Senin, 05 Mei 2014

SEJARAH HADIS MASA KODIFIKASI


SEJARAH HADIS MASA KODIFIKASI


A.       PENDAHULUAN
Pada awal perkembangan Islam, barang kali banyak hal yang luput dari cacatan sejarah baik berupa perjalanan individu Muhammad sebagai utusan Allah maupun perjalanan hidup beliau sebagai salah satu anggota komunitas Quraisy. Hadis, selain memuat tentang hukum, aturan hidup, moral dan etika, pembenaran yang haq dan penegasan bagi yang bathil juga mempunyai peran yang sangat besar dalam menceritakan hal ihwal Muhammad sebagai nabi segaligus sebagai bangsa Arab yang bertamaddun karenanya.
Bangsa Arab di mana menjadi tujuan pertama dakwah Nabi  SAW bukanlah tergolong bangsa yang  terpelajar, pecinta ilmu, dengan kata lain mereka tidak terkenal karena kecendikiawanannya. Bahkan jika ditijau dari sudut yang sama di mana Allah SWT mengutus hambanya (nabi/rasul) sebelum Muhammad SAW dikarenakan bangsa yang “bermasalah” bukan kaum yang berprestasi. Nabi diutus di tengah  ummat yang mayoritas “Ummi” seperti dalam firman-Nya:
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B   )الجمعة : ٢)
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (QS.62 :2)

Rasulullah SAW juga pernah menjelaskan dalam sabdanya tentang ketidakmampuan mereka dalam menulis dan membaca:
 “Kami adalah umat yang buta huruf tidak dapat menulis dan menghitung, satu bulan adalah begini, dan begini”  yakni kadang 29 hari dan terkadang 30 hari.

Namun demikian sejarah membuktikan bahwa meraka adalah bangsa yang kuat hafalannya, sehingga menghafal syair-syair dan menguasai silsilah menjadi ciri khas mereka[1], dan justru hal inilah yang menjadi kekhawatiran akan lenyapnya Hadis seiring dengan wafatnya para penghafal Hadis-Hadis tersebut, sebaliknya jika dimuat dalam bentuk tulisan maka akan terus terjaga sebagaimana terjadi sampai saat ini.
Pembahasan kali ini menyinggung tentang sejarah kodifikasi atau tadwin Hadis yang merupakan bagian terpenting dalam mata rantai sejarah dan perkembangan Hadis, bagaimana ide dan proses terjadinya tadwin Hadis, siapa saja pelaku pentadwinannya dan apa saja yang dihasilkan dari usaha pentadwinan tersebut, semoga dengan makalah ini dapat membantu menambah wawasan dan pengetahuan kita, setidaknya mengingatkan kembali bagi yang telah mempelajarinya.

B.        PEMBAHASAN
1)        Pengertian Kodifikasi (التدوين ) dan Penulisan (الكتابة) dan Perbedaan Keduannya
Kodifikasi berasal dari bahasa Inggris codification yang berarti penyusunan[2]. Secara terminologi kodifikasi berarti penulisan Hadis berdasarkan perintah kepala negara yang dilakukan secara resmi dengan melibatkan beberapa personil yang ahli di bidangnya[3]. Kata tadwin merupakan bentuk mashdar dari دَوّنَ  yang mengandung makna menulis atau mencatat[4] sama seperti halnya كتب  menjadi كتابة yang artinya juga menulis[5], Tadwin dari segi istilah ilmu Hadis memiliki perbedaan yang jelas تدوين  mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar menulis atau mencatat, dan perbedaan tersebut akan terlihat jelas dari beberapa aspek, baik waktu (periode), proses, ataupun pelaku pentadwinan maupun penulisan tersebut.
Penulisan Hadis lebih dahulu muncul dari pada tadwin Hadis, dimana penulisan Hadis sudah dimulai pada masa Rasul SAW, sedangkan masa tadwin Hadis dimulai pada khalifahan ke-7 dari bani Umayyah.
Meskipun pembahasan secara rinci tentang penulisan Hadis bukanlah sesuatu yang urgen dalam pembahasan kali ini  namun sebagai  bahan perbandingan  perlu dijelaskan bagaimana kedudukan كتابة الحديث dalam ilmu Hadis.
Dalam menerima dan mempelajari Hadis, para sahabat menggunakan tiga metode, yaitu metode menghafal, metode tulisan dan metode praktik[6]. Dalam hal ini metode penulisan secara otomatis menghasilkan Hadis dalam bentuk tulisan (كتابة), ini merupakan salah satu bukti bahwa penulisan Hadis sudah dimulai saat Rasulullah menyampaikan Hadis (qauliyyah) kepada para sahabat.
Tadwin al-Hadis atau kodifikasi al-Hadis merupakan proses penulisan atau pembukuan Hadis secara resmi yang diprakarsai oleh penguasa atau pemerintah dalam hal ini adalah gubernur atau khalifah[7]. pengumpulan al-Hadis. Dalam hal ini tadwin atau bisa diistilahkan dengan pembukuan Hadis tidak hanya mengumpulkan Hadis Hadis yang telah di catat oleh para sahabat namun juga dilakukan dengan cara menyalin kembali Hadis-Hadis  yang dari catatan yang tidak belum sempurna/tidak rapi menjadi bentuk yang lebih baik sehingga bisa disatukan dengan Hadis-Hadis yang lain. 
Dalam perjalanan sejarah transformasi Hadis dari sebuah hafalan di dalam dada para sahabat dan tabi’in menjadi bentuk cacatan konkrit yang bisa dibaca dan dipelajari oleh semua orang tidak langsung disetujui oleh para ulama, tercatat ada beberapa ulama yang menolak penulisan Hadis.             Di antaranya adalah : Umar bin Khatab, Ibnu Mas’ud, Zaid bin tsabit, Abu Musa, Abu Sa’id Al-Khudri[8].
Mereka menolak penulisan Hadis mempunyai alasan dengan melihat beberapa riwayat sebagai dasar   pelarangan penulisan Hadis, yaitu :
-          Dari Abu sa’id Al- Khudri Radhiyallahu ‘anhu
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم : " لا تكتبو عني، ومن كتب عنيّ غير القرآن فليمحه"
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ Janganlah menulis daripadaku, barang siapa menulis daripadaku selain Al-Qur’an maka lenyapkanlah, (Hadis ini merupakan alasan yang paling kuat dalam pandangan pelarangan tersebut) akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka (HR Muslim)


-         وعن أبي هريرة أنه قال : خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نكتب
 الأحاديث فقال " ماهذا الذي تكتبون؟ " قلنا أحاديث نسمعها منك. قال "كتاب غير كتاب الله؟ أتدرون ؟ ما ضلّ الأمم قبلكم إلا بما اكتتبو من الكتب مع كتاب الله تعال
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW datang kepada kami sedangkan kami menulis Hadis, lalu beliau bersabda, “ Apa yang kalian tulis?” kami menjawab, “Hadis-Hadis yang kami dengar dari engkau” Beliau berkata,” Apakah kalian menghendaki kitab selain Kitabullah? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain Kitabullah”[9]

Apa yang tertulis diatas merupakan hal yang harus ditinjau dan dikaji latar belakangnya sehingga Hadis bisa dibukukan seperti sekarang. Sebagian kelompok lagi berpendapat bahwa nabi tidak melarang penulisan Hadis, mereka di antaranya : Ali bin Abu Thalib, Hasan bin Ali, Anas bin Malik, Abdullah bin Amru bin Ash[10].
Adapun alasan “Ibahahnya” terhadap penulisan Hadis, yaitu [11]:
-          Dari Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku menulis segala sesuatu yang aku dengardari Rasulullah, dengan maksud ingin menghafalnya, lalu kaum Quraisy melarangku, dan mereka mengatakan, ‘Apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah, sedangkan Rasulullah manusia biasa yang bicara di saat marah dan gembira?’ maka aku menahan dan berhenti menulis, lalu aku sampaikan kepada Rasulullah, kemudian beliau menunjuk pada mulut dengan jarinya dan bersabda,Tulislah, demi jiwaku di tangan-Nya tiada sesuatu apapun yang keluar darinya melainkan yang hak dan benar

-          Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata ”tiada seorangpun dari sahabat rasulullah yang lebih banyak Hadisnya dariku kecuali Abdullah bin Amru (bin Ash) karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis” (HR Bukhari)

-          Dalam Ash-Shahihain disebutkan bahwa ketika Allah membukakan kota Makkah untuk Rasul-Nya, Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam berdiri dan berkhutbah, lalu berdiri Abu Syah-penduduk yaman dan berkata,”wahai Rasulullah tulislah untukku” maka beliau bersabda, “tulislah untuk Abu Syah

-          Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam, “ikatlah ilmu dengan buku”

Kedua pendapat ini mempunyai alasan untuk melarang dan membolehkan penulisan Hadis, namun bagaimana Hadis sampai tertulis dan bisa dibaca seperti sekarang ini. Para ulama telah mengambil jalan tengah agar perbedaan ini tidak berlarut,  dengan melihat beberapa pertimbangan dalam pelarangan  adalah [12]:
-          Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan islam dikhawatirkan terjadi percampuran dan penggabungan antara Hadis Nabi dan Al-Qur’an
-          Larangan hanya khusus pada penulisan Hadis bersamaan dengan Al-Qur’an dalam satu lembar atau shahifah, karena khawatir akan terjadinya kemiripan atau persamaan
-          Larangan hanya bagi orang yang  diyakini mampu menghafalnya, karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghafalnya seperti Abu Syah

Dalam sumber yang lain disebutkan beberapa alasan pada masalah yang sama berupa kesepakatan untuk menerima penulisan Hadis, yaitu [13]:
-          Hadis Abu said Al-khudri dinyatakan “mauquf” sehingga tidak bisa dijadikan bahan hujjah untuk melarang penulisan Hadis.
-          Pelarangan Hadis berlaku pada saat bersamaan dengan turunnya wahyu sehingga dikhawatirkan sulitnya memilah antara wahyu dan Hadis
-          Hakekat larangan nabi ditujukan kepada sahabat yang kebanyakan mempunyai daya hafal yang kuat dan tidak diberlakukan kepada yang lemah ingatannya namun mempunyai kemampuan menulis seperti Abu Syah
-          Ulama berijtihad bahwa larangan tersebut bersifat umum dan bagi yang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam tulisannya dan yakin tidak akan salah pada penulisannya.

Walaupun kesimpulan tersebut seperti memihak kepada ulama yang sepakat untuk menulis Hadis namun demikian itulah jalan terbaik, dengan alasan yang sangat kuat yaitu kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan tentu Hadis itu akan lenyap pada masa-masa berikutnya, itu menurut Ibnu As-Shalah dan alasan ini juga yang mendorong pembukuan Hadis pada pertengahan masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.
Dan yang harus dijadikan cacatan dalam hal ini adalah perbedaan pendapat tersebut hanya terjadi pada masa awal saja, kemