HADITS
DHA’IF
A. Pendahuluan
Hadits dhai’f menempati posisi yang ke tiga dalam pembagian
hadits (hadits shahih, hadits hasan dan hadits dha’if). Hadits dha’if
salah satu bahagian dalam pembahasan ulumul hadits yang sangat penting dikaji
dan dipahami supaya tidak salah dalam memberikan argumentasi, karena hadits dhai’f
tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (dalil penetapan hukum) bahkan dalam
motivasi ibadah pun apakah hadits dha’if boleh dijadikan motivasi ibadah atau tidak masih terjadi perbedaan pendapat dikalangan
ulama.
Dalam makalah ini penulis mencoba
menjelaskan sedikit tentang hadits dha’if. Dimulai dari pengertian,
pendapat ulama terhadap hadits dha’if, cacat karena terputusnya sanad
dan illat pada sanat, cacat karena periwayat tidak adil, tidak dhabith dan
syadz serta kehujjahannya.
Pembahasan ini dikupas dalam bentuk
makalah, kemudian disajikan dalam bentuk diskusi. Besar harapan penulis makalah
ini bermanfaat, dapat menambah pemahaman, keilmuan khususnya di bidang ulumul
hadits. Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
penulis sangat mengharapkan kritik, saran, masukan dari semua pihak untuk
kesempurnaan makalah ini.
B. Pengertian
Hadits Dha’if
1. Man’ul
Qaththan dalam bukunya Mabahits Fi Ulum al-Hadits mendefenisikan hadits dha’if
sebagai berikut:
Dhaif menurut bahasa ialah :
الضعيف لغة : ضدالقوى
hadits dha’if menurut bahasa adalah lawan dari yang
kuat[1]
Sedangkan hadits dha’if menurut isthilah adalah:
هومالم يجمع صفةالحسن بفقدشرط من شروطه
Hadits dha’if adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat sifat-sifat
hadits hasan, karena gugurnya syarat-syarat hadits hasan tersebut daripadanya.[2]
2. ‘Ajaj al-Khatib dalam kitabnya Ushul
al-Hadits mendefenisikan sebagai berikut:
هوكل حد يث لم
تجمع فيه صفات القبول، وقال اكثرالعلماءهو مالم يجمع صفة الصحيح والحسن.
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk bisa
diterima. Kebanyakan ulama menyatakan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang
tidak memenuhi syarat-syarat shahih atau pun syarat hasan.
3. Menurut Nur al-Din ‘Itir:
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول
Hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai
hadits maqbul (yang dapat diterima)[3]
Dari bebrapa defenisi di
atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadits dha’if ialah hadits yang lemah dari segi maknanya,
hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits maqbul (bisa diterima)
atau hadits yang tidak memenuhi syarat shahih atau syarat hasan.
C. Sebab-Sebab Hadits Dinilai
Dhaif menurut ‘Ajaj al-Khatib dan Menurut Nur al-Din ‘Itir.
Dha’if adalah salah satu alasan tidak bisa diterimanya suatu
periwayatan hsdits, karena di antara penyebab hadits da’if itu tidak
bersambungnya sanad serta terdapatnya cacat pada perawi dan matan.
Ada pun sebab-sebab hadits dikatan dha’if terjadi perbedaan pandangan di
antara ‘Ajaj al-Khatib dengan Nur al-Din ‘Itir.
1. Sebab-sebab hadits dinilai dha’if menurut ‘Ajaj
al-Khatib.
Pengertian
hadits dha’if menurut Muhammad
‘Ajaj al-Khatib adalah:
هو كل حد يث لم تجمع فيه صفات القبول، وقال ٱكثرالعلماء هو مالم يجمع صفة
الصحيح والحسن.
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memnuhi
syarat-syarat untuk bisa diterima. Kebanyakan ulama menyatakan bahwa hadits
dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih atau pun syarat
hasan.
Dari pengertian di atas bisa
dipahami bahwa suatu hadits dikatakan dha’if ada dua penyebab:
a. Tidak memenuhi syarat shahih (bersambung
sanadnya, perawinya adil, dhabith, yang diriwayatkan tidak syadz,
yang diriwayatkan terhindar dari ‘illat.
b. Tidak memenuhi syarat hasan (syarat hasan
memenuhi syarat-syarat shahih seluruhnya. Hanya saja semua atau sebagian
kedhabitan perawi hadits hasan lebih sedikit dibandingan
kedhabitan perawi hadits shaheh.
2.
Sebab-sebab hadits dinilai dha’if menurut Nur al-Din ‘Itir
Nur al-Din ‘Itir dalam
bukunya Manhaj al-Naqd Fi Ulumil al-Hadits menjelaskan bahwa sebab
hadits dikatakan dha’if karena hadits itu kehilangan salah satu
syaratnya sebagai hadits maqbul.
Nur al-Din ‘Itir
mendefenisikan hadits dha’if itu sebagai berikut:
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول
Hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan salah satu
syarat sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima)[4]
Ada pun syarat-syarat hadits maqbul ada lima:
a.
Rawinya
adil
b.
Rawinya dhabith
meskipun tida sempurna
c.
Sanadnya
bersambung
d.
Di
dalamnya tidak terdapat kerancuan
e.
Di
dalamnya tidak terdapat illat yang merusak.[5]
Melihat persyaratan di atas
al-Biqa’i dan al-Suyuthi menyetujui sebagian besar syarat. Akan tetapi dengan
kriteria yang kedua mereka tidak menambahkan kata-kata “meskipun tidak
sempurna”. Karena apabila kedhabitan perawinya tidak sempurna, maka
hadits tersebut termasuk kriteria hadits hasan bukan hadits dha’if.
Oleh karena itu ungkapan untuk criteria yang kedua ini adalah dengan
menambahkan kata meskipun tidak sempurna.[6]
Pendapat ‘Ajaj al-Khatib,
Nur al-Din ‘Itir, al-Biqa’i dan al-Suyuthi di atas pada prinsipnya adalah sama. Kalau dilihat
secara sederhana yang dikatakan hadits hasan adalah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun tidak terlalu kuat igatannya meskipun
sanadnya bersambung. Sedangkan hadits dha’if adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat bisa diterima. Mayoritas ulama menyatakan bahwa hadits dha’if
adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih atau pun hasan.
Apabila dianalisa persyaratan kedua pendapat di atas, baik hadits shahih,
hasan atau pun hadis maqbul, persyaratnnya hampir sama, perbedaan
terletak pada cara penyampaian sedangakan pada maksud yang dituju adalah sama.
Jadi perbedaannya bukanlah perbedaan yang mendasar namun hanya pada isthilah
dan lafzinya saja.
D. Cacat Karena Terputusnya Sanad
dan ‘Illat Pada Sanad
Maksud terputusnya sanad
adalah terputusnya silsilah periwayat. Baik seorang atau lebih, sengaja atau
tidak, terjadinya di awal, pertengahan atau akhir sanad, baik putusnya secara
nyata atau sembunyi.[7]
Dari pengertian di atas maka
cacat hadits karena terputusnya sanad ada dua macam:
1. Terputusnya secara nyata. Ini dapat diketahui dengan
melihat masa antara periwayat dengan gurunya (yang menyampaikan hadits
kepadanya) apakah mereka pernah bertemu dan hidup pada satu masa, atau mereka
hidup pada satu masa akan tetapi mereka tidak pernah bertemu. Ini terbagi
kepada empat macam.
a. Mu’allq
Mu’allaq
menurut bahasa berarti terikat dan tergantung. Sanad
yang seperti ini disebut mu’allaq, karena hanya terikat dan tersambung
pada bagian atas saja sementara bahagian bawahnya terputus, sehinga jadi
seperti sesuatu yang tergantung pada atap dan semacamnya.[8]
هو ما حذف
من مبدأ اسناده راو فأكثر على التوالي
Hadits yang hilang rawinya
dari dasar sanadnya, seorang rawi atau lebih secara berurutan[9]
Hadits
mu’allaq merupakan hadits yang mardud (ditolak) perawinya, karena
pada hadits mu’allaq ini hilang satu syarat dari syarat-syarat hadits maqbul,
yakni bersambungnya sanad. Oleh karena itu dengan hilangnya seorang rawi atau
lebih dari sanadnya menyebabkan hadits ini menjadi hadits mardud
(ditolak).
Di antara
bentuknya adalah bila semua sanad digugurkan dan dihapus, kemudian dikatakan:
“Rasulullah bersabda bgini….” Atau dengan menggugurkan semua sanad kecuali
seorang sahabat, atau kecuali seorang sahabat dan tabi’in.
Contoh:
ما أخرجه البخارۑ في مقدمة باب ماۑذكر في الفخذ: وقال ابو موسى: غطى النبى ص. م ركبتيه حين دخل عثمان
hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari pada bab sekitar
paha. Abu Musa al-Asy’ariy berkata, “Nabi SAW menutup pahanya ketika utsman
masuk. Maka hadits ini termasuk mu’allaq karena al-Bukhari menghapus seluruh
sanad kecuali sahabat yaitu Abu Musa al-Asy’ariy.
Hadits ini
adalah mu’allaq karena Bukhari menghilangkan semua sanadnya kecuali
seorang sahabat yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
b. Mursal
هو ما سقط
من أخر إسناده من بعد تبعى
Hadits yang gugur pada akhir
sanadnya seseorang setelah tabi’in[10]
Jadi hadits
mursal adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah oleh tabi’in
tanpa menyebutkan nama sahabat yang membawa hadits itu. Atau riwayat yang di
dalam sanadnya ada unsur sahabat pembawa haditsnya tidak disebutkan. Dengan
kata lain, di dalam hadits mursal, seorang tabi’in berkata, “Nabi
berkata atau berbuat begini dan begitu”, padahal tabi’in tidak pernah bertemu
dengan Nabi.
Contohnya:
Diriwayatkan
oleh Imam Muslim dalam shahihnya pada kitab al-Buyu’ berkata:
telah bercerita kepadaku Muhammad bin Rafi’, (ia mengatakan) telah bercerita
kepada kami Hujain, (ia mengatakan) telah bercerita kepada kami Laits dari Aqil
dari Ibnu Syihab dari Said bin al-Musayyib, “bahwa Rasulullah telah melarang muzabanah
(jual beli dengan cara borongan hingga tidak diketahui kadar
timbangannya)”.
Said
al-Musyyib adalah seorang tabi’in senior, meriwayatkan hadits ini dari Nabi
SAW. Tanpa penyebtkan perantara dia dengan Nabi, maka sanad hadits ini telah
gugur pada akirnya, yaitu perawi setelah tabi’in. setidaknya telah gugur dari
sanad ini sahabat yang meriwayatkannya. Dan sangat mungkin telah gugur pula
bersamanya perawi yang lain yang selevel dengannya dari kalangan tabi’in.
Para ulama
berbeda pendapat tentang penggunaan hadits mursal. Menurut Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, dan beberapa ulama lain bahwa hadits mursal itu dapat
dijadikan dalil secara mutlak. Menurut Imam Syafi’y dan Imam Muslim hadits
Mursal tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sedangkan pendapat yang lain
menyatkan bahwa hadits mursal dapat dijadikan hujjah apabila didukung oleh
hadis yang lain atau sebagian sahabat telah mengamalkan kandungan hadits
tersebut.
c. Mu’dhal
Secara
bahasa mu’dhal berarti sesuatu yang dibuat lemah atau letih.
Adapun
menurut isthilah adalah:
ما سقط من
إسناده فأ كثر على التوالى
Hadits yang dari sanadnya
gugur dua atau lebih perawinya secara beturut-turut.[11]
Para ulama
sepakat bahwasanya hadits mu’dhal adalah dha’if, lebih buruk statusnya daripada
mursal dan mungqati’ karena sanadnya banyak yang terbuang.
d. Mungqati’
مالم يتصل
إسناده على اى وجه كان انقطاعه
Hadits yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi[12]
Jadi hadits mungqati’ adalah
hadits yang sanadnya terdapat salah seorang yang digugurkan (tidak disebutkan
namanya), baik di ujung maupun di pangkal. ‘Ajaj al-Khatib mengambil contoh
hadits mungqati’ sebagai berikut:
مارواه عبد
الرزاق عن الثوري عن ابي اسحاق عن زيد بن يشيع عن حذيفة إن ولتموها أبا بكر فقد
أمين
diriwayatkn oleh Abdur Razaq dari al-Tsauri dari Abu Ishaq dari Zaid ibn
Yusyai’ dari Hudzaifah disandarkan kepada Nabi, jika khilafah itu kamu serahkan
kepada Abu Bakar, maka sesungguhnya ia adalah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya
Hadits ini dinyatakan mungqati’
karena: pertama: Abdu Razaq tidak mendengar hadits ini langsung
al-Tsauri tetapi dari al-Nu’man ibn Abu syaibah baru dari al-Tsauri. Kedua: al-Tsauri
tidak mendengar langsung dari Abu Ishaq tetapi dari Syuraikh yang mendengarnya
dari Hudzaifah. Para ulama berpendapat bahwa hadits mungqati’ tidak
dapat dijadikan hujjah.
2. Terputusnya secara samar sembunyi. Ini bisa diketahui
hanya oleh para ulama yang mahir dalam masalah hadits dan illat pada
sanad. Ini terbagi kepada dua macam.
a. Mudallas
Tadlis
menurut bahasa artinya menyimpan aib. Menyimpan barang
dagangan agar tidak ketahuan pembeli disebut tadlis. Jadi yang dimaksud hadits mudallas
adalah hadits yang di dalamya ada sesuatuyang disembunyikan. Ulama membagi tadlis
menjadi dua.
1. Tadlis al-Isnad
Yaitu seorang periwayat menerima
hadits dari orang yang semasa dengannya, tetapi ia tidak bertemu, menerima
langsung daripadanya, tetapi tidak menyebut namanya. Misalny ia hanya
mengatakan, “saya mendengar hadits dari si polan. Diperkiran tidak menyebut
namanya mungkin mengandung maksud agar aib yang ada pada gurunya tidak
kelihatan. Karenanya tadlis seperti ini sangat dibenci oleh ulama
hadits.
2. Tadlis al-Suyukh
Yaitu
seorang periwayat menyebut nama pemberi hadits bukan nama yang dikenal oleh
khalayak tetapi dengan nama yang kurang dikenal. Misalnya al-Khatib berkata,
“telah bercerita kepada kami Ali ibn Abu Ali al-Bishri” nama yang terkenal pada
tokoh dimaksud adalah Abu Qasim Ali ibn Abu ali, bukan ali saja.
b. Mursal khafi
Penyebab
lain dikatakan sebuah hadits itu dha’if adalah terdapat illat pada
sanad. Pengrtian ‘illat menurut Ibnu Shalah dan al-Nawawi adalah sebab
yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits
yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.
Abd. al-
Rahman bin Mahdi menyatakan untuk mengetahui ‘illat hadits diperlukan
intuisi (ilham). Sebagian ulama menyatakan untuk mengetahui illlat hadits
diperlukan kecrdasan, memiliki banyak hafalan hadits, faham terhadap
hadits-hadits yang dihafalnya, mengetahui tentang berbagai tingkat kedhabitan
periwayat, sanad dan matan. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sanad yang
dianggap sehat adalah yang ittishal (bersambung sanadnya). Suatu sanad
dikatakan bersambung apabila:
1). Seluruh perawi dalam
sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabith)
2). Antara masing-masing
periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad benar-benar telah
terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut tahammul wa ada’
al-hadits.[13]
E. Cacat Karena Periwayat Tidak
Adil, Tidak Dhabith dan Syadz
Yang
dimaksud adil adalah beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan
agama dan memelihara muru’ah. Dhabith berarti orang yang kuat hafalannya
tentang apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan ia
menghendakinya. Syadz berarti hadits yang diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang tsiqat, sedangkan periwayat tsiqat yang lain tidak
meriwayatkan hadits itu.[14] Dari
segi periwayatan terdapat cacat pada perawai, baik mengenai keadilannya maupun
mengenai kedhabithannya.
Ada pun
cela atau cacat yang berkenaan dengan keadilannya adalah:
a. Dusta
b. Tuduhan berdusta
c. Fasik
d. Ketidak jelasan
e. Bid’ah
Ada
pun cela yang beraitan dengan kedhabitannya adalah:
a. Kesalahan yang sangat buruk
b. Waham
c. Kelalaian
d. Buruk hafalan
e. Menyelisihi para perawi yang tsiqah[15]
Berikut ini
hadits-hadits yang dikarenakan sebab-sebab di atas:
1. Hadits Maudhu’ hadits yang disebabkan perawinya
kidzib (dusta), yakni berdusta dalam membuat hadits walaupun hanya
sekali dalam seumur hidup.
هو الكذب
المختلق المصنوع المنسوب إلى رسول الله ص.م.
Hadits maudhu’ adalah dusta yang diucapkan, yang dibuat-buat yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.[16]
Para ualama sepakat tidak
boleh meriwayatkan hadits maudhu’ bagi seorang pun yang mengetahui bahwa
hadits itu maudhu’ atas tujuan apa pun kecuali disertai dengan
penjelasan tentang kemaudhu’annya.[17]
2. Hadits Matruk
Dinamakan
hadits matruk karena rawinya tertuduh dusta, yakni rawi yang terkenal dalam
pembicaraan sebagai pendusta, tapi belum dapat dibuktikan bahwa ia pernah
berdusta dalam membuat hadits. Rawi ini bila benar-benar bertaubat maka
periwayatan haditsnya dapat diterima.
Tudhan
berdusta terhadap rawi karena salah satu dari dua hal: pertama, hadits
itu tidak diriwayakan kecuali dari jalurnya saja, dan bertentangan dengan
kaedah-kaedah umum yang digali para ulama dari nash-nash syar’iy. Kedua, dikenal berdusta dalam perkataan
biasa, tapi tidak nampak kedustaannya dalam hadits.
3. Hadits mungkar
Disebut
hadits mungkar karena rawinya lengah dalam hafalan dan salah, lengah
biasanya terjadi dalam penerimaan hadits, sedangkan banyak salah terjadi dalam
penyampaiannya. Hadits yang rawinya fasiq, lengah dan banyak salah disebut
hadits mungkar.
Pengertian
hadits mungkar oleh para ulama dijelaskan dalam dua defenisi:
هو الحديث الذي
فى إسناده راو فحش غلطه أو كثرت غفلته او ظهر فسقه
Hadits yang pada sanadnya ada seoran rawi yang banyak salah dalam
penyampaiannya atau banyak lalai atau nyata kefasikqannya.
هو ما رواه
الضعيف مخالفا لما رواه الثقة
Hadits yang perawinya dha’if berbeda dengan hadits yang diriwayatkan
perawi yang tsiqah
Oleh karena
itu, kriteria hadits mungkar adalah sendirinya seorang perawi dha’if dan
mukhalafah. Seandainya ada seorang rawi yang melakukan kesendirian dalam
meriwayatkan suatu hadits tidak menyimpang dari perawi yang lain yang tsiqah,
maka haditsnya tidak mungkar, tapi dha’if. Bila haditsnya ditentang dengan
adanya hadits dari perawi yang tsiqat, maka yang rajah disebut ma’ruf, sedang
yang marjuh itulah yang disebut mungkar.[18]
Penyebab hadits mungkar:
a. Kerusakan keadilan periwayatan berupa kefasikan
b. Rusak kedhabitan periwayat berupa periwayatan yang
lebuh banyak salah daripada benarnya. Sifat lupa lebih dominan dari hafalnya.
4. Hadits Ma’ruf
Ma’ruf secara bahasa berarti yang terkenal. Secara
isthilah ma’ruf adalah sebah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang
tsiqah,yang bertentangandengan yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah.
5. Hadits Mu’allal
Dinamakan
hadits mu’allal karena rawinya banyak persangkaan, yakni salah sagka
seolah-olah hadits tersebut tidak ada cacat, baik pada matan maupun pada sanad.
هو الحديث الذى
أطلع فيه على علة تقدح فيه صحته مع أن اظاهر السلامة منها
Hadits yang muncul cacat pada sanad yang merusak pada keshahihannya,
meski secara lahirnya Nampak terbebas darinya.
Terkadang kecacatan pada
perawi adalah karena perbedaan pada yang diriwayatkannya dengan yang
diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah, maka hadits pada kelompok ini
terbagi kepada empat macam.
1. Hadits Mudraj
Al-mudraj
secara bahasa adalah terambil dari ism maf’ul dari أدرج Ibn Katsir
memberikan defenisi tentang hadits mudraj ialah:
أن تزاد لفظه فى متن الحديث من الكلام الراوي، فيحسبها
من يسمعها فوعه فى الحديث، فيرويها كذالك.
Lafaz yang ditambah pada matan hadits dari perkatan
periwayat, orang yang mendengarnya mengira marfu’ dalam hadits maka dia meriwayatkannya.
Hadits mudraj terbagi
dua, mudraj isnad dan mudraj matan: Mudraj isnad adalah seorang perawi
sedang menyebutkan satu sanad, tiba-tiba ada yang menghalanginya, lalu ia
mengeluarkan satu ucapan dari dirinya sendri. Maka sebagian dari yang
mendengarnya menyangka, bahwa ucapannya adalah matan dari sanad yang ia sebut
tadi, kemudian sipendengar meriwayatkan ucapan si perawai tersebut dengan
memakai sanad itu.
Mudraj pada matan, kadang terjadi pada awal matan, di tengah,
dan akhir matan. Idraj dapat pula terjadi karena kesalahan, seperti
kebanyakan tambahan, perbedaan matan dan terkadang karena kesengajaan.
Hukum berhujah dengan hadits
mudraj,ibnu al-Sam’ani berpendapat keadilan bisa gugur karena melakukan idraj.
Al-Nawawi menambahkan, idra dengan semua pembagiannya adalah haram. Namun
apabila idraj bertujuan untuk menjelaskan yang garib karena tersalah, maka ini
bukanlah haram. Tambah al-Syuyuthi.[19]
2. Hadit Maqlub
Maqlub secara bahasa berartimembalikkan sesuatu dari bentuk
yang semestinya. Menurut isthilah adalah: mengganti salah satu kata dari kata
yang terdapat pada sanad atau matan sebuah hadits, dengan cara mendahulukan
kata yang semestinya diakhirkan, dan mengakhirkan kata yang mestinya
didahulukan dan yang semisalnya.
3. Al-mazid fi muttashil as-Sanad
Al-mazid berti tambahan, muttashil berarti bersambung
sedangkan as-sanad berti mata rantai para perawi dalam sebuah hadits.
Berdasarkan uraian di atas maka Al-mazid fi muttashil as-Sanad artinya
perawi yang ditambahkan dalam sebuah sanad hadits, dimana sanad hadits tersebut
kalau dilihat dari luarnya maka seakan-akan sanadnya bersambung.
4. Mudhtharib
Secara bahasa mudhtharib berarti
urusan yang diperselisihkan dan rusak aturannya. Secara isthilah hadits mudhtharib
adalah hadits yang diriwayatkan dari jalur yang berbeda-beda serta sama
dalam tingkat kekuatannya, dimana satu jalur dengan yang lainnya tidak
memungkinkan untuk digabungkan dan tidak mungkin pula ntuk dipilih salah satu
yang kuat.
Akan tetapi jika antara satu
jalur dengan yang lainnya dapat disatukan, maka hilanglah ketidak tetapan (al-iahthirab)
itu, dan dibolehkan mengamalkan semua riwayat, jika dapat dipilih salah
satu yang kuat, maka yang dibolehkan untuk diamalkan adalah riwayat yang
terkuat saja.
5. Mushahhab
Mushahhab secara bahasa berarti kesalahan tulis dalam
kitab-kitab hadits. Sedangkan as-shahafi adalah sebutan bagi perawi yang
meriwayatkan hadits dengan membacakan buku, sehingga ia melakukan kesalahan
karena kesulitan membedakan huruf-huruf yang mirip.
Pembagian mushahhaf:
Jika ditinjau dari tempat
terjadinya kesalahan, maka hadits mushahhaf terbagi dua, yaitu dalam sanad dan
dalam matan.
Jika ditinjau dari segi
sebab terjadinya kesalahan, maka hadits mushahhaf terbagi dua, yaitu pada
pendengaran dan penglihatan. Jika ditinjau dari segi kata atau maknanya, maka
hadits mushahhaf terbagi dua, yaitu dalammatan dan makna.[20]
F. Cacat Karena Syudzudz Pada
Matan
Secara bahasa kata syudzudz
dapat berartti: yang jarang, yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi
aturan, dan yang menyalahi orang banyak. Berikut ini pengertian syudz menurut
muhaditsin:
1. Menurut al-Syafi’iy al-syadz adalah:
لۑسى الشاذ من الحدۑث أن يروۑ الثقة مالم ۑروي غيره، إنمااشاذ أن يروي الثقة حديثا يخالف ما روى الناس
Hhadits syadz bukanlah seorang periwayat yang tsiqah meriwayatkan hadits
yang dirayatkan oleh selainnya. Al-syadz adalah seorang periwayat tsiqah
meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh
masyarakat.
