SEJARAH HADIS MASA KODIFIKASI
A. PENDAHULUAN
Pada
awal perkembangan Islam, barang kali banyak hal yang luput dari cacatan sejarah
baik berupa perjalanan individu Muhammad sebagai utusan Allah maupun
perjalanan hidup beliau sebagai salah satu anggota komunitas Quraisy. Hadis,
selain memuat tentang hukum, aturan hidup, moral dan etika, pembenaran yang haq
dan penegasan bagi yang bathil juga mempunyai peran yang sangat besar dalam
menceritakan hal ihwal Muhammad sebagai nabi segaligus sebagai bangsa Arab yang
bertamaddun karenanya.
Bangsa
Arab di mana menjadi tujuan pertama dakwah Nabi
SAW bukanlah tergolong bangsa yang terpelajar, pecinta ilmu, dengan kata lain
mereka tidak terkenal karena kecendikiawanannya. Bahkan jika ditijau dari sudut
yang sama di mana Allah SWT mengutus hambanya (nabi/rasul) sebelum Muhammad SAW
dikarenakan bangsa yang “bermasalah” bukan kaum yang berprestasi. Nabi diutus
di tengah ummat yang mayoritas “Ummi” seperti
dalam firman-Nya:
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ft öNÍkön=tã ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B )الجمعة : ٢)
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah).
dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (QS.62 :2)
Rasulullah
SAW juga pernah menjelaskan dalam sabdanya tentang ketidakmampuan mereka dalam menulis
dan membaca:
“Kami
adalah umat yang buta huruf tidak dapat menulis dan menghitung, satu bulan
adalah begini, dan begini” yakni kadang 29 hari dan terkadang 30 hari.
Namun
demikian sejarah membuktikan bahwa meraka adalah bangsa yang kuat hafalannya, sehingga
menghafal syair-syair dan menguasai silsilah menjadi ciri khas mereka[1],
dan justru hal inilah yang menjadi kekhawatiran akan lenyapnya Hadis seiring
dengan wafatnya para penghafal Hadis-Hadis tersebut, sebaliknya jika dimuat
dalam bentuk tulisan maka akan terus terjaga sebagaimana terjadi sampai saat
ini.
Pembahasan kali ini
menyinggung tentang sejarah kodifikasi atau tadwin Hadis yang merupakan bagian
terpenting dalam mata rantai sejarah dan perkembangan Hadis, bagaimana ide dan
proses terjadinya tadwin Hadis, siapa saja pelaku pentadwinannya dan apa saja
yang dihasilkan dari usaha pentadwinan tersebut, semoga dengan makalah ini
dapat membantu menambah wawasan dan pengetahuan kita, setidaknya mengingatkan
kembali bagi yang telah mempelajarinya.
B.
PEMBAHASAN
1)
Pengertian
Kodifikasi (التدوين ) dan Penulisan (الكتابة)
dan Perbedaan Keduannya
Kodifikasi
berasal dari bahasa Inggris codification yang berarti penyusunan[2]. Secara
terminologi kodifikasi berarti penulisan Hadis berdasarkan perintah kepala negara
yang dilakukan secara resmi dengan melibatkan beberapa personil yang ahli di
bidangnya[3].
Kata tadwin merupakan bentuk mashdar dari دَوّنَ yang mengandung makna menulis atau mencatat[4]
sama seperti halnya كتب menjadi كتابة yang artinya juga menulis[5], Tadwin dari segi istilah
ilmu Hadis memiliki perbedaan yang jelas تدوين mempunyai
makna yang lebih luas dari sekedar menulis atau mencatat, dan perbedaan
tersebut akan terlihat jelas dari beberapa aspek, baik waktu (periode), proses,
ataupun pelaku pentadwinan maupun penulisan tersebut.
Penulisan
Hadis lebih dahulu muncul dari pada tadwin Hadis, dimana penulisan Hadis sudah
dimulai pada masa Rasul SAW, sedangkan masa tadwin Hadis dimulai pada
khalifahan ke-7 dari bani Umayyah.
Meskipun
pembahasan secara rinci tentang penulisan Hadis bukanlah sesuatu yang urgen
dalam pembahasan kali ini namun
sebagai bahan perbandingan perlu dijelaskan bagaimana kedudukan كتابة الحديث dalam ilmu Hadis.
Dalam menerima dan mempelajari Hadis,
para sahabat menggunakan tiga metode, yaitu metode menghafal, metode tulisan
dan metode praktik[6]. Dalam hal ini metode
penulisan secara otomatis menghasilkan Hadis dalam bentuk tulisan (كتابة), ini merupakan salah satu bukti bahwa penulisan Hadis
sudah dimulai saat Rasulullah menyampaikan Hadis (qauliyyah) kepada para
sahabat.
Tadwin
al-Hadis
atau kodifikasi al-Hadis merupakan proses penulisan atau pembukuan Hadis secara
resmi yang diprakarsai oleh penguasa atau pemerintah dalam hal ini adalah
gubernur atau khalifah[7].
pengumpulan al-Hadis. Dalam hal ini tadwin atau bisa diistilahkan dengan
pembukuan Hadis tidak hanya mengumpulkan Hadis Hadis yang telah di catat oleh
para sahabat namun juga dilakukan dengan cara menyalin kembali Hadis-Hadis yang dari catatan yang tidak belum
sempurna/tidak rapi menjadi bentuk yang lebih baik sehingga bisa disatukan
dengan Hadis-Hadis yang lain.
Dalam
perjalanan sejarah transformasi Hadis dari sebuah hafalan di dalam dada para
sahabat dan tabi’in menjadi bentuk cacatan konkrit yang bisa dibaca dan
dipelajari oleh semua orang tidak langsung disetujui oleh para ulama, tercatat
ada beberapa ulama yang menolak penulisan Hadis. Di antaranya adalah : Umar bin Khatab, Ibnu
Mas’ud, Zaid bin tsabit, Abu Musa, Abu Sa’id Al-Khudri[8].
Mereka
menolak penulisan Hadis mempunyai alasan dengan melihat beberapa riwayat
sebagai dasar pelarangan penulisan Hadis,
yaitu :
-
Dari Abu sa’id Al- Khudri Radhiyallahu
‘anhu
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم : " لا تكتبو عني، ومن كتب عنيّ
غير القرآن فليمحه"
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ Janganlah menulis
daripadaku, barang siapa menulis daripadaku selain Al-Qur’an maka lenyapkanlah,
(Hadis ini merupakan alasan yang paling kuat dalam pandangan pelarangan
tersebut) akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka (HR Muslim)
-
وعن أبي هريرة أنه قال : خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نكتب
الأحاديث فقال
" ماهذا الذي تكتبون؟ " قلنا أحاديث نسمعها منك. قال "كتاب
غير كتاب الله؟ أتدرون ؟ ما ضلّ الأمم قبلكم إلا بما اكتتبو من الكتب مع كتاب الله
تعال
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah SAW datang kepada kami sedangkan kami menulis Hadis, lalu beliau
bersabda, “ Apa yang kalian tulis?” kami menjawab, “Hadis-Hadis yang kami
dengar dari engkau” Beliau berkata,” Apakah kalian menghendaki kitab selain
Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis
dari kitab-kitab selain Kitabullah”[9]
Apa
yang tertulis diatas merupakan hal yang harus ditinjau dan dikaji latar
belakangnya sehingga Hadis bisa dibukukan seperti sekarang. Sebagian kelompok
lagi berpendapat bahwa nabi tidak melarang penulisan Hadis, mereka di antaranya
: Ali bin Abu Thalib, Hasan bin Ali, Anas bin Malik, Abdullah bin Amru bin Ash[10].
Adapun alasan “Ibahahnya”
terhadap penulisan Hadis, yaitu [11]:
-
Dari Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu
‘anhu berkata, “Aku menulis segala sesuatu yang aku dengardari Rasulullah,
dengan maksud ingin menghafalnya, lalu kaum Quraisy melarangku, dan mereka
mengatakan, ‘Apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari
Rasulullah, sedangkan Rasulullah manusia biasa yang bicara di saat marah dan
gembira?’ maka aku menahan dan berhenti menulis, lalu aku sampaikan kepada Rasulullah,
kemudian beliau menunjuk pada mulut dengan jarinya dan bersabda, “ Tulislah,
demi jiwaku di tangan-Nya tiada sesuatu apapun yang keluar darinya melainkan
yang hak dan benar”
-
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata ”tiada
seorangpun dari sahabat rasulullah yang lebih banyak Hadisnya dariku kecuali
Abdullah bin Amru (bin Ash) karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis”
(HR Bukhari)
-
Dalam Ash-Shahihain disebutkan bahwa ketika
Allah membukakan kota Makkah untuk Rasul-Nya, Rasulullah sallallahu’alaihi
wasallam berdiri dan berkhutbah, lalu berdiri Abu Syah-penduduk yaman dan
berkata,”wahai Rasulullah tulislah untukku” maka beliau bersabda, “tulislah
untuk Abu Syah”
-
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu
berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam, “ikatlah ilmu dengan buku”
Kedua pendapat ini mempunyai alasan untuk melarang
dan membolehkan penulisan Hadis, namun bagaimana Hadis sampai tertulis dan bisa
dibaca seperti sekarang ini. Para ulama telah mengambil jalan tengah agar
perbedaan ini tidak berlarut, dengan
melihat beberapa pertimbangan dalam pelarangan adalah [12]:
-
Larangan penulisan terjadi pada awal
masa perkembangan islam dikhawatirkan terjadi percampuran dan penggabungan
antara Hadis Nabi dan Al-Qur’an
-
Larangan hanya khusus pada penulisan Hadis
bersamaan dengan Al-Qur’an dalam satu lembar atau shahifah, karena khawatir
akan terjadinya kemiripan atau persamaan
-
Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya, karena
dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan
hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghafalnya seperti Abu Syah
Dalam sumber yang
lain disebutkan beberapa alasan pada masalah yang sama berupa kesepakatan untuk
menerima penulisan Hadis, yaitu [13]:
-
Hadis Abu said Al-khudri dinyatakan “mauquf”
sehingga tidak bisa dijadikan bahan hujjah untuk melarang penulisan Hadis.
-
Pelarangan Hadis berlaku pada saat
bersamaan dengan turunnya wahyu sehingga dikhawatirkan sulitnya memilah antara
wahyu dan Hadis
-
Hakekat larangan nabi ditujukan kepada
sahabat yang kebanyakan mempunyai daya hafal yang kuat dan tidak diberlakukan kepada
yang lemah ingatannya namun mempunyai kemampuan menulis seperti Abu Syah
-
Ulama berijtihad bahwa larangan
tersebut bersifat umum dan bagi yang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam
tulisannya dan yakin tidak akan salah pada penulisannya.
Walaupun kesimpulan
tersebut seperti memihak kepada ulama yang sepakat untuk menulis Hadis namun
demikian itulah jalan terbaik, dengan alasan yang sangat kuat yaitu kalaulah tidak
dibukukan dalam bentuk tulisan tentu Hadis itu akan lenyap pada masa-masa berikutnya,
itu menurut Ibnu As-Shalah dan alasan ini juga yang mendorong pembukuan Hadis
pada pertengahan masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.
Dan yang harus dijadikan cacatan dalam
hal ini adalah perbedaan pendapat tersebut hanya terjadi pada masa awal saja,
kemudian ijma’ kaum muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut sehingga
tidak ada lagi perdebatan diperbolehkan atau tidaknya pembukuan Hadis di zaman
setelahnya[14] .
2)
Sejarah Hadis Masa Kodifikasi
a. Latar belakang
Ide Pengkodifikasian Hadis
Tidak seperti halnya pembukuan
Al-Qur’an, Hadist tidak dihimpun pada zaman khulafa’urrasyidin. Namun ide pengumpulan
sunnah tersebut sudah dimulai sejak zaman Umar bin Khattab, namun beliau sangat
hati hati dengan hal tersebut, khawatir orang-orang akan sibuk dengan Hadis dan
mengabaikan Al-Qur’an[15]
Proses kodifikasi Hadis atau tadwiin
al-Hadis secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini
adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99 – 101 H =
717-720 M[16]). dimana pembukuan Hadis
ini terjadi pada akhir tahun 100H atas perintahnya.
Beliau
merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaharaan
sunnah. Ada beberapa hal yang melatar belakangi Pembukuan Hadis[17]:
1. Tidak
adanya larangan dalam pembukuan Hadis, sedangkan Al-Quran telah dihafal oleh
ribuan orang dan telah dikumpulkan dan dibukukan pada masa Usman, sehingga
dapat dibedakan secara jelas antara keduanya.
2. Khawatir
akan hilangnya Hadis, karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab
semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar di beberapa penjuru negeri
islam setelah terjadinya perluasan wilayah kekuasaannya.
3. Munculnya
pemalsuan Hadis, perpecahan dikalangan ummat Islam di waktu itu memang tidak secara
Aqidah, namun secara politik sosial dan pemikiran benar benar membuat kekacauan
yang parah, dan menjadi luka sejarah hingga akhir zaman, Hadis menjadi perisai
untuk membela kelompoknya dan senjata menghujat kelompok yang lain yang tidak
sepaham dengan mereka, merupakan dalam hal ini pengikut ali (Syi’ah), pengikut
Mu’awiyah dan kelompok yang tidak memihak kepada keduanya (Khawarij) menjadi
pemeran utamanya. Masing-masing berusaha memperkuat mazhabnya dengan
menakwilkan Al-Qur’an bukan dalam makna sebenarnya, atau membuat nash-nash Hadis
dan dan menyandarkan nama rasulullah di balik kepentingan mereka masing masing.
M
M. Azami dalam bukunya ‘Studies In Early Hadith Literature’ yang
diterjemahkan oleh Ali Musthafa Yaqub dengan judul ‘Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya’, telah menguraikan secara rinci dalam bab tersendiri tentang
kegiatan penulisan al-Hadis mulai dari masa Rasulullah saw hingga pertengahan
abad ke dua Hijriyah. Bahwa telah terjadi transfer informasi atas riwayat Hadis
dari generasi ke generasi mulai dari masa sahabat hingga masa tabi’in
kecil dan tabi’ tabi’in tidak saja dalam bentuk lisan tetapi juga dalam
bentuk tulisan. Misalnya saja catatan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang
terkenal dengan al-Shahifah al Shadiqah telah ditransferkan kepada
muridnya Abu Subrah. Shahifah tersebut juga sampai ke tangan cucunya Syu’aib
bin Muhammad bin Abdullah bin Amr. Dari tangan Syu’aib ini berlanjut ke tangan
putra dari Syu’aib bin Muhammad atau cicit dari Abdullah bin Amr yaitu Amr bin
Syu’aib.
Pada
masa tadwin ini penulisan Hadis belum tersistimatika sebagaimana kitab-kitab Hadis
yang ada saat ini tetapi, hanya sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami’
dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadis atas
dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadis yang
disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab Hadis yang memuat hanya Hadis-Hadis
shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa ta’dil
telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Isma’il al-Bukhari.
b. Upaya dan
Hasil yang dicapai
Upaya
pengumpulan Hadis pertama kali pernah dilakukan oleh Abdul Aziz bin Marwan,
dalam usaha pembukuan Hadis beliau mengirim surat kepada katsir bin Murrah
Al-Hadhramy, adapun isi suratnya seperti berikut:
اكتب عنّي بما سمعت من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من أحاديثهم إلا
حديث ابي هريرة فإنه عندنا[18]
Tulislah
untukku apa yang telah kamu dengar dari Hadis-Hadis para shahabat Rasulullah
SAW selain Hadis Abu Hurairah, karna ia bagian dari kita.
Namun
secara massal dan kolektif upaya ini baru dilaksanakan oleh Umar Bin Abdul Aziz.
Sebagai upaya konkrit beliau yang bertindak sepebagai pemberi perintah dalam “menyelamatkan”
Hadis dari bencana kepunahan adalah dengan mengeluarkan surat perintah ke
seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadis menuliskan dan
membukukannya supaya tidak ada Hadis yang akan hilang pada masa
sesudahnya. Abu Na’im menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa
Khalifa Umar bin Abd al-Aziz mengrimkan pesan “perhatikan Hadis Nabi dan
Kumpulkan[19]”.
Pada masa inilah Khalifah
menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, gubernur madinah (w.
117 H) untuk mengumpulkan Hadis-Hadis yang ada pada ‘Amrah binti Abd
al-Rahman bin Sa’d bin Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq
Pengumpulan
al-Hadis khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh
Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm.
Surat yang dikirimkan
kepada Abu bakar Muhammad bin Amru bin Hazm (Gubernur Madinah). Yang isinya
sebagai berikut
أنظر إلى حديث رسول الله صلى الله عليه وسلّم
فاكتبوه فإني خفت دروس العلم وذهاب العلماء ولا تقبلو إلا حديث النبۑّ صلىّ الله
عليه وسلّم[20] (رواه بخارى)
“Perhatikanlah
apa yang ada pada Hadis-Hadis Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir
akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau
terima selain Hadis Nabi SAW” .
Dalam sebuah riwayat
ditambahkan:
“dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan
majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak
mengetahuinya dapat mengetahuinyya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan[21]”
Dilihat dari isi surat tersebut mengandung maksud
untuk melaksanakan proses pembukuan, majelis-majelis atau kelompok pengkajian
sejarah secara diam-diam dan tidak terbuka kepada umum, kendati demikian ajaran
dari Hadis diharap untuk bisa diamalkan oleh seluruh Umat.
Selain itu Umar
bin Abdul Aziz juga memerintahkan imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri
(15- 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri untuk melakukan hal
yang sama[22]. Dengan
usaha yang dilakukannya menjadi permulaan bagi pembukuan secara menyeluruh
meskipun belum sistematis.
Beliau
juga mengirim surat kepada katsir bin Murrah Al-Hadhramy, adapun isi suratnya
seperti berikut:
اكتب عليّ بما سمعت من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من أحاديثهم إلا
حديث ابي هريرة فإنه عندنا[23]
Tulislah
untukku apa yang telah kamu dengar dari Hadis-Hadis para shahabat Rasulullah
SAW selain Hadis Abu Hurairah, karna ia bagian dari kita.
Dengan mengirimkan surat berupa
perintah untuk mengumpulkan atau membukukan Hadis seperti yang dilakukannya
kepada beberapa pejabatnya. Disamping upaya pembukuan juga dilakukan penyeleksian Hadis-Hadis maqbul
dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.
c. Perkembangan
Usaha Pembukuan Hadis
Setelah Az-zuhri, maka muncullah penerus pembukuan Hadis secara lebih
sistematis dalam kurun yang waktu yang bersmaan, Menurut Ibnu Hajar mereka
adalah : Ar-rabi’ Bin Shubaih (w 160 H) dan Said bin Abi Arubah (w 156 H),
Zakaria Al- Anshari dalam kitab karya Al-Iraqi, شرح كتاب الفية المصطلة mengatakan, “Orang yang pertama menyusun secara muthlak adalah
Ibu Juraij dari mekah, Malik dan Ibnu Abi Dzi’b di Madinah, Al-Auza’I di Syam, Ats-Tsauri
di Khufah, Said bin Abi Arubah dan Arabi’ bin Shubaih dan Hamad bin Shalamah di
Basrah, Ma’mar bin Rasyid dan Khalis bin Jamil di Yaman, Ibnu Al-Mubarak di
Khurasan[24].
As-Suyuti menjelaskan beberapa
cabang ilmu Hadis juga berkembang pada masa kodifikasi ini, di antaranya membahas
tentang perawi dan yang diriwayatkanya ditinjau dari segi diterima atau
ditolaknya periwayatannya tersebut ini terjadi pada awal bad kedua seiring
dengan berkembangnya ilmu matan Hadis, perintah Umar bin Abdul Aziz menyebar dibeberapa
daerah penting dalam lingkup kekuasaan Islam pada saat itu, di antaranya :
Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Yaman dan Hurasan[25].
Sehingga dari rentang waktu hampir delapan abad (405 H- 1182 H) terdapat banyak
buku-buku tentang Hadis baik dalam disiplin Hadis secara langsung maupun mengambil
“pecahan” dari Hadis tersebut, di antaranya[26]
:
-
Al-Hakim Abu Abdillah An Naisabury (w 405 H) bukunya :
معرفة علوم الحديث
-
Al-Khatib
Al-Baghdady (w 463 H) : bukunya : كفاية فى قوانين الرواية dan الجامع الآدب الشيخ والسامع
-
Al-Khadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahshaby (w 544 H)
bukunyaالإلماع فى ضبط الرواية وتقييد الأسماع
-
Abdul Rahman As- Syahrazury (w 643 H) bukunya علوم الحديث
-
Al-hafiz Al-Baqilayni (w 805
H) bukunya محاسن الإصطلاح و تضمين كتاب ابن صلاح
-
Az- Zainul Iraqy (w 806 H) bukunya نظم الدرر فى علم الأثر
-
Al-Muqaddasy
(w 851 H) bukunya تذنيب في الزائد على التقريب
-
Burhanuddin
Umar bin Ibrahim Al baqa’I (w 885 H) bukunya النكت وفية
بما فى شرح الألفية
-
As-Sakhawi
(w 902 H) bukunya فتح المغيث فى شرح ألفية الحديث
-
Zakaria
Al-Anshari (w 928 H) الفتح الباقي بشرح ألفية العراقي
-
Stamrat
An Nazr (w 1182 H) توضيح الأفكار
-
dll
Selanjutnya secara terperinci dijelaskan perkembangan pembukuan Hadis
telah melahirkan berbagai kumpulan kitab Hadis dan kitab tentang ilmu Hadis,
dalam prosesnya beberapa buku justru dihasilkan tidak dengan cara atau
metode yang sama, ada 12 metode yang di
gunakan ulama Hadis yaitu[27]:
Metode Pertama
: Metode Masanid
Masanid merupakan bentuk
jama’ dari sanad[28],
berupa musnad-musnad terkenal:
1. Musnad Abu
Dawud Sulaiman bin Dawud At-Thayalisi (w 204 H)
2. Musnad Abu
Bakar Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (w 219 H)
3. Musnad Imam
Ahmad bin Hanbal (w 241 H)
4. Musnad Abu
bakar Ahmadbin Amru Al-Bazzar (w 292 H)
5. Musnad Abu
Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mutsanna Al-Mushili (w 307 H)
Metode Kedua: Al-Ma’ajim
Al-Ma’ajim adalah jama’ dari mu’jam. Adapun menurut
istilah para Hadis adalah : Buku yang berisi kumpulan Hadis-Hadis yang
berurutan berdasarkan nama-nama sahabat, atau guru-guru penyusun, atau negeri,
sesuai dengan huruf hijaiyah, adapun kitab-kitab mu’jam yang terkenal antara
lain:
1.
Al-Mu’jam Al-kabir, karya Abul
Qasim Sulaiman At-Thabarani (w 360 H)
2.
Al-Mu’jam Al-Washat, At-Thabarani
3.
Al-Mu’jam As-Shaghir, At-Thabarani
4.
Mu’jam Al-buldan, Karya Abu
Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mushili (w 307 H)
Metode Ketiga :
Pengumpulan Hadis berdasarkan semua bab (Jawami’). Al-Jawami’ jama’ dari jami’. Menurut ilmu Hadis
adalah apa yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua
pembahasa agama (mencakup iman, thaharah, ibadah, mu’amalat, pernikahan, sirah,
riwayat, hidup, tafsir, adab penyucian jiwa, fitnah dal lain-lain). Kitab-kitab
jami’ yang terkenal adalah :
1.
Al-Jami’ Asshahih karya Imam bukhari (w 256 H)
2.
Al-Jami’ Asshahih karya Imam Imam Husain Muslim (w 261
H)
3.
Al-Jami’ Asshahih karya Imam At-Tirmidzi (w 279 H)
Metode Keempat :
Penulisan Hadis Berdasarkan Pembahasan Fiqih
Karya terkenal untuk
metode ini:
1.
As-Sunan yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan
bab-bab tentang fiqih dan hanya memuat Hadis yang marfu’ saja sebagai sumber hukum
bagi fuqaha’, Kitab-kitab As-Sunan yang terkenal Adalah:
a.
Sunan Abi Dawud (w 275 H)
b.
Sunan An-Nasa’I (w 303 H)
c.
Sunan Ibnu Majah (w 275 H)
d.
Sunan As-Syafi’I (w 204 H)
e.
Sunan Ad-Darimi (w 255 H)
f.
Sunan Ad-Daruquthni (w 385 H)
g.
Sunan Al-Baihaqi (w 458 H)
2.
Al-Mushannafat, yaitu kitab yang disusun berdasarkan
urutan tentang fiqih yang meliputi marfu’mauquf, maqhtu’. Kitab-kitab
Al-Mushannafat antara lain:
a.
Al-Mushannaf, karya Abu Bakar Abdurrazzaq bin Hammam
Ash-Shan’ani ( w 211 H)
b.
Al-Mushannaf, karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad
Bin Abi Syaibah Al-Khufi ( w 235 H)
c.
Al-Mushannaf, karya Baqiyy bin Makhlad Al-Qurthubi (w
385 H)
3.
Al-Muwaththa’at, dari segi istilah Al-Muwaththa’at
sama dengan Al-Mushannaf, karya yang terkenal dalam bagian ini adalah :
a.
Al-Muwaththa’, karya Imam Malik (w 179 H)
b.
Al-Muwaththa’, karya Ibnu Abi Dzi’b Muhammad bin
Abdurrahman Al-Madani (w 158 H)
c.
Al-Muwaththa’, Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad
Al-Marwazi (293)
Metode Kelima :
Kitab-kitab Yang Penyusunnya Menyatakan Komitmen Hanya Menuliskan Hadis-Hadis
yang shahih,
Beberapa kitab
terkenal di antaranya : Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Al- Muwaththa, Karya Imam Malik, dan Al-Mustadrak karya
Al-Hakim, sahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban (kedua terakhir disusun
menurut kriteria shahih oleh penulisnya)
Metode Keenam : Karya
Tematik
Penyusunan dengan metode
ini terbatas dengan tema tertentu, di antaranya :
1.
الترغيب و الترهيب (Hadis tentang Motivasi
dan ancaman), contoh karya dalam kategori ini :
a.
الترغيب و الترهيب karya Zakiyudin Abdul
Azhim bin Abdil Qawiy Al-Mundziri (w 656 H)
b.
الترغيب و الترهيب karya Abi Hafsh Umar bin
Ahmad, dikenal dengan nama Syahin (w 385)
2.
Buku tentang Kezuhudan, fadhilah amal, adab, akhlak,
antara lain:
a.
كتاب الزهد karya imam Ahmad bin Hanbal (w 241 H)
b.
كتاب الزهد karya Abdullah bin Al-Mubarak (w 181H)
c.
كتاب اخلاق النبي karya Abi Syaikh Abi
Muhammad bin Muhammad Al-Ashbahani (w 369 H)
d.
كتاب رياض الصالحين من كلام سيد المرسلين
karya Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-nawawi (w 676H)
Metode Ketujuh : Kumpulan Hadis Hukum Fiqih (كتب الأحكام)
Buku-buku yang memuat
masalah ini antara lain:
1.
الأحكام,
karya Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al-Maqdisi (w 600 H)
2.
عمدة الأحكام
عن سيد الأنام, Karya Al-Maqdisi
3.
الإمام فى
حديث الأحكام, karya Ibnu Daqiq Al-‘Ied (w 702
H)
4.
الإمام فى
أحاديث الأحكام, karya Ibnu Daqiq Al-‘Ied
5.
المنتقى فى
الأحكام, karya Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah Al-
harrani (w 652 H)
6.
بلوغ المرام
من ادلةالأحكام, karya Al-Hafizh Ahmad bin Aki
bin Hajar Al-Asqalani (w 852 H)
Metode Kedelapan :
Merangkaikan Al-Majami’
Al-Majami’ jamak dari
Majma’ yaitu setiap kitab yang berisi kumpulan beberapa mushannaf dan disusun
berdasarkan urutan mushannaf yang telah dikumpulkan tersebut. Majami’ yang
terkenal diantaranya:
1.
جامع الأصول
من أحاديث الرسول, karya Ibnu Al-Atsir
2.
مجمع الزوائد
و مبدء الفوائد,
karya Al Hafizh Ali Abu Bakar Al-Haistami (w 807 H)
3.
جامع الفوائد من جامع الأصول ومجمع الزوائد, karya
Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman Al-Maghribi (w 1094 H)
Metode Kesembilan :
Al-Ajza’
Al-Ajza’ jama’ dari
juz, yaitu kumpulan riwayat seorang perawi atau yang berkaitan dengan satu permasalahan secara terperinci,
seperti
1.
جزوع ما رواه ابو حنيفة عن الصحابة karya At- Thabari
2.
جزوع رفع اليدين فى الصلاة karya Al-Bukhari
Metode Kesepuluh :
Al-Athraf
Yaitu setiap kitab
yang hanya menyebutkan bagian Hadis yang dapat menunjukkan lanjutan Hadis yang
dimaksud, kemudian mengumpulkan seluruh sanad, baik dari sanad satu kitab
maupun sanad beberapa kitab. Kitab-kitab yang terkenal:
1.
أطراف الصحيحين karya Muhammad Khalaf bin Muhammad Al-Wasithi (w 401 H)
2.
الاشراف على معرفة الأطراف atau أطراف السنن الأربعة karya Ibnu Asakir (w 571 H)
3.
تحفة الأشراف بمعرفة الأطراف atau أطراف الكتب الستة karya Al-Hafiz Abul Hajjaj yusuf bin Abdurrahman
Al-Mizzi (w 742 H)
4.
إطحاف المهارة بأطراف الشرح karya Ali Ibnu Hajar Al-Asqalani (852)
5.
أطراف المساند الأشارة karya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Buwaishiri (w 840 H)
6.
ذخائر المواريث فى الدلالة على مواضع الحديث karya Abdul
Ghani An-Nabulsi (w 1143)
Metode Kesebelas :
Kumpulan Hadis Yang Masyhur diucapkan di Lisan atau Tematik
Kitab-kitab yang
terkenal dalam hal ini antara lain:
1.
اللعالع
المنثورة فى الحديث المشتهرة من ما ألفه الطبع و ليس له أصل فى الشرع karya Ibnu hajar
Al-Asqalani
2.
المقاصد
الحسنة فى بيان كثير من الأحاديث المشتهرة على الألسنة karya Muhammad bin Abdurrahman As-Sakhawi (w 911
H)
3.
الدرر
المنتثرة فى الأحاديث المشتهرة karya As-Suyuthi (w 911 H)
4.
تمييز الطيمب
من الخبيث فيما يضرّ على ألسنة الناس من الحديث karya Abdurrahman bin Ali As-Syaibani (w 944 H)
5.
dll
Metode Keduabelas :
Az-Zawa’id
Az-Zawaid adalah karya
yang berisi kumpulan Hadis-Hadis tambahan terhadap Hadis yang ada pada
bagian-kitab-kitab lain. Buku-buku terkenal dalam bidang ini antara lain:
1.
مصباح الزجاجة فى زوائد إبن مجاح karya Abu Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Bushairi (w
84 H)
2.
إتحاف السعادة المهارة الخيرة بزوائد المساند
العشرة karya Al-Bushairi
3.
المطالب العالية بزوائد المساند الثمانية karya Al-Asqalani
4.
مجمع الزوائد ومنبأ الفوائد karya Al-Haitsami
C.
PENUTUP
1)
Kesimpulan
a. Proses
kodifikasi Hadis adalah proses pembukuan Hadis yang secara resmi yang
dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata
kegiatan penulisan Hadis, karena kegiatan penulisan Hadis secara
berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih hidup.
b. Tentang
adanya larangan penulisan Hadis hal ini patut dimaknai larangan secara khusus
yaitu menuliskan Hadis bersama al-Qur’an dalam satu tempat sehingga
dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadis
sehingga mengesampingkan al-Qur’an sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan
penulisan Hadis itu dibolehkan dan sesuai dengan kesepakatan ulama.
c. Beberapa
hasil yang telah tercapai pada periode modifikasi dapat dilihat dari banyaknya
buku Hadis dan ilmu Hadis oleh masing-masing pengarangnya.
d. Metode
pembukuan Hadis merupakan jalan mudah bagi para ulama’ untuk menyusun pembukuan
Hadisnya secara sistemats sesuai kriteria
yang diinginkan penulis atau penyusun. Sehingga menghasilkan beberapa
karya dengan beberapa klasifikasi.
e. Periodesasi Hadis dapat dikelompokkan
menjadi 7 periode:
1) Masa rasulullah
2) Masa khulafa’ Ar-Rasyidin (11 H – 40
H)
3) Masa sahabat kecil dan tabi’in
4) Perkembangan Hadis pada abad II dan
III Hijriah
5) Masa mentashihkan hadis dan
menyusun kaidah-kaidah
6) Perkembangan Hadis dari abad IV hingga
tahun 656
7) Perkembangan Hadis dari tahun 656
Hijriah sampai sekarang
Tentunya
tiap-tiap periode memiliki momen sejarah masing-masing.
[2]
John M. Echols dan Hassan Shadly, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta,
Gramedia, 1992) hal 122
[3]
Munzir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993) hal
74
[4]
A.W. Munawwir, kamus Al-munawwir Arab-Indonesia (Surabaya; Pustaka
progresif, 1997) hal 435
[5] Ibid hal 1187
[6]
MM. Azami, Terjemah: Memahami Ilmu Hadis Telaah Metodologi dan
literatur hadis (Lentera,1993) hal 17
[7] M.
Al-Zuhri, Hadis Nabi; Sejarah dan Metodologinya, (Yogyakarta, Tiara
Wacana,1997) hal 51
[8]
Syaih Manna’ Qaththan, terjemah:
مباحث فۑ علوم الحديث , (Jakarta, Pustaka Alkautsar,
2006) hal 48
[11] Ibid
[12] Ibid
hal 51
[13] Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Op Cit hal 98-99
[14]
Manna’ Qaththan Opcit hal 50
[15]
Hakim ‘Abisan Al-mathiry تاريخ تدوين السنة و شبهات المستشرقين (Kuwait, لجنة تأليف والتعريب والنشر,٢٠٠٢) hal
50
[16]
A. Latif Osman Ringkasan Sejarah Islam (Jakarta, Wijaya, 1983) hal 93
[17]
Manna’ Qatthan Lok Cit hal 51
[18]
Hakim ‘abisan Al-mathiry Lok cit, hal 52
[19] Ibid
Hal 52
[21]
M. Agus Shalahuddin, Agus Suyadi, Ulumul hadis,(Bandung, Pustaka Setia,
2009)
[22]
Dalam 20 tahun az Zuhri mengumpulkan 2.000 Hadis
[23]
Hakim ‘abisan Al-mathiry Lok cit, hal 52
[24]
Manna’ Qaththan Lok cit, hal 53
[25]Jalaluddin
As-Suyuty, علم أصول الحديث تدريب الراوى فى شرح تقريب
النواوى (Madinah, المكتبة العلمية,
1972) hal 4
[26] Ibid
hal 6-8
[27]Manna’
Qaththan Op cit Ibid, hal 54-65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar