KAJIAN TENTANG
HADIST SHAHIH DAN HASAN
A.
Pendahuluan
Hadist
merupakan sumber ajaran Islam kedua (secound
source) setelah Al-Qur’an. Ada sekelompok kecil yang meragukanya sebagai
hujjah, namun kuantitas mereka sangat kecil dan kualitasnya sangat rendah, juga
kekeliruan mereka telah dibuktikan oleh ulama hadis.
Berbeda dengan
Al-Qur’an yang keseluruhanya bersifat qath’i al wurud (kepastian
datang dari sumber pertama yaitu Allah) dan kemurnianya telah dijamin Allah
mulai dari awal turunya sampai dunia ini berakhir, baik di dalam hafalan para
hafiz maupun tulisan para khattah. Berbeda dengan kualitas hadis yang bersifat dzani
al-wurud (kepastianya berada antara
positif dan negatif), disamping itu kemurninya juga tidak dijamin Allah SWT.
Sifatnya yang tipikal itu tidak menjamin hadis dapat terhindar dari intervensi-intervensi luar
yang bersifat destruktif, terutama adanya upaya untuk memalsukanya. Dalam
rentan waktu pengkodifikasian hadis yang cukup lama, yakni kurang lebih 200 tahun
semenjak kewafatan Nabi, tak dapat dipungkiri lagi telah banyak keluar
hadis-hadis palsu dengan berbagai motivasi hingga sampai abad ini.
Oleh sebab itu tidak semua hadis yang dapat
diterima karenanya para Ulama membagi hadis-hadis tersebut menjadi dua kelompok
besar, yaitu hadis maqbul (hadis yang diterima) dan hadis mardud
(hadis yang ditolak).
Dalam makalah
ini penulis akan membahas hadis yang maqbul tersebut yaitu hadis sahih
dan hadis hasan.
B.
Pengertian Hadis Shahih
Secara etimologi shahih berasal dari kata صح – يصح – ا لصح / ا لصحة / ا لصحا ح / صحيح yang berarti: ا لبراءة من كل عيب و ريب yang
berarti terhindar dari setiap aib dan keraguan, atau ها ب
المريض ذ yaitu hilangnya
sakit atau خلا ف السقيم yaitu lawan dari sakit[1].
Ini adalah makna hakiki pada jasmani. Sedangkan dalam penggunaan pada hadist
dan makna-makna yang lain ini adalah makna majazi.[2]
Secara terminologi beberapa
ulama mendefenisikan hadis shahih sebagai berikut:
1.
Menurut Nuruddin ‘Itr :
الحديث الصحيح هوالحديث الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل
الضابط الى منتهاه ولايكنون شاذاولامعلا[3]
“Hadis
shahih adalah hadis yang muttasil, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan
dhabith dari rawi yang juga adil dan dhabith sampai akhir sanadnya, dan hadist
itu tidak syaz serta tidak mengandung illat”.
2.
Menurut Ibnu Ash-Shalah :
الحديث الصحيح هوالحديث المسند الذى يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن
العدل الضابط الى منتهاه ولايكنون شاذاولامعلا[4]
“Hadis shahih
adalah musnad yang sanadnya muttasil melalui periwayatan orang yang adil lagi
dhabith dari orang yang adil lagi dhabith pula sampai ujungnya, tidak syaz dan
tidak illat”.
3.
Menurut Imam Nawawiy:
هوما اتصل سنده با لعدول الضابطون من غير شذوذ ولا علة[5]
“hadis shahih adalah hadist
yang muttasil sanadnya melalui (periwayatan) orang-orang yang adil lagi dhabith
tanpa syadz dan illat”.
4.
Menurut Muhammad ‘Ajaj Al Khatib.
هوما اتصل سنده برواية الثقة عن الثقة من اوله الى منتهاه من غير شذوذ
ولا علة[6]
“
Hadis yang muttasil sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqat dari perawi yang
tsiqat pula, sejak awal sampai akhir sanad tanpa syudzuz dan tanpa illat”.