Menurut al-Syafi’iy, baru
mengandung kemungkinan syadz apabila memiliki dua syarat. Pertama, terkait
dengan periwayat, yakni sifat tsiqah. Kedua, terkait dengan riwayat,
yakni bertentangan dengan apa yang diriwayatkan leh periwayat yang lain. Dia
menekankan bahwa hadits syadz tidak disebabkan oleh kesendirian periwayatnya,
tetapi karena riwayatnya bertentangan dengan yang lainya. Ini terjadi karena
penambahan, pengurangan dalam sanad dan matan antara keduanya tidak dapat
dikompromikan. Syadz adakalanya terjadi pada sanad, adakalanya terjadi pada
matan.
2.
Menurut
al-Khalil ibn Abdullah al-Khalily
الشاذ ما
ليسى له إلا إسناد واحد، ۑشذ بذالك شيخ ثقة كان أو غير ثقة
Hadits syadz adalah hadits yang sanadnya satu jalur, baik seorang guru
yang stiqah atau tidak tsiqah menyendiri dalam periwayatannya.
Terdapat dua
hukum untuk syadz:
a. Hadits itu dibiarkan (mutawaqqaf), tidk ditolak dan
tidak diterima sebagai hujah, apabila periwayatnnya tsiqah
b.
Hadits
itu ditolak sebagai hujah apabila periwayatannya tidak tsiqah.
Menurut al-Khalily suatu
hadits baru kemungkinan mengandung syadz, apabila memiliki satu syarat, yakni
kesendirian dalam periwayatan, dan periwayat tersebut adakalanya tsiqah
adakalanya tidak tsiqah.
Jadi syadz pada matan adalah
periwayat yang menyendiri, riwayatnya bertentangan dengan periwayat yang lebih
tsiqah dalam penukilan matan terjadi penambahan, pengurangan, penukar balikan,
perubahan bentuk kata. Untuk memperjelas, berikut dikemukakan contoh hadits
yang mengandung syudz, yakni hadits yang mengandung penambahan pada matan:
وحدثنا ابو بكر بن ابى شۑبة و عمر والناقد قال: حدثنا عبد
الله بن ادريس، عن سهيل عن ابيه عن ابي هريرة قال: قال رسول الله ص. م: إذا صليتم
بعد الجمعة فصلوا أربعا
زاد عمر في روايته: قال ابن ادريس: قال سهيل: فإن عجل بك شيء فصل ركعتين في
المسجد وركعتين اذا رجعت
Menceritakan kepada kami Abu Bakar…………..berkata
Rasulullah SAW. Kalau kamu melakukan shalat sesudh shalat jum’at, maka
shalatlah empat raka’at. Amr dalam riwayatnya menambahkan: Idris berkata,
suhail berkata: Jika sesuatu membuatmu tergesa-gesa maka shalatlah dua raka’at
di masjid dan dua raka’at sesudah pulang.
Dalam hadits di atas
terlihat ada penambahan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Syuthiy hadits
yang marfu’ hanya sampai pada arba’an.
Sebagaimana hadits berikut:
هدثنا يحي
بن يحي..............قال رسول الله ص. م : إذا صلى احدكم الجمعة فليصل بعدها اربعا
Penambahan terdapat pada:
زاد عمر في
روايته: قال إبن إدريس: قال سهيل: فإن عجل بك شىء فصل ركعتين في المسجد و ركعتين
إذا رجعت
Contoh hadits yang mengandung penukarbalikan:
حدثنا سلمة
بن شبيب و احمد بن إبراهيم الدروقي و الحسن بن علي الحلواني و عبد الله بن منير و
غير واحد قالوا حدثنا يزيد بن هارون أخبرنا شريك عن عاصم بن كليب عن ابيه عن وائل بن حجر قال رأيت رسول الله ص. م: إذا
سجد يضع ركبته قبل يديه و إذا نهض قبل ركبتيه
Menceritakan kepada kami salamah…………aku melihat Rasululah SAW. Apabila
akan sujud ia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila
dia bangkit, maka dia mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.
حدثنا سعيد بن منصور، حدثنا عبد العزيز بن محمد،
حدثنى محمد بن عبد الله بن حسن، عن أبي الزناد، عن الارج، عن ابي هريرة قال: قال
رسول الله ص. م: إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير، وليضع يديه قبل ركبتيه
Menceritakan kepada kami sa’id bin Mansur……….bersabda Rasulullah SAW.
Apabila salah seorang di antara kamu akan sujud, maka janganlah ia duduk
seperti onta, hendaklah ia meletakkan tangan kanannya sebelum kedua lututnya.
Melihat kedua hadits di
atas, nampaklah teradi penukar balikan. Dari kedua hadis di atas , hadits
pertamalah yang diangap benar, karena tata cara sujud yang benar adalah
meletakkan dua lutut sebelum kedua tangan. Sedangkan pada hadits ke dua
tatacara shalat yag dianggap salah, karena mendahulukan tangan saat sujud
sebelum dua lutut, dan diibaratkan sepeti duduknya onta. Hal ini merupakan
larangan menyerupai hewan dalam shalat.[21]
G. Cacat Karena ‘Illat pada
Matan
Para muhadditsin berbeda
pendapat tentang nama hadits yang pada matannya terdapat cacat karena ada ‘illat
yaitu al-mu’all, al-ma’lul dan al-mu’allal. Namun para ulama dalam beberapa
pengertian menyebutkan nama untuk hadits yang cacat karena ber’illat
pada matan dengan hadits mu’allal.[22]
Secara bahasa kata ‘illat
berarti cacat, kesalahan, penyakit dan keburukan. Sedangkan menurut
isthilah, hadits mu’allal menurut Ibnu al-Shalah dan al-Asqalaniy
adalah:
الحديث الذي
اكشفت فيه على علة نقدح فى صحته، وانكان يبدو في الظاهرة سليما من العلل.
hadits yang diketahui cacat yang murusak kualitas keshahihannya, yang
pada lahirnya tampak terbebas darinya.
Pada pengertian
ini hadits Nampak tidak bermasalah secara lahir, namun setelah diteliti,
barulah Nampak cacat hadits tersebut. Dalam pengertian di atas terdapat dua
syarat pada suatu matan baru bisa dikatakan berillat.
1. Sebab-sebab tersebut tersembunyi dan samar
2. Sebab-sebab tersebut merusak dan mempengaruhi kualitas
keshahihan hadits.
Para ahli hadits hanya
mempergunakan istilah illat untuk sebab yang lahir yang menyebabkan
suatu hadits dinilai cacat.
Terkadang ulama hadits juga
menggunakan istilah illat untuk:
a. Bentuk yang mendha’ifkan hadits, seperti
penilaian cacat pada periwayat karena kebohongan, lalai, hafalan jelek, dan
sebab kedha’ifan hadits semisalnya.
b. Perbedaan yang tidak mencacatkan keshahihan hadits,
sepeti kegiatan irsal yang dilakukan oleh periwayat tsiqah lagi dhabith.
c. Nasakh dalam mengamalkan hadits.[23]
Untuk memperoleh sebuah
hadits yang shahih yang terhindar dari kedhaifanan karena terdapat cacat
pada matan, maka ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam penerimaan
hadits, yaitu:
1.
Hadits
tidak bertentangan dengan al-Qur’an
2.
Hadits
tidak bertentangan dengan hadits lainnyya (mutawatir, masyhur, ahad yang
shahih)
3.
Abu
Hanifah menambahkan, hadits tidak bertentangan dengan amal shahabiy dan
fatwanya.
4.
Hadits
tidak bertentangan dengan amal ahl al-Madinah. (Malik bin Anas)
5.
Lafal
hadits mirip sabda Nabi SAW
6.
Hadits
tidak bertentangan deengan sesuatu yang mungkar atau mustahil
7.
Tidak
bertentangan dengan qiyas
8.
Hadits
tidak bertentangan dengan indera
9.
Hadits
tidak bertentangan dengan sejarah
10.
Hadits
tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.[24]
Berdasarkan penjelasan di
atas, maka pengamalan terhadap suatu hadits tidak hanya melihat hadits sahih
secara lahir, namun hadits itu harus diteliti keshahihannya dengan
memperhatikan sepuluh faktor di atas. Untuk itu dibutuhkan ilmu yang memadai
untuk melakukannya, sehinga ketika beramal terhidar dari amalan yang salah dan
menyimpang
H. Kehujjahan Hadits Dha’if
Pada dasarnya hadits dha’if itu ditalak, tidak boleh beramal denganya,
berbeda dengan hadits shahih dan hadits hasan pada dasarnya boleh
beramal dengannya. Akan tetapi para
ulama telah membahas tentang kemungkinan-kemungkinan beramal dengan hadits dhai’if.
Sehingga Ada tiga pendapat di kalangan ulama tentang penggunaan hadits dha’if:
1.
Menurut ulama
muhaqqiq, hadits dha’if tidak
bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai aqidah, hukum-hukum fiqh, motivasi
ibadah, ancaman dan fadha’il amal.
Pendapat ini dipilih oleh Ibn al-Arabiy seorang ahli fiqh dalam mazhab
maliki dan Abu Syamah al-Muqaddas dalam mazhab Syafi’i. pendapat ini juga merupakan pendapat Imam
Bkhari, Imam Muslim dan Ibn Hazm.
2.
Pendapat
kebanyakan ulama-ulama fiqh, Hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak apabila tidak
ada hadits lain yang menjelaskkan tentang hal tersebut. Pendapat ini
dinisbatkan kepada Abu Hanifah, Syafi’y, Malik dan Imam Ahmad. Kedua ulama ini
berpendapat bahwa hadits dha’if lebih baik daripada ra’yu perseorangan.
3.
Sebagian ulama
melarang menggunakan hadits dha’if dalam masalah aqidah dan hukum. Namun
mereka membolehkan hadits dhaif digunakan dalam masalah fadha’il, targib dan tarhib.
Menurut sebagian ulama boleh mengamalkan hadits
dha’if dengan tiga syarat:
a.
Kedha’ifannya
tidak terlalu. Didalamnya tidak terdapat seorang pendusta atau yang tertuduh
berdusta, juga orang yang sering melakukan kesalahan. Al-Ala’iy meriwayatkan
bahwa syarat ini merupakan kesepakatan ulama.
b.
Hadits dha’if
itu masuk dalam hadits pokok yang bisa diamalkan.
c.
Ketika
mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat tapi hanya sekedar ihtiyath
(berhati-hati)[25]
Menurut penulis pendapat di atas bisa
saja dikompromikan. Hadits-hadits shaheh yang menyangkut tentang
motivasi ibadah sangat banyak sekali lebih-lebih yang menyangkut tentang hukum.
Hadts-hadits yang sudah jelas shahehnya belum tertentu bisa diamalkan semuanya,
kenapa mesti mencari hadits dha’if.
Maksud penulis selama ada hadits shaheh yang mengatur tentang satu ibadah
beramallah dengannya, tidak perlu mencari hadits dha’if. Beribadah dengan
hadits shaheh lebih aman artinya kita telah keluar dari ikhtilaf ulama. Jika
yang mengatur tentang suatu ibadah itu tidak ditemukan hadits shaheh, menurt
penulis tidak masalah beribadah dengan hadits dha’if. Selagi yang
dilakukan adalah kebaikan, Allah akan
membalasinya dengan kebaikan karena hal ini merupakan janji Allah terhadap
hambanya, sangat tidak masuk akal seseorang dimasukan ke dalam neraka hanya karena beribadah
atas motivasi hadits dhai’if.
- PENUTUP
Hadits
dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syrat-syarat bisa diterima.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih atau pun syarat-syarat hadits hasan. Di
antara penyebab hadits dha’if adalah terputusnya sanad. Ini terdiri dari
hadits mu’allaq, mursal, mungqati’ mu’dhal, mudallas. Penyebab lain
terdapat cacat atau ‘illat pada matan. Alasan di atas menjadikan hadits
yang pada mulanya dinilai shahih menjadi dha’if sehingga
menimbulkan perselisihan dikalangan ulama dalam kehujahannya. Setidaknya ada
tiga pendapat tentang kehujjahannya. Ada yang tidak membolehkan secara mutlak
menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah. Ada yang membolehkan
secara mutlak dengan syarat tidak ada hadits lain yang mengatur tentang hal
tersebut, karena bagi ulama ini hadits dha’if lebih utama ketimbang qiyas. Ada
pula yang membolehkan menggunakan hadits dha’if hanya pada hal motivasi
ibadah (fadhail ‘amal).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Khatib,
Muhammad ‘Ajaj, Ushula al-Hadits (alih bahasa oleh Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq), 2001
Al-Qaththan, Manna’, Mabahits Fi Ulum al-Hadits, Mesir:
Maktabah Wahbah, 2004
Al-Shalah,
Subhi, Ulum al-Hadits wamusthalatuhu, Beirut: Dar al-Ilmi, 1988
Bukhari,
kaedah keshahihan matan hadits, padag: Azka, 2004
Ismail,
Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, (telaah kritis dan tinjauan dengngan
pendekatan ilmu sejarah), Jakarta: Bulan Bintang, 1987
‘Itir,
Nuruddin, Ulum al-Hadits, (alih bahasa oleh Mujiyo), Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1997
Nabilbin Mansur bin Ya’cub al-Bashari, جداول الجامعة فى علوم النافعة (Kuait: Dar al-Dakwah, 1987
Soetari,
Endang, ilmu hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997
Thahhan,
Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadits, Kuait: Jami’ah Kuait, 1985
Zainimal,
Ulum Hadits, Padang: The Minang Kabau Foundation, 2005
[1] Man’ul Qatthan, Mabahits fi Ulum
al-Hadits, (Mesir: Maktabah Wahbah, 2004), h. 116
[2] ibid
[3]
Nuruddin ‘Itir, Ulum al-Hadits, alih bahasa Mujio, (Bandung: PT Remaja
RosdaKarya, 1997), h. 51
[4]
Nuruddin ‘Itir, Ulum al-Hadits alih bahasa Mujiyo, (Bandung: PT Remaja
RosdaKarya, 1997), h. 51
[5] .
Ibid.
[6] .
Ibid.
[7] .
Mahmud al-Thahhan, Mushthalah al-Hadits (Kuait: Jami’ah uait, 198), h. 55
[8] .
Mana’ al-Qaththan,.op.cit, h. 119
[9]
Ibid
[10] Muhmud Thahhan,. Op.Cit, h. 59
[12]
bid, h. 124
[13]
. Syuhdi Ismail, Kaedah-kaedah Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 127
[14]
. Ibid, h. 134-135
[15]
. Nabil bin Mansur bin Ya’cub al-Bashari, جداول الجامعة فى علوم النافعة (Kuait: Dar al-Dakwah, 1987), h. 153
[16]
Mahmud Thahhan, op.cit., h.89
[17]
. Ibid., h. 90
[18]
.’Ajaj al-Khatibh, op.cit, h. 313
[19]
Bukhari, Kaedah Keshahihan matan Hadits, (Padang: Azka, 2004), h.
167-168
[20]
. Manna’ al-Qaththan, op.cit, h. 148
[21]
. Bukhari, op.cit, h. 219
[22] Ibid, h. 248
[23]
. Ibid, h. 254
[24] Ibid, h. 259
[25]
. Mana’ al-Qatthan op.cit., h. 117-118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar