HADIS
MAUDHU’
A.
Pendahuluan
Hadits maudhu’
adalah hadits yang dibuat-buat oleh para pendusta, dan mereka menyandarkannya
kepada Rasulullah SAW. Hadits ini dibuat dengan kata-kata mutiara yang indah
dan sanad-sanadnya merupakan susunannya sendiri.
Ada fakta umum yang kita ketahui ada orang-orang yang
mencoba memalsukan barang-barang berharga seperti berlian, emas, permata dan
lain sebagainya. Bagi kaum muslim tak ada yang lebih berharga dari Al-Qur’an
dan hadits. Berbagai motif dan tujuan para ahli bid’ah lakukan untuk memalsukan
hadits, tetapi usaha yang mereka lakukan berhasil diketahui dan dipelajari oleh
para cendikiawan Islam.
Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua tidaklah dibuat-buat atau diada-adakan oleh
para sahabat, akan tetapi memang datangnya dari Nabi. Oleh sebab itu ada
segelintir orang-orang yang tidak senang terhadap Islam yang ingin merusak hadits
bahkan ingin menghancurkan Islam yang mengakibatkan timbulnya hadits maudhu’.
Pembicaraan tentang hadits Maudhu’ adalah penting, karena disamping kegiatan pemalsuan hadits tersebut telah menjadi kenyataan di
dalam sejarah, juga, terutama dalam rangka untuk memelihara kemurnian hadits-hadits
Nabi SAW, serta agar umat tidak keliru dan terperangkap dalam pengamalan hadits
Maudhu’ tersebut. Di dalam makalah
ini akan dibicarakan tentang pengertian hadits
Maudhu’, sejarah kemunculan , latar
belakang dan perkembangannya, karakteristik kepalsuan hadits pada Sanad,
karakteristik kepalsuan hadits pada Matan.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Hadits maudhu’ secara
etimologi merupakan isim maf’ul dari wadha’a,
yang memiliki makna antara lain menggugurkan.[1]
Sedangkan menurut terminologi ulama hadits adalah :
ما نسب إ لى ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم ا ختلا فا و كذ
با مما لم يقله أ وْ يفعله
أ وْ يقر ه
“Sesuatu
yang dinisbahkan (disandarkan) kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya dibuat-buat
dan diadakan, karena Rasulullah SAW sendiri tidak mengatakannya, memperbuat,
maupun menetapkannya”.[2]
Ada juga yang mengatakan bahwa hadits yang dibuat-buat.
Sebagian juga mengatakan bahwa hadits Maudhu’
ialah :
هو ا لخبر ا لذ ي يختلقه ا لكذ ا بوْ ن وينسبوْ نه إ لى رسوْ ل
ا لله صلى ا لله عليه و سلم
ا فتر ا ء عليه
“Yaitu berita yang diciptakan oleh para
pembohong dan kemudian mereka sandarkan kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya
mengada-ada atas nama beliau”.[3]
Jadi hadits Maudhu’ itu adalah bukan hadits yang bersumber dari Rasul atau
dengan kata lain bukan hadits Rasul, akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan
seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan, kemudian dinisbatkan
kepada Rasul.
2.
Sejarah Kemunculan dan
Perkembangan Hadits Maudhu’, Serta
Latar Belakang Kemunculannya.
a.
Sejarah kemunculan hadits Maudhu’ dan perkembangannya
Para ulama berbeda pendapat tentang
kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits. Berikut ini akan dikemukakan pendapat
mereka, yaitu :
1)
Pemalsuan hadits telah terjadi pada zaman Nabi
masih hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah yang
berbunyi :
فمن كذ ب علي متعمد ا فليتبو ء مقعد ه من ا لنا ر
“Bagi
siapa yang secara sengaja berdusta kepadaku, maka hendaklah dia mengambil
tempat dineraka”.[4]
Dengan sabda tersebut
diatas, Rasulullah SAW mengira telah ada
pihak-pihak yang ingin berbuat bohong kepada dirinya. Oleh karena itu, hadits
tersebut merupakan respon terhadap fenomena yang ada pada saat itu, yang
berarti menggambarkan bahwa kemungkinan besar pada zaman Rasulullah SAW telah
terjadi pemalsuan hadits. Sehingga Rasulullah SAW mengancam kepada para pihak
yang membuat hadits palsu.
2). Shalah Al-Din Al-Dlabi
mengatakan bahwa pemalsuan hadits berkenaan dengan masalah keduniaan telah
terjadi pada masa Rasulullah SAW. Alasan yang ia kemukakan adalah hadits riwayat
Al-Thahawiy (321 H/993 M) dan Al-Thabrany (360 H/971 M). Dalam hadits yang
mengatakan bahwa pada masa Nabi ada seseorang yang telah membuat berita bohong
mengatasnamakan Nabi. Orang itu telah mengaku telah diberi wewenang oleh Nabi
untuk menyelesaikan suatu masalah disuatu kelompok masyarakat tersebut, tetapi
lamaran itu ditolak. Masyarakat tersebut lalu mengirim utusan kepada Nabi untuk
mengkonfirmasikan berita utusan dimaksud. Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh
seseorang yang mengatasnamakan beliau. Nabi lalu menyuruh sahabatnya untuk
membunuh orang yang berbohong, seraya berpesan apabila ternyata orang yang
bersangkutan telah meninggal dunia, maka jasad orang itu agar dibakar. Dalam hadits
ini baik yang diriwayatkan Thahawiy atau Thabrany ternyata sanadnya lemah
(Dha’if). Karena itu kedua riwayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil.
3). Menurut jumhur al-muhaddisin,
bahwa pemalsuan hadits itu terjadi pada masa Kekhalifahan Ali Ibn Abi Thalib,
mereka beralasan bahwa keadaan hadits sejak
zaman Nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan antara Ali Ibn Abi Thalib
dengan Mu’awiyah ibn Abi Sofyan (60 H / 680 M) masih terhindar dari
pemalsuan-pemalsuan. Jelas tidak mungkin terjadi pemalsuan hadits. Sedangkan
pada masa kekhalifahan Abu Bakar Al-Shiddiq,
Umar ibn Khatab, dan Usman bin Affan juga belum terjadi pemalsuan hadits. Hal
ini dapat dibuktikan betapa gigih, hati-hati, dan waspada mereka terhadap
Hadits.
Berlainan
dengan masa ketika Khalifah Ali ibn Abi Thalib telah terjadi perpecahan politik
antara golongan Ali dan para pendukung Mu’awiyah. Upaya ishlah melalui tahkim
tidak mampu meleraikan pertentangan mereka, bahkan semakin rumitnya masalah
dengan keluarnya sebagian pengikut Ali (Khawarij) dengan membentuk kelompok
tersendiri. Golongan yang terakhir ini kemudian tidak hanya memusuhi Ali dan
pengikutnya akan tetapi juga melawan Mu’awiyah dan pengikutnya.
Masing-masing
golongan selain berusaha mengalahkan lawannya juga berupaya mempengaruhi
orang-0rang yang tidak berada dalam perpecahan. Salah satu cara yang mereka
tempuh ialah dengan membuat hadits palsu. Dalam sejarah dikatakan bahwa yang
pertama-tama membuat hadits palsu adalah golongan Syi’ah. Yang paling banyak
diantara mereka adalah dari golongan Syi’ah Rafidhah. [5]
Pertentangan
politik dan teologi yang terjadi di kalangan umat Islam tidak disia-siakan oleh
kalangan musuh Islam yang berkeinginan meruntuhkan Islam dari dalam. Para musuh
Islam itu juga menggunakan senjata dengan membuat berbagai hadits palsu dalam
memerangi Islam.[6]
b. Latar Belakang
Kalau dilihat dari data sejarah
yang ada, pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam, akan
tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non Islam yang berusaha mencemarkan hadits sebagai sumber
ajaran Islam. Dari kalangan Islam sendiri, menurut para ulama yang mula-mula
membuat hadits palsu ialah golongan
Syi’ah. Kegiatan dan pengaruhnya tampak jelas pada banyaknya hadits-hadits ini
untuk kepentingan mereka serta munculnya hadits palsu dari pihak lawan mereka.
Adapun latar belakang munculnya hadits-hadits
Maudhu’ antara lain :
1). Faktor Politik
Hadits Maudhu’ muncul akibat dampak komflik internal umat Islam yang
kemudian terpecah menjadi beberapa sekte. Pertentangan gejolak politik yang
terjadi antara Ali dan Mu’awiyah merupakan faktor yang pertama munculnya hadits
palsu.
Dari kedua kelompok diatas yang
pertama kali melakukan pemalsuan hadits ialah kelompok Syi’ah. Mereka membuat hadits
Maudhu’ untuk memusuhi lawan
politiknya.[7]
Adapun contoh hadits palsu yang dibuat oleh Syi’ah untuk
kepentingannya Misalnya :
يا علي إ ن ا لله غفر لك و لذ ر يتك و
لو ا لد يك و لأ هلك و لشيعتك و بمحبي شيعتك
“ Wahai Ali
sesungguhnya Allah SWT. Telah mengampunimu, keturunanmu, kedua orang tuamu,
keluargamu, (golongan) Syi’ahmu, dan orang-orang mencintai (golongan)
Syi’ahmu”.[8]
2). Usaha Kaum
Zindiq
Setelah Islam menaklukkan dua
negara super power yakni kerajaan Romawi dan Persia. Islam tersebar kesegala
penjuru dunia, sementara musuh-musuh Islam tersebut tidak mampu melakukan
perlawanan secara langsung, maka mereka meracuni umat Islam dengan hadits Maudhu’
yang dilakukan oleh kaum zindiq.
Abd al-Karim ibn al-‘Auja sebelum
dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman bin Ali mengatakan bahwa dia telah
membuat hadits palsu sebanyak 4000 hadits.
Sedangkan Hammad bin Zaid mengatakan bahwa hadits yang dibuat kaum zindiq
berjumlah 12000 hadits.
Contoh hadits yang dibuat oleh kaum zindiq ini antara
lain :
ا لنظر إ لى ا لو جه ا لجميل صد قه
“Melihat
wajah cantik termasuk ibadah”
3). Fanatik
Terhadap Bangsa, Suku, Negri, Bahasa, dan Pimpinan
Membuat hadits palsu karena didorong oleh sikap ego dan fanatik buta serta ingin
menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain. Golongan Al-Syu’ubiyah
yang fanatik terhadap bahasa Persi mengatakan :
إ ن ا لله إ ذ ا غضب أ نز ل الو حي با
لعر بية و إ ذا ر ضي أ نز ل ا لو حي با لفا ر سية
“Apabila Allah
murka, maka Dia menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan apabila senang maka
akan menurunkannya dengan bahasa Persi”.
Sebaliknya, orang Arab yang fanatik terhadap bahasanya
mengatakan:
إ ن ا لله إ ذ ا غضب أ نز ل ا لو حي با
لفا ر سية و إ ذ ا ر ضي أنز ل ا لو حي با لعر
بية
“Apabila
Allah murka, menurunkan wahyu dengan bahasa persi dan apabila senang
menurunkannya dengan bahasa Arab”.
4). Mempengaruhi
Kaum Awam Dengan Kisah Dan Nasihat
Adapun contoh riwayat tukang kedustaan para tukang
cerita adalah yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Muhammad ath-Thayalisiy,
katanya : Ahmad ibn Hanbal dan Yahya ibn
Ma’in shalat di mesjid ar-Rashafah. Kemudian ada seorang tukang cerita
dihadapan jamaah berkata : telah meriwayatkan kepada kami Ahmad ibn Hanbal dan Yahya ibn Ma’in,
keduanya berkata : “Telah meriwayatkan kepada kami Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Qatadah dari
Anas, katanya : Rasulullah SAW bersabda:
من قا ل لا إ له إ لا ا لله خلق ا لله
من كل كلمة طا ئر ا منقا ر ه من ذ هب و و ر يشه من
مر جا ن
“Barang siapa
mengucapkan kalimat Allah akan menciptakan seekor burung (sebagai balasan dari
tiap-tiap kalimat) yang paruhnya terdiri dari emas dan bulunya dari marjan”.
5). Senang Kepada
Kebaikan Tanpa Pengetahuan Agama Yang
Cukup
Di antara tujuan mereka membuat hadits
Maudhu’ adalah agar umat cinta kebaikan dan menjauhi kemungkaran,
mencintai akhirat, dan menakut-nakuti dengan azab Allah. Orang-orang yang
membuat hadits palsu mengira bahwa usaha mereka adalah benar dan merupakan
upaya pendekatan diri kepada Allah, serta menjunjung tinggi agama Islam.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
Nuh bin Abi Maryam telah membuat hadits palsu berkenaan dengan fadhilah membaca
surat-surat tertentu dalam Al-Qur’an, karena dia melihat telah banyak orang
yang berpaling dari Al-Qur’an.[9]
6). Perbedaan
pendapat dalam masalah Fiqh atau Ilmu kalam
Perbuatan ini umumnya muncul dari para pengikut suatu
mazhab, baik dalam bidang Fiqh atau ilmu Kalam. Mereka menciptakan hadits-hadits
palsu dalam rangka mendukung atau menguatkan pendapat, Hasil ijtihad dan
pendirian para imam mereka. Diantara hadits-hadits buatan yang mendukung
pendirian mazhab tentang tata cara pelaksanaan ibadah shalat, seperti
mengangkat tangan ketika akan rukuk, menyaringkan bacaan “bismilah” ketika membaca Al-Fatihah
dalam bidang Fiqih. Misalnya Hadits tentang rukuk dalam shalat :
من ر فع يد ه في ا لر كو ع فلا صلا ه
له
“Siapa yang
mengangkat tangannya ketika ruku’, maka tiadalah shalat baginya”
Menurut Adz-Dzahabi seperti yang
dikutip oleh Abdul Majid Khon, pemalsuan hadits ini adalah Ma’mun bin Ahmad.
Masalah mengangkat tangan pada waktu ruku’ atau bangun dari ruku’ atau
perpindahan gerakan shalat bersamaan takbir intiqal memang terjadi khilafiyah
antara mazhab. Ada yang mewajibkannya seperti pendapat Al-Auza’I dan ada yang
menilai seperti kebanyakan ulama.
7). Menjilat Kepada
Penguasa
Ada juga orang-orang yang ingin mendekati para penguasa
dengan membuat hadits palsu yang sesuai dengan keadaan, guna mengharapkan
imbalan dan menyenangkan hati para penguasa. Seperti yang dilakukan oleh
Ghiyats bin Ibrahim kepada khalifah al-Mahdiy yang sedang bermain burung.
Ghiyat menambah kata ا و حا فر pada akhir Hadits yang berbunyi :
لا سبق إ لا في نصل أ و خف أ و حا فر
“Tidak ada
perlombaan kecuali pada anak panah, balapan unta, pacuan kuda. Maka Ghayats
menambahkan, “atau burung merpati”[10]
3.
Karakteristik Kepalsuan Hadits
Pada Sanad
Untuk melakukan klasifikasi hadits Maudhu’ kita dapat melihat pada
sanad Hadits. Adapun karakteristik keapalsuan hadits pada sanad antara lain :
a)
Pengakuan langsung dari pembuat Hadits palsu
itu sendiri, seperti yang diakui oleh oleh Abdul Karim bin Al-Auja, Maysarah
bin Abdi Rabbih Al-Farisi, dan Abu Ishmah. Mereka yang membuat hadits palsu
mengaku telah menyandarkan sanadnya kepada Rasulullah dan mengada-ada hal-hal
yang tidak pernah Nabi sampaikan.
b)
Adanya qarinah (bukti) yang
menunjukkan kebohongannya[11],
misalnya seseorang meriwayatkan dari Syeikh yang ia tidak pernah bertemu
dengannya dan ia menggunakan redaksi yang menunjukkan mendengar secara mantap
atau meriwayatkan dari seseorang guru disuatu negeri yang tidak pernah pergi
kesana, atau dari seorang yang ia sendiri lahir setelah guru itu wafat, atau
guru itu wafat tetapi perawi masih kecil dan tidak mungkin mengambil Hadits
dari guru itu.
c)
Adanya bukti pada keadaan perawi
itu sendiri[12], perawi
yang dikenal sebagai pendusta meriwayatkan hadits seorang diri dan tidak ada
perawi lain yang meriwayatkan, sehingga riwayatnya dikatakan palsu.
4.
Karakteristik Kepalsuan Hadits Pada Matan
Adapun karakteristik hadits Maudhu’ yang dapat
kita pelajari pada matannya ialah sebagai berikut :[13]
a)
Kerancuan pada lafal hadits yang
diriwayatkan, apabila lafaz tersebut dibaca oleh seorang ahli bahasa ia akan
segera mengetahui bahwa hadits tersebut palsu.
b) Rusaknya makna, rusaknya makna karena bertentangan dengan rasio
yang sehat, bahwa hadits itu berasal dari Nabi SAW. Seperti hadits :
من ا تخذ د يكا أ بيض لم يقر به شيطا ن و لا سحر
“Siapa yang mengambil ayam
jantan putih, dia tidak akan didekati (dikenai) oleh setan dan sihir”
c) Bertentangan dengan nash Al-Qur’an, seperti :
و لد ا لز نا لا يد خل ا لجنة إ لى سبعة أ بنا ء
“Anak zina tidak akan masuk ke dalam
surga sampai tujuh keturunan”
Hadits ini bertentangan dengan nash Al-Qur’an QS.
Al-An’am 164 yang menyatakan :
wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 4
Dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain.
d) Hadits yang menyalahi
fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW, seperti hadits yang menjelaskan
bahwa Nabi SAW menetapkan jizyah atas penduduk Khaibar dengan disaksikan oleh
Sa’d ibn Mu’az.
e) Matan hadits
tersebut sejalan atau mendukung mazhab perawinya, sementara perawi tersebut
terkenal sebagai seorang yang sangat fanatik terhadap mazhabnya.
f) Suatu riwayat
mengenai peristiwa besar yang terjadi di hadapan umum yang semestinya
diriwayatkan oleh oleh banyak orang, akan tetapi ternyata hanya diriwayatkan
oleh seorang perawi saja.
g) Hadits yang
menerangkan pahala yang sangat besar terhadap perbuatan kecil dan yang
sederhana. Biasanya hadits-hadits ini terdapat pada cerita-cerita atau
kisah-kisah, seperti :
من قل لا إ له إ لا ا لله خلق ا لله طا ئر ا له سبعو ن أ لف
لسا ن لكل لسا ن سبعو ن أ لف
لغة يستغفر و ن له
Siapa
yang mengucapkan “la ilaha illa Allah”, Allah akan menciptakan seekor burung
yang mempunyai tujuh puluh ribu lidah, dan masing-masing lidah menguasai tujuh
puluh ribu bahasa, yang akan memohonkan ampunan baginya.
C. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat kita tarik sebuah
kesimpulan bahwa :
a)
Hadits maudhu’ adalah
hadits palsu yang bukan dari Rasulullah SAW, tetapi dibuat-buat yang didustakan
atas nama Rasulullah SAW.
b)
Ada dua pendapat tentang sejarah
dan perkembangan hadits Maudhu’ yakni pendapat pertama mengatakan bahwa
hadits Maudhu’ telah ada sejak zaman Rasulullah SAW, pendapat yang kedua
menjelaskan bahwa hadits Maudhu’ muncul ketika kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib.
c)
Hadits maudhu’ muncul
dilatar belakangi oleh beberapa peristiwa, diantaranya :
1)
Faktor politik
2)
Usaha kaum zindiq
3)
Perbedaan ras dan fanatisme suku,
negara dan iman
4)
Para tukang cerita
5)
Senang kepada kebaikan tanpa
adanya pengetahuan agama yang cukup
6)
Perbedaan madzhab dan teologi
7)
Untuk mengetahui kepalsuan hadits,
maka kita dapat melihat karakteristik kepalsuan hadits pada sanad dan matannya.
d)
Karakteristik pada sanad
e)
Karakteristik pada matan
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Jakarta: Renaisan, 2005
Ahmad, Salahuddin al-Adlabi, Metodologi Kritik
Matan Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama
Al-Khatib,
Muhammad Ajjaj, Ushul al Hadits, : Darl Fikr, 1979
Ismail, Syuhudi,
Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Yuslem, Nawir, Ulumul
Hadis, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998
[1]
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits;
Terjemahan, (Jakarta : Penerbit Gaya Media Pratama, 1998), hal. 352
[2] ibid
[3]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta
: Penerbit Mutiara Sumber Widya, 1998), hal. 299
[4]
Suhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Hadits, Telaah
Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, ( Jakarta : Bulan
Bintang, 1998). hal 104
[6] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami
Hadis Nabi, (Jakarta : Renaisan, 2005) hal. 34
[7]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta
: Amzah, 2008). hal. 201
[8]
Munzir Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002).
hal. 182
[9]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, hal.313
[10] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hal. 207
[11] Munzir Suparta, Ilmu Hadits, hal. 189
[12] Abdul Majid Khon, Ulmul Hadits, hal.
211
[13] Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, hal.
318-321
Tidak ada komentar:
Posting Komentar