Dari defenisi
hadist shahih di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa hadist shahih itu adalah
hadist yang muttashil, yang diriwayatkan oleh orang yang adil, dhabith,
tidak syadz dan tidak mengandung illat.
C.
Pendalaman Syarat-Syarat Hadis Shahih.
Adapun pendalaman tentang syarat-syarat hadist shahih berdasarkan
pendapat para ulama hadist di atas adalah sebagai berikut:
1.
Sanadnya bersambung
Yang dimaksud
dengan ketersambungan sanad yaitu bahwa setiap rawi hadist yang bersangkutan
benar-benar menerima dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya
sampai kepada pembicara yang pertama.[7]
Jadi, seluruh rangkaian periwayatan dalam sanad, mulai dari periwayatan yang
disandari oleh al-mukharrij (penghimpun riwayat hadist dalam karya tulisnya)
sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadist yang bersangkutan
dari Nabi, bersambung dalam periwayatan.[8] Dengan adanya syarat ini dikecualikan hadist
muqati’, mu’dal, mu’alaq, madallas dan jenis-jenis lain yang tidak memenuhi
kriteria muttashil ini.[9]
Dalam hal
muttasil maka Nabi muhammad SAW pernah bersabda:
تسمعون
ويسمعو منكم ويسمع ممن سمع منكم (روه ابو دود ممن ابن عباس و ابن حاتم الرازى عن
ثابت بن قيس و ابن عا بس)
“Kalian mendengar (hadis dari saya), kemudian dari kalian hadis itu
didengar orang lain dan dari orang lain tersebut hadis yang berasal dari kalian
itu didengar oleh orang lain.” (Hadis
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
al-Raziy dari Stabit bin Qays dan Ibnu Abbas).
Untuk
mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadist menempuh
tata kerja penelitian sebagai berikut:
a.
Mencatat semua nama peeriwayat dalam sanad yang diteliti;
b.
Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat:
1.
Melalui kitab-kitab rijal al hadist, misalnya kitab tahzib
al-tahzib susunan Ibnu Hajar al-Asqalaniy, dan kitab al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy
2.
Dengan maksud mengetahui;
a. Apakah
periwayat yang dikenal dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan
dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlis);
b. Apakah antara
periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan:1. Kesezaman pada
masa hidupnya; dan 2. Guru-murid dalam periwayatan hadist;
c.
Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan
periwayat yang terdekat dalam sanad,
yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasaniy, haddasana, akhbarana,
‘an, anna, atau kata-kata lainya.[10]
Jadi jelaslah
bahwasanya syarat pertama dalam penetapan hadish shahih adalah ketersambungan
sanadnya yaitu bahwa setiap periwayatan hadist yang bersangkutan benar-benar
menerimanya dari periwayat yang ada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai
kepada pembicara yang pertama.
2.
Periwayat bersifat adil
Secara
etimologi adil diartikan sebagai: (1)tidak berat sebelah (tidak memihak), (2)
sepatutnya; tidak sewenang-wenang;[11] Kata adil ini berasal dari bahasa arab yaitu dari kata: عدل- يعدل- عدل - عدول yang artinya:ما قا م في النفوس انه مستقيم sesuatu
yang lurus, atau:ضد الجور lawan
dari curang[12].
Keadilan rawi
merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat, karena keadilan itu
merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya
dari perbuatan maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang merusak harga diri
(muru’ah) seseorang.[13]
Dalam hal keadilan rawi ini,
berbagai ulama ulama telah membahas siapa orang yang dinyatakan bersifat adil.
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Untuk memberikan gambaran betapa
beragamnya pendapat ulama tersebut, berikut ini akan digambarkan pokok-pokok
pendapat ulama dimaksud dalam bentuk ikhtisar. Pendapat-pendapat dalam bentuk
ikhtisar ini akan dibatasi hanya berasal dari lima belas ulama di berbagai
zaman. Dari kelima belas ulama ini, sepuluh diantaranya dikenal sebagai ulama
hadis,disamping juga diantara mereka ini dikenal di bidang ilmu keislaman
tertentu lainya. Kelima orang ulama selebihnya dikenal sebagai ulama ushul
al-fiqh dan atau fiqh, disamping dikenal juga dibidang ilmu keislaman lainya.[14]
Dari penjelasan ikhtisar di
atas dapat kita lihat untuk syarat beragama Islam, baligh dan berakal jumlah
ulama menyebutkan lebih sedikit dari pada tidak menyebutkan . Al Gazali dan Al
Amidi tidak menyebutkan ketiga butir tersebut karena karena mereka menempatkan
ketiganya pada syarat-syarat umum.[15] Jadi ketiga butir ini adalah syarat umum yang harus ada pada syarat periwayat yang
adil .
Lalu syarat taqwa, teguh dalam agama, tidak membuat dosa besar,
menjauhi dosa kecil, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat, tidak berbuat
fasik, dan baik akhlaknya menjadi satu
istilah saja yaitu menjalankan perintah agama[16] .
disebutkan memelihara muru’ah hampir seluruh ulama memberikan isyarat, bahwa
butir tersebut merupakan salah satu syarat yang sangat penting yang harus
dimiliki oleh periwayat yang adil.[17]
Sedangkan sifat biasanya benar dan dapat dipercaya beritanya tidak
perlu secara eksplisit dinyatakan sebagai syarat perawi yang adil. Sebab kedua
butir itu merupakan akibat dari sosok pribadi yang telah memenuhi syarat-syarat
yang terdahulu. Jadi kriteria periwayat yang bersifat adil ialah 1. Beragama
Islam 2. Mukalaf 3. Melaksanakan ketentuan agama 4. Memelihara muru’ah[18]
Untuk mengetahui keadalahan seorang rawi dapat dilakukan oleh para
peneliti sanad sebagai berikut:
1.
Dengan memperhatikan popularitas keutamaan periwayat yang
bersangkutan dikalangan ulama hadis. Dengan kata lain, periwayat yang terkenal
keutamaan pribadinya dibandingkan dengan yang lainya,misalnya Malik ibn Anas dan
Sufyan al-Tsawri yang tidak diragukan lagi ke’adalahanya;
2.
Penilaian dari para kritikus periwayat hadis, yang mana penelitian
tersebut berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
periwayat hadis;
3.
Penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil, yang mana cara ini ditempuh
bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi
periwayat.[19]
Untuk penelitian yang dilakukan pada masa sekarang terhadap
periwayat hadist tidak lagi sesulit apa yang terjadi sebelum disusunya kitab jarh
wa ta’dil yang dapat digunakan sebagai pedoman melakukan tarjih dan ta’dil.
Demikian juga dalam hal para periwayat tersebut telah banyak diteliti ulama,
sebagaimana dapat dilihat dalam kitab rijal al-hadis. [20]
3.
Periwayat bersifat dhabith
Dhabith secara etimolgi berasal dari
kata ضبط – يضبط – ضبا ط و ضبط yang berarti لزوم
الشئ لا يفارقه في كل شئ و ضبط الشئ: حفظه با لحزم tetap pada
sesuatu dan tidak berpisah dengannya dalam kondisi apapun,dhabit terhadap
sesuatu yakni menghafalkanya dengan cermat.[21]
Sedangkan
menurut istilah telah dikemukakan ulama dalam berbagai bentuk keterangan.
Menurut ibnu hajr al-asqalaniy dan al-sakhawiy, yang dinyatakan sebagai orang
dhabith adalah orang yang kuat hafalan tentang apa yang didengarnay dan mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendakinya. [22]
Dr. Muhammad
Ajjaj al-khatib menjelaskan bahwa yang dimaksud dhabit adalah orang yang
benar-benar sadaar ketiika menerima hadits, paham ketika mendengarnya dan
menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikanya. Yakni perawi harus hafal dan
mengerti apa yang diriwayatkanya (apabila ia meriwayatkan dari hafalanya) serta
memahaminya (bila meriwayatkanya secara makna). [23]
Dr. Nuruddin
Itr menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dhabith adalah bahwa rawi hadist yang
bersangkutan dapat menguasai hadistnya dengan baik, baik dalam hafalan yang
kuat maupun dalam kitabnya, kemudian ia mampu meriwayatkanya kembali ketika
meriwayatkannya.[24]
Apabila
berbagai pendapat para ulama digabungkan maka butir-butir sifat dhabith yang
telah disebutkan adalah:
1.
Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya
(diterimanya);
2.
Periwayat itu hafal dengan
baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya);
3.
Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu
dengan baik.
Dhabth ada dua
macam : dabht shadr dan dhabth kitab. Dabht shadr adalah bila
seorang rawi benar-benar hafal hadist yang telah didengarnya dalam dadanya, dan
mampu mengungkapkanya kapan saja. Dabht kitab yaitu bila seorang perawi
“menjaga” hadist yang telah didengarnya dalam bentuk kitab.[25]
Untuk
mengetahui sifat dhabith yang ada pada seseorang perawi tentu tidak mudah
mengetahuinya. Untuk itu tentu ada cara-cara yang dapat mengetahui hal
tersebut. Untuk para ulama mengatakan bahwa untuk menentukan kedhabithan
seorang periwayat adalah dengan cara sebagai berikut:
1.
Berdasarkan kesaksian yang diberikan para ulama yang sezaman dengan
si periwayat. Karena ulama yang sezaman tentu dapat mengetahui bagaimana
keadaan sifat dhabith siperiwayat.
2.
Dengan membandingkan persesuaian riwayat si periwayat dengan
periwayat yang telah dikenal kedhabithanya.
3.
Kemudian diperhatikan apakah siperiwayat sering membuat kekeliruan
atau tidak. Kalau tidak, maka ia masih dapat digolongkan kepada periwayat yang
dhabith, tetapi kalau sering, maka ia tidak dapat digolongkan kepada periwayat
yang dhabith.
4.
Terhindar dari syudzudz
Secara etimologi syaz berasal dari kata: شذ – يشذ – شذوذ عنهyang
berti: انفود عن الجمهور menyendiri dari orang banyak ; ندر jarang, asing, menyalahi aturan [26].
Sedangkan menurut ulama syaz adalah hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang tsiqah, bertentangan dengan rawi yang lebih tsiqah darinya. Dan syaz
itu ada pada sanad yaitu: periwayat yang menyendiri bertentangan dengan periwayat
yang lebih tsiqah darinya. Syaz pada matan adalah periwayat bertentangan dengan
banyak periwayat yang lebih tsiqah dalam penukilan matan dengan adanya ziyadah
(penambahan), nuqshan (pengurangan), iqlab (pemutar balikan), idhtirab
(kegoncangan), atau tasrif (perobahan bentuk kata).[27]
Contoh hadist yang syaz
sebagai berikut:
عن ابى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اذا سجد احد كم
فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يد يه ركبتيه (رواه ابو داود)
“ Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: apabila salah seorang diantara kamu sujud maka janganlah dia duduk
seperti onta, hendaklah meletakan kedua tanganya sebelum kedua lututnya”. (HR. Abu Dawud).
Hadis di atas menjelaskan sujud yang diperintah oleh Nabi SAW. Di dalam hadis tersebut, Nabi
SAW melarang sujud degan cara sama dengan cara onta duduk. Akan tetapi selain
hadist di atas juga ada hadis tentang tata cara sujud yang diriwayatkan oleh Tirmidzi,
yaitu:
عن وائل بن حجر قال:رأيت رسول
الله صلى الله عليه وسلم : اذا سجد يضع ركبتيه قبل يد يه واذا نهض رفع يد يه قبل ركبتيه (رواه الترمذي)
“ Dari Wail ibn Hujr ia berkata: Aku
melihat Rasulullah SAW apabila akan sujud beliau meletakan kedua kedua lututnya
sebelum kedua tanganya, dan apabila bangkit dari sujud beliau mengangkat kedua
tangannya sebelum kedua lututnya.”
(HR.Tirmidzi).
Tata cara sujud Nabi SAW sebagai berikut: meletakan dua lutut
sebelum kedua tanganya, kemudian kedua tanganya inilah yang merupakan cara
sujud yang benar dan tidak terdapat riwayat yang berasal dari perbuatan Nabi
SAW yang berbeda dengan riwayat di atas.[28]
Jadi jelaslah pada hadis pertama terdapat syaz karena apabila seorang meletakan
kedua tangannya sebelum kedua lututnya maka dia duduk justru seperti duduk onta
karena ketika akan duduk onta meletakan kedua tanganya terlebih dahulu.
5.
Terhindar dari ‘illat
Secara etimologi illat berasal dari
kata: عل – يعل – اعتل - علة yang
berarti sakit[29].
Menurut ulama hadis illat itu adalah
“sebab yang samar dan tersembunyi
yang membuat hadis menjadi rusak, walaupun sepintas kelihatan bersih dari cacatسبب غا مض خفي يقدح في الحديث مع ظهور السلامة منه”
Dari defenisi diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa illat yang
dimaksud adalah apabila mencakup dua hal; a). Cacat itu samar dan tidak jelas
dan b). Cacat itu merusak kualitas sebuah hadis. Jadi hadis yang berilat adalah
hadis yang secara zahir tidak bermasalah, namun setelah diteliti dan dicermati
ternyata hadis itu bermasalah. Adapun sebab-sebab tersembunyinya dan samarnya cacat
tersebut boleh jadi disebabkan oleh karena rawi mengirsalkan hadis mausul, atau
mewaqafkan hadis yang marfu’, atau karena keraguan periwayat terhadap apa yang
ia riwayatkan.[30]
D.
Pembagian Hadis Shahih
Hadis shahi terbagi menjadi dua, yaitu: shahih li dzatih dan
shahih li ghairih. Hadis shahi li dzatih adalah hadis shahih yang
memenuhi syarat-syarat secara maksimal.[31]
Hadis sahih
li ghairih adalah hadis hasan li dzatiihbila diriwayatkan melalui
jalan lain (lebih dari satu jalur sanad) yang semisal denganya, atau lebih kuat
darinya. Dinamakan shahih li ghairihi karena karena keshahihannya bukan berasal
dari sanad itu sendiri, melainkan datang dari penggabungan riwayat lain.
Kedudukanya lebih tinggi dari hasan li dzatihi dan dibawah shahih li
dzatihi. [32]
Diantara contoh
hadis sahih lighairihi adalah hadis riwayat Turmidzi melalui jalur Muhammad bin
Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لولا
ان اشق على امتى لأمرتهم بالسواك عندكل صلا ة
“Seandainya tidak memberatkan
umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak setiap kali hendak melaksanakan
salat”
Ibnu Umar
Ash-Shalah menyatakan bahwa Muhammad bin Amr terkenal sebagai orang yang jujur,
tetapi ke-dhabit-annya kurang sempurna sehingga hadis riwayatnya hanya mencapai
tingkat hasan. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukhari melalui jalur Al-‘Araj
dari Abu Hurairah yang hadisnya dinilai sahih. Oleh karena itu, hadis riwayat
Turmidzi tersebut naik menjadi shahih li ghairih.[33]
E.
Pengertian Hadist Hasan
Secara
etimologi hasan berasal dari kata : - يحسن- حسناحسنyang berarti ضد
القبح و نقيض lawan dari
jelek atau
anonimnya.[34]
Secara
terminologi beberap ulama mendefenisikan hadist hasan sebagai berikut:
1.
Al Tirmidziy mengatakan :
كل حديث يروى ولا يكون فى اسناده من يتهم بالكذب ولا يكون الحديث شاذا
ويروى من غيروجه نحو ذلك [35]
“Setiap hadis yang diriwayatkan melalui
sanad yang di dalamnya tidak terdapat periwayat yang dicurigai berdusta,tidak
syaz dan diriwayaatkan melalui sanad yang lain yang sederajat”.
2.
Menurut Ibnu Hajar hadis hasan adalah
خبر الأحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ[36]
“Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna
kedhabithanya, bersambung sanadnya, tidak illat dan tidak syadz.
F.
Pendalaman Syarat-Syarat Hadis Hasan
Dari defenisi
di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa hadist hasan adalah hadistyang memenuhi
syarat-syarat hadist shahih seluruhnya hanya saja semua perawinya atau
sebagianya kedhabithanya lebih sedikit dibandingkan kedhabithan perawi hadis
shahih[37].
Jadi, yang
membedakan antara hadis shahih dan hadis hasan, kita harus mengetahui batasan
dari kedua hadist tersebut. Batasanya adalah keadilan pada hadis hasan
disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatanya, sedangkan pada hadist
shahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatanya. Akan tetapi,
keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai
hujah dan kandunganya dapat dijadikan sebagai penguat.[38]
G.
Jenis- Jenis Hadis Hasan
Hadist hasan
ada dua jenis, yaitu hasan lizatihi dan hasan lighairihi. Hasan lizatihi adalah
karena kehasananya memenuhi syarat-syarat tertentu, bukan karena faktor lain
diluarnya.[39]
Sedangkan hadis
hasan lighairihi adalah hadis yang didalamnya terdapat perawi “mastur” yang
belum tegas kualitasnya, tetapi bukanlah perawi yang pelupa atau sering
melakukan kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan mutham bi al kizb dalam
hadis juga bukan karena sebab lain yang dapat menyebabkanya tergolong fasik
dengan syarat mendapatkan pengukuhan dari perawi lain yang mu’tabar, baik yang
berstatus mutabi’ maupun syahid.[40]
Dengan
demikian, hadist hasan lighairihi mulanya merupakan hadist dhaif yang naik
menjadi hasan karena ada penguat. Jadi dimungkinkan berkkualitas hasan karena
penguat itu. Seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dhaif.[41]
Berikut ini
kami kutipkan contoh hadis hasan li ghairihi dari Jami’ At-Tirmidzi; ia berkata,
حدثنا
علي بن حجرحدثنا حفص بن غياث عن حجاج عن عطية عن بن عمر قال: صليت مع النبي صلى
الله عليه وسلم الظهر فى السفر ركعتين وبعدها ركعتين
“
Meriwayatkan hadis kepada kami, Ali bin Hujr, ia berkata Hajjaj dari ‘Athiyah
dari Ibnu Umar, ia berkat, “aku salat zuhur dua rakaat bersama Rasulullah SAW
dalam suatu perjalanan dan setelah itu shalat dua rakaat lagi”
Abu Isa berkata, ini adalah hadis hasan, ibnu abi laila juga
meriwayatkan dari ‘Athiyah dan Nafi’ dari Ibnu Umar. At-Turmidzi berkata:
Muhammad bin ‘Ubaid Al-Muharibi meriwayatkan hadis kepada kami ia berkata, ‘Ali
bin Hasyim meriwayatkan hadis kepada kami dari Ibnu Abi Laila dari ‘Athiyah dan
Nafi’ dari Ibnu Umar, ia berkata, “aku shalat bersama Rasulullah SAW ketika
tidak berpergian dan ketika dalam perjalanan. Aku shalat Zuhur bersamanya
ketika tidak berpergian empat rakaat dan setelahnya dua rakaat, dan aku shalat
Zuhur bersamanya ketika dalam suatu perjalanan dua rakaat dan setelahnya dua
rakaat. Abu Isa berkata, “ini adalah hadis hasan” Demikian kutipan dari Jami’
al-Turmidzi.[42]
Pada sanad yang
pertama hadis di atas terdapat Hajjaj, yaitu putra Arthah. Ibnu Hajar dalam
Taqrib al-Tahzib menjelaskan tentang Hajjaj:
صدوق
كثير الخطأ والتدليس
“Ia sangat jujur namun banyak salahnya dan tadlisnya”
Pada hadis
tersebut terdapat ‘Athiyyah, yakni putra Sa’ad bin Junadah al-‘Aufi. Ia
sederajat dengan Hajjaj, disamping ia adalah seorang Syi’ah akan tetapi kedua
rawi ini tidak dituduh dusta dan keluar dari jajaran rawi yang diterima
kehadiranya. At-Turmidzi menilai hasan terhadap hadis kedua rawi ini, karena
kedua hadis tersebut juga diriwayatkan melalui sanad lain, sebagaimana kita
lihat. Sanad lain dalam hadis itu adalah Ibnu Abi Laila. Ia adalah seorang faqih
yang agung, namun dari segi daya hafalanya diragukan oleh para muhadditsin. Akan
tetapi hadis di atas menjadi kuat karena diriwayatkan pula melalui sanad lain,
dan karenanya Al-Turmidzi menghukuminya sebagai hadis hasan.[43]
Hadis hasan
dengan kedua jenisnya dapat dijadikan hujjah dan diamalkan sebagaimana hadis shahih meski hadis hasan
memiliki kekuatan dibawah hadist shahih. Oleh karena itu, sebagian ulama
memasukanya kedalam kelompok hadis shahih, antara lain, al hakim, ibnu hibban
dan ibnu khuzaimah, meskipun mereka jelas mengetahui bahwa hadis hasan
mengetahui kekuatan dibawah hadis shahih dengan bukti dimenangkanya hadis
shahih bila terjadi kontradiksi. [44]
H. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan ini, ada beberapa hal yang perlu disimpulkan
diantaranya:
1.
Hadist shahih adalah hadist yang muttasil, yang diriwayatkan oleh
rawi yang adil dan dhabith dari rawi yang juga adil dan dhabith sampai akhir
sanadnya, dan hadist itu tidak syaz serta tidak mengandung illat”.
2.
Hadis shahih terbagi menjadi dua, yaitu: shahih li dzatih
dan shahih li ghairih.
3.
hadist hasan adalah hadist yang memenuhi syarat-syarat hadist
shahih seluruhnya hanya saja semua perawinya atau sebagianya kedhabithanya
lebih sedikit dibandingkan kedhabithan perawi hadis shahih
4.
Hadist hasan ada dua jenis, yaitu hasan lizatihi dan hasan
lighairih
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qathan,
Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Terj.Mifdhol Abdurrahman,Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2005
Ajaj
al-Khatib, Muhammad, Ushul al-Hadist, Beirut:Dar al-Fikr, 1989
Bukhari.
M, Kaedah Keshahihan Matan Hadis, Padang, Penerbit Azka, 2004
Itr,
Nuruddin, Manhaj al-Naqd, Damaskus: Dar al-Fikr, 1998)
Itr,
Nuruddin, ‘Ulum al-Hadist, Terj.Mujiyo,Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,1994
Ismail,
M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Ibnu
Mukarram ibnu Manzur, Muhammad, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Ihya’
al-Turast al-Arab, 1412 H/ 1992 M
Ibnu
Mukarram ibnu Manzur, Muhammad, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Ihya’ al-Turast
al-Arab, 1412 H/ 1992 M
Itr,
Nuruddin, ‘Ulum al-Hadist, Terj.Mujiyo,Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,1994
Mudasir, Ilmu Hadis,Bandung:
Cv Pustaka Setia,2005,h.149-150
Muhammad
‘Ajaj Al Khatib, Ushul Al Hadist, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta:
Gaya Media Pratama,1998
Sutarmadi,
Ahmad Al-Imam Al-Tirmidzi Perananya Dalam Pembangunan Hadis Dan Fiqh,
Ciputat: PT. Lugos Wacana Ilmu,1998
Solihin,
M.Agus dan Agus Suyadi, Ulumul Hadist,Bandung: Pustaka Setia, 2009
W.J.S.Poerwadarminta,
Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1995
Zainimal,
Ulumul Hadis, Padang: The Minangkabau Fondation, 2005
[1] Muhammad ibnu Mukarram ibnu Manzur (Ibnu
Manzur), Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arab, 1412 H/
1992 M),j.7, h.287
[2] Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu
Hadis, Terj.Mifdhol Abdurrahman,(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005),h.117
[3] Nuruddin Itr,Manhaj al-Naqd, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1998),h.242
[4] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadist,
(Beirut:Dar al-Fikr, 1989),h.304
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Nuruddin Itr, ‘Ulum al-Hadist,
Terj.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1994),h.2
[8] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad
Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),h.127
[9] Muhammad ‘Ajaj Al Khatib, Ushul Al Hadist,
Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1998),h.276
[10] Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, op cit,
h. 128
[11] W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1995),H.16
[12]Muhammad ibnu Mukarram ibnu Manzur (Ibnu
Manzur), Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arab, 1412 H/
1992 M),j.9,h.83
[13] Nuruddin Itr, ‘Ulum al-Hadist,
Terj.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1994),h.3
[14]M.Syuhudi Ismail, op cit, h.129
[15] Suyudi Ismael, op cit,h.132
[16] Ibid,h.133
[17] Ibid
[18] Ibid,h.134
[19] Zainimal, Ulumul Hadis, (Padang: The
Minangkabau Fondation, 2005),h. 139-141
[20] Ibid,h.141
[21] Ibnu Manzur, op cit ,j.9,h.16
[22] M.Syuhudi Ismail, op cit,h.135
[23] Muhammad ‘Ajaj Al Khatib,Terj. Qodirun Nur dan
Ahmad Musyafiq , op cit, h.276-277
[24] Nuruddin Itr, Terj.Mujiyo, op cit,
h.3
[25] Manna’ Al-Qathan, Terj.Mifdhol Abdurrahman, op
cit, h.117
[26] Ibnu Manzur, op cit, j.7,h.61
[27] Bukhari. M, Kaedah Keshahihan Matan Hadis,
(Padang, Penerbit Azka, 2004),h.217
[28] Ibid,h.221
[29] Ibnu Manzur, op cit,
juz.9,h.367
[30] Bukhari. M, op cit, h. 255
[31] M Agus Shalihin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, (Bandung:Pustaka Setia, 2009),h.144
[32] Manna’ al-Qathan, terj Mifdhol Abdurrahman,
h.123
[33] Mudasir, Ilmu Hadis,(Bandung: Cv
Pustaka Setia,2005),h.149-150
[34] Ibnu Manzur, op.cit.,j. 3,h.177
[35] Ahmad Sutarmadi, Al-Imam Al-Tirmidzi
Perananya Dalam Pembangunan Hadis Dan Fiqh, (Ciputat: PT. Lugos Wacana
Ilmu,1998), h.94. dikutip dari Al-‘Ilal Karangan Al-Imam Al-Tirmidzi, Jilid
5,h.340
[36] M Agus Shalihin dan Agus Suyadi, op cit,h.146
[37] ‘Ajjaj al-Khatib, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, op cit,h. 299
[38] M.Agus Solihin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadist,(Bandung: Pustaka Setia, 2009),h.146
[39] ‘Ajjaj al-Khatib, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, op cit,h. 300
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Nuruddin Itr, Terj.Mujiyo, op cit,
h.35
[43] Ibid,h.36
[44] ‘Ajjaj al-Khatib, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, op cit,h. 300
Tidak ada komentar:
Posting Komentar