أصدق من الله حديثا. 24 –الطور) –
وسمى
ما يحدث به الإنسان فى نومه (وعلمنى من تأويل الأحاديث يوسف- 101 )
Sedangkan menurut
istilah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan dan sifat.[4]
Didalam buku Manhaj Naqd fi ulumil hadits, Nuruddin Ithr mendefinisikan
bahwa hadits segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, sifat kholqiyyah (penciptaan), Khuluqiyyah
(Akhlak) atau apa saja yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.[5]
Diantara contoh hadits
yang menggambarkan akhlak Nabi adalah كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود
الناس و كان أجود الناس فى رمضان...
“adalah Rasulullah itu manusia yang penyantun dan
lebih penyantun lagi dibulan ramadhan”
dan contoh yang menggambarkan Nabi seorang
manusia ciptaan Allah SWT كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس وجها,
وأحسنه خلقا, ليس بالطويل البائن, ولا بالقصير
“adalah Rasulullah manusia
yang paling baik/indah wajahnya, paling mulia akhlaknya, tidak terlalu tinggi
dan tidak pula terlalu pendek”.
a. Hadits Qouli
Hadits Qouli adalah semua ucapan Nabi SAW
yang disampaikan dalam berbagai macam tempat dan kesempatan, dan ulama ushul
fiqh juga mendefinisikan hadits Qouli dengan defenisi yang sama.[6]
Contoh
hadits yang menggambarkan perkataan Nabi SAW:
إنما الأعمال بالنيات, وإنما لكل امرء ما نوى ....
“sesungguhnya setiap amal itu
tergantung pada niatnya, dan bagi setiap seseorang akan mendapatkan sesuatu
ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkan…"
لاضرر ولاضرار....
“Janganlah membahayakan
diri dan membahayakan bagi orang lain…”
b. Hadits Fi’li
Hadits
fi’li adalah semua perbuatan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh para
sahabat seperti wudhu nabi, tatacara pelaksanaan sholat, pelaksanaan haji, dan
lain sebagainya.[7]
Contoh hadits yang
menggambarkan perbuatan Nabi SAW :
خذوا عنى مناسككم
“ambillah olehmu tatacara
manasik haji dariku”
Para
ulama ushul fiqh juga mengelompokkan perbuatan Nabi SAW kepada beberapa bagian
:
1.
Jibilli/Jiblah (perangai/tabiat), yaitu
perbuatan atau pekerjaan Nabi SAW yang termasuk dalam urusan tabiat seperti
makannya nabi, minum, duduk, dsb.
2.
Qurb (pendekatan/dekat), seperti
ibadah sholat, puasa, shodaqoh, dsb.
3.
Mu’amalah (hukum syar’i yang mengatur
kepentingan individu dengan lainnya)[8],
seperti jual beli, perkawinan, pertanian, dsb.[9]
Adapun
kandungan hukum yang terdapat dalam perbuatan Rasulullah SAW tersebut, bahwasanya
fi’liyah Rasulullah SAW adalah pekerjaan-pekerjaan Nabi yang menjadi
penerang bagi kita dalam melaksanakan perintah Allah SWT seperti beliau
mengerjakan sholat Zuhur empat rakaat, Maghrib tiga rakaat, Isya empat rakaat, Ashar
empat rakaat, dan Subuh dua rakaat. Kesemuanya itu merupakan perbuatan Nabi
yang berkedudukan sebagai hukum asal, andaikata hukum asal yang dikerjakan Nabi
itu wajib maka perkerjaan yang menerangkan cara melaksanakan perintah yang
wajib itu juga wajib.[10]
c. Hadits Taqriri
Hadits
taqriri (penetapan, pengukuhan atau isbat)[11],
adalah semua yang diakui oleh Nabi terhadap yang bersumber dari salah satu sahabat
beliau, baik berupa perkataan dan perbuatan, meskipun perbuatan tersebut
dihadapannya atau tidak.[12]
Contoh
pertama
Taqrir dari Nabi SAW terhadap kisah dua orang sahabat
yang berada dalam perjalanan, ketika telah masuk waktu sholat mereka tidak
menemukan air untuk berwhudu, lalu mereka bertayamum dan melakukan sholat,
setelah beberapa saat dalam perjalanan mereka menemukan air sebelum waktu
sholat tersebut habis, kemudian salah seorang diantara keduanya berwhudu dan
mengulang sholatnya sedangkan yang lain tidak mengulang sholatnya, kemudian
sampailah hal ini kepada Rasulullah SAW, dan Nabi membenarkan perbuatan keduanya.[13]
Contoh kedua :
وما روى من أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث
رجلا على سرية, وكان يقرأ لأصحابه فى صلاته فيختم بـ (قل هو الله أحد) فلما رجعوا
ذكروا ذلك له عليه الصلاة والسلام, فقال : سلوه لأي شيئ يصنع ذلك؟ فسألوه, فقال:
لأنها صفة الرحمن و أنا أحب أن أقرأ بها , فقال النبي صلى الله عليه وسلم : أخبروه
أن الله يبحه (رواه البخارى و مسلم)[14]
d. Hadits Siffati
Hadits
Siffati (na’at/sifat)[15]
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada sifat dan kepribadian Nabi SAW, contoh
: bahwasanya Rasulullah itu bukanlah orang yang melampaui batas dan suka
berkata kotor, yang mempunyai watak yang keras, beliau juga bukan yang suka
berteriak , keji, dan juga bukan yang suka membuka cela/aib.
III. Klasifikasi Hadits Ditinjau Dari Sifat Asal
Apabila hadits ditinjau dari
sifat asal, hadits terbagi kepada dua bagian, yaitu Hadits Nabawiy dan
Hadits Qudsiy
a.
Hadits Nabawiy :
Hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW baik
berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, dan sifat.[16]
b.
Hadits Qudsiy :
Secara bahasa adalah القدسيُّ dinisbahkan kepada (Al quds) yaitu :
suci[17]
dikarenakan dinisbahkan hadits tersebut kepada dzat yang
suci yaitu Allah Subhanahuwata’la.
Secara istilah adalah hadits yang disandarkan
oleh Nabi SAW kepada Allah SWT, maksudnya periwayatan yang diberikan oleh Nabi
bersumber dari Kalam Allah SWT, maka Rasul hanya meriwayatkan dari segi lafaz
saja dan apabila seseorang
meriwayatakan, maka periwayatannya dari Rasullah yang bersandarkan kepada Allah
SWT ,
Contoh bentuk sanadnya :
قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم فيما يرويه عن ربه عز و جل, او
يقول : قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: قال الله تعالى أو يقول الله تعالى
Contoh Hadits Qudsiy :
عن أبى هريرة رضى الله عنه أن
رسول صلى الله عليه وسلم قال : يقول الله تعالى :
أنا عند ظن عبدى بى, و أنا معه إذا ذكرنى, فإن
ذكرنى فى نفسى ذكره فى نفسى,
وإن ذكرنى فى ملاء ذكرته فى ملاء خير منه.....[18]
Adapun
jumlah hadits Qudsiy tidaklah sebanyak hadits Nabawiy sebagaimana
yang kita kenal dengan banyaknya perawi yang meriwayatkan, jumlah hadits Qudsiy
berkisar 200-san hadits saja, seperti kitab hadits yang terkenal dibawah ini :
Dari
segi perbedaan kita dapat membedakan antara Hadits Nabawiy dengan Hadits Qudsiy
dan hadits Qudsiy dengan Al Quran :
Hadits Qudsiy dengan Hadits Nabawiy :
1.
Hadits Qudsiy maknannya dari sisi Allah
yang disampaikan kepada Rasulullah SAW dengan metode seperti metode turunnya
wahyu dan tidak langsung dispesifikasikan kepada Rasul dan Rasulullah SAW
mengatakan قال
الله تعالى كذا... sementara itu hafaz susunan katanya barulah
dari sisi Rasulullah SAW, oleh karena itulah dinamakan dengan قدسيّاً.
2.
hadits Nabawiy tidak demikian halnya
karena hadits Nabawiy bersifat Taufiqiy, ditetapkan dengan
ijtihad dan pendapat Nabi SAW dari pemahamannya tentang al Quran dengan memperhatikan
hakekat yang terjadi.[20]
Hadits Qudsiy dengan Al
Quran :
1.
Hadits Qudsiy lafaznya dari sisi Nabi SAW dan
maknanya dari Allah SWT dengan jalan ilham atau ketika tidur dengan wahyu yang جليّ ataupun tidak. Sementara al-Quran lafaz dan maknanya murni dari Allah SWT
melalui wahyu yang جليّ dengan
perantaraan malaikat Jibril AS dalam keadaan terjaga dan bukan dalam kondisi
tidur atau pun dengan ilham.
2.
Hadits Qudsiy sah
menggunakan periwayatannya dengan makna, adapun al-Quran diharamkan riwayatnya
dengan makna.
3.
Hadits Qudsiy tidaklah
beribadah dalam membacanya, sementara al-quran beribadah dalam membacanya.
4.
Al Quran al Karim
adalah mu’jizat Allah SWT yang kekal abadi yang berurutan lafaz kalimat, huruf,
susunan katanya, adapun hadits Qudsiy tidaklah berurutan dan tidak pula
mu’jizat.
5.
Al Quran diharamkan menyentuhnya bagi orang
yang berhadas/tidak suci, sementara hadits qudsiy tidak demikian halnya.[21]
IV. Klasifikasi Hadits Ditinjau Dari Jumlah Periwayatan
dari sisi periwayatan , hadits dibagi menjadi tiga bagian :
a. Hadits Mutawatir
Secara bahasa Mutawatir berarti التواتر/التتابع (berurutan, penerusan)[22]
sebagaimana firman Allah Ta’ala ثم أرسلنا رسلنا تترى[23]
: أى واحدا بعد واحد : kemudian kami utus para Rasul-rasul kami
secara berurutan (satu satu).
Secara istilah: ما رواه جماعة[24]
عن جماعة فى كل طبقة من طبقات السند تحيل العادة تواطئهم و توافقهم على الكذب
واستندوا الى امر محسوس[25]
“Hadits
yang diriwayatkan oleh sejumlah jamaah atau kelompok dari kelompok yang lain,
pada setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan sanadnya yang secara tradisi
terjauh kesepakatan mereka dari unsur dusta dan mereka menyandarkan kepada
suatu perkara yang dapat dirasa (seperti melihat, mendengar, dsb”[26]
Sedangkan ulama ushul fiqh memberikan defenisi
dengan hadis yang diriwayatkan dari Rasul SAW oleh sekelompom orang yang
menurut kebiasaannya mustahil mereka sepakat untuk berdusta pada 3 masa : masa
sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in.[27]
Dari defenisi dua diatas tadi dapat kita simpulkan beberapa criteria yang bila dipenuhi oleh sebuah hadits, maka
hadits tersebut dikatakan sebagai hadist Mutawatir:
1.
Adanya sejumlah perawi yang meriwayatkan
Sebagian ulama ada yang mengatakan batas jumlahnya adalah 4 orang, dan
ada juga yang mengatakan 5,, 7, 10, 20 hingga 200orang[28],
namun pendapat yang dipilih adalah cukup 10 orang sahabat saja.[29]
2.
Jumlahnya tidak berkurang pada setiap
tingkatan sanadnya dari awal sampai akhir sanad.
3.
Secara tradisi mustahil mereka sepakat untuk
berdusta/berbohong
4.
Penyandaran beritanya mesti dengan الحِسِّ seperti : kami mendengar, kami melihat atau kami merasakan
atau…..[30]
Hadist mutawatir
pembagiannya ada 2 :
1.
Mutawatir Lafdzi
Mutawatir lafdzi adalah berurutan itu hanyalah lafadznya saja bukan
maknanya, contoh Hadits من كذّب عليّ متمدا فليتبوأ مقعده من النار (siapa
yang mendustakan atas diriku secara sengaja maka tunggulah tempatnya di neraka).
2. Mutawatir
Ma’nawi
Mutawatir Maknawiy adalah berurutan itu
hanyalah maknannya saja bukan lafdznya, contoh hadits رفع اليدين فى الدعاء (Hadits tentang mengangkat kedua tangan ketika
berdoa).[31]
b. Khabar Ahad
Secara istilah: ما رواه الواحد او الإثنين فأكثر مما لم يتوفر فيه شروط المشهور أو
المتواتر ولا عبرة للعدد فيه بعد ذلك
“Hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang perawi atau lebih
yang tidak memenuhi syarat syarat mashur ataupun mutawatir dan tidak
diperhitungkan lagi jumlah perawinya setelah itu”[33]
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa hadits ahad hukumnya wajib diamalkan selama memenuhi syarat
syarat diterimanya suatu riwayat,
termasuk dalam perkara hudud, meskipun sebagian ulama Hanafiah tidak
menjadikan hadits ahad sebagai hujjah, dan merekapun memasukkan hadits masyhur
ke dalam pembagian dari hadits ahad.[34]
c. Hadits Masyhur
Hadits Masyhur secara
bahasa terambil dari maf’ul dengan arti أظهر (Nampak/jelas)
Secara istilah hadits masyhur adalah
ما رواه ثلاثة
فأكثر فى كل طبقة مالم يبلغ حد التواتر
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada
setiap tingkatan, namun belum mencapai batas mutawatir”[35]
Hadits Masyhur adalah
hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih yang tidak mungkin
mereka sepakat untuk berdusta dan tingkatan hadits masyhur berada dibawah
hadits mutawatir dan diatas hadits ahad.[36]
Contoh Hadits Masyhur :
إن الله لا يقبض
العلم انتزاعاً ينتزعه....
“Susungguhnya
Allah tidaklah mengambil ilmu itu dengan mencabutnya begitu saja….”
Sebagian ulama hadits juga menggunakan hadits
masyhut dengan المستفض yang berasal dari kata فاض الماء yang berarti air yang melimpah, disebut demikian dikarenakan
kepopuleraanya, bahkan ada yang mengatakan istilah Masyhur dan Mustafid
merupakan murodif (sinomim kata), ada juga yang mengatakan mustafid
lebih khusus dari masyhur dan ada juga yang mengatakan lebih umum dari masyhur.
Contoh :
حديث أنس : أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع يدعو على رِعلٍ و ذكوان
“Hadits Anas : bahwasanya Rasulullah SAW qunut selama 1 bulan
setelah setelah ruku’ untuk mendoakan ri’lin dan zakwan”[37]
V.
Pembagian hadits berdasarkan
Kualitas
Hadits dari segi kuliatas terbagi kepada tiga
bagian yaitu hadits shahih, hasan, dha’if.
a. Hadits Shohih
Ibu as-shalah memberikan defenisi dari hadits
shohih dengan Hadits yang sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit sampai ujungnya (muttasil)
terlepas dari syaz (keganjilan/kejanggalan) dan tidak pula terkena cacat
(muallal).[38]
Dikatakan dengan hadits shohih sekiranya
memenuhi criteria dibawah ini:
1. Sabadnya
bersambung (dengan mendengar setiap satu orang dari orang lain dari
periwayatannya sampai ke atasnya).
2. Adalatul al- Ruwah (adil
dalam artian orang tersebut benar-benar memiliki kemampuan untuk memikulnya
dengan mengacu kepada nilai-nilai taqwa dan wibawa).
3. Dhabit (benar-benar terukur
keabsahan penerimaan darinya dengan mengacu kepada apa yang ia dengar dari
seorang syekh kemudian ia hafal dan ia berikan pula kepada yang orang lain).
4. Terlepas
dari kejanggalan dan cacat (orang tersebut benar-benar yang paling terpercaya
dari sumber pengambilan periwayatan hadisnya tanpa ada cacat dan cela).[39]
Ulama membagi hadits shohih menjadi kepada shohih lizatihi
dan shohih lighairihi. Shohih lizatihi adalah hadits yang memenuhi criteria sebagai
mana yang telah dijelaskan sebelumya, sedangkan shahih lighairihi adalah hadits
yang tidak memenuhi criteria yang telah disebutkan tersebut secara maksimal,
misalnya perawi yang adil namun tidak sempurna kedhabitannya. Akan tetapi
terdapat hadits dari jalur yang berbeda yang menguatkannya, dan bisa jadi
hadits dalam ketegori hasan yang diriwayatkan dari beberapa jalur bisa menjadi
derajat shahih lighairihi.[40]
b. Hadits Hasan
ما اتصل سنده
بعدل خف ضبطه من غير شذوذ ولا علة
“Hadits yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi
yang adil namun lebih rendah kedhabitannya tanpa adanya syaz dan illat”
Dapat kita bandingkan
perbedaan antara hadits hasan dan hadits shahih hanya terletak pada kedhabitan perawinya
saja, hadist shohih perawinya dalam tingkat kedhabitan sempurna dalam hadits
hasan kurang sempurna.
Adapun hadits hasan
terbagi kepada 2 bagian, sama halnya dengan hadits shahih, hasan lizatihi
dan hasan lighairihi. Hasan lizatihi adalah Hadits yang
bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil namun lebih rendah
kedhabitannya tanpa adanya syaz dan illat, sedangkan hadits hasan
lighairihi hadits yang terdapat didalam perawinya yang belum diketahui
kualitasnya akan tetapi bukan perawi yang pelupa atau banyak kesalahan dan
bukan juga yang pendusta.[41]
Dan mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits hasan dengan kedua jenisnya dapat
dijadikan hujjah dan amalan dengan hujjah yang kuat.[42]
c. Hadits Dha’if
Hadits dha’if adalah
hadits yang tidak memenuhi kritaria criteria diterimanya sebuah hadits, dan
kebanyakan ulama mengatakan kalau hadits dha’if adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat shohih dan hasan.[43]
Perlu kita ketahui
bahwasanya hadits dha’if adalah hadits yang ditolak dan tidak boleh diamalkan,
apalagi menyangkut masalah hukum dan aqidah. Dan para ulama hadits pun
mengklasifikasikan hadits dhaif kepada beberapa kelompok.
Pertama adalah
pembagian hadits dhaif yang disebabkan oleh gugurnya salah satu rawi pada sanad
/ tidak bersambung seperti hadits mu’allaq, mursal, mu’dhal, munqot’I,
mudallas. Kedua adalah yang tidak berkaitan dengan bersambungnya sanad,
seperti cacat perawinya baik dari segi ‘adalahnya maupun segi kedhabitannya.[44],
sepertinya hadits maudhu’, matruk, munkar, bid’ah, jihalah, mudraj, maqlub, mudhtarib, syaz.[45]
VI. Klasifikasi Hadits Ditinjau Dari Penisbahannya
a. Hadits Marfu’
Hadits Marfu’
adalah Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik dari segi perkataan,
perbuatan, ketetapan, sifat, baik sanadnya bersambung ataupun terputus dan juga
disandarkan kepada sahabat dan tabi’in sampai seterusnya setelah sahabat dan tabi’in.
b. Hadits Mauquf
Hadits Mauquf
adalah Hadits yang disandarkan kepada sahabat dari segi perkataan, perbuatan
baik sanadnya bersambung atau terputus.
c. Hadits Maqtu’
Hadits Maqtu’
adalah hadits yang disandarkan kepada Tabi’in dari segi perkataan ,
perbuatan. Lebih rincinya dapat kita lihat pada..[46]
VII. Penutup
Demikianlah beberapa
penjabaran tentang hadits Rasulullah SAW yang ditinjau dari berbagai aspek,
semoga kita yang membaca makalah ini mendapatkan semangat baru lagi dalam
menggali dan mengamalkan sunnah Rasulullah SAW dan bukan menjadi penentang
setia bagi sunnah beliau.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Departemen Agama RI. Al Quran dan
Terjemahannya, Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2009.
al-Bashori. Nabil Bin Mansur Bin Ya’cub. جداول الجامعة فى علوم النافعة, Kuwait:
Dar al-Dakwah, 1987
Ithr , Nuruddin. منهج النقد فى علوم الحديث, Beirut: Dar al-Fikri
al-Mu’ashir, 2003
Ali , Atabik, A. Zuhdi Muhdhor. قاموس "كرابياك" العصرى عربى
إندونسى,
Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 1998
Al-Qottan, Manna’ Khalil. مباحث فى علوم القران,
t.p,t.th
Zuhaili , Wahbah. أصول الفقه الإسلامى,
Beirut: Dar al-Fikr, 1998
Rahman , Zufran. Kajian Sunnah Sebagai
Sumber Hukum Islam, Jakarta: CV
Pedoman Ilmu Jaya, 1995
al-Shan’ani. سبل السلام, Bandung: Maktabah Dahlan,
tt, Juz.1
al-Thohan , Mahmud.
تيسير مصطلح الحديث, Surabaya: al-Haramain, tt
Hasyim , Ahmad Oemar. قواعد أصول الحديث , Cairo: Maktabah al Azhar as
Syarif,2004
Sholeh , Subhi. علوم الحديث و مصطلحه, Beirut: Dar-al Fikri,tt
al-Khotib , Muhammad Ajaj. أصول الحديث, Beirut: dar
al-Fikri,1989
al-Jabari , Abdul Mut’al Muhammad. حجية السنة و مصطلح الحادثين,
Kairo:
maktabah wahbah,1986
[1] . Nuruddin Ithr, Manhaj
al-Naqd fi Ulum al-hadits, (Beirut: Dar al-Fikri al-Mu’ashir, 2003), h.5
[2] . Nabil Bin Mansur Bin
Ya’cub al-Bashori, Jadawilul jami’ah fi Ulumil al-Nafi’ah, (Kuwait: Dar
al-Dakwah, 1987), Cet.5, h.150-153
[3] . Atabik Ali, A. Zuhdi
Muhdhor, قاموس "كرابياك" العصرى عربى
إندونسى, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika), Cet.8, h.658
[9]. Zufran
Rahman, Kajian Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam, (Jakarta: CV Pedoman
Ilmu Jaya, 1995), h.11-12
[23] . Departemen Agama RI, Al
Quran dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2009), Cet.10, h.345
[36] . Abdul Mut’al Muhammad
al-Jabari, Hujjatussunnah wa mustalah hadisin wa mualimin, (Kairo:
maktabah wahbah,1986), h.93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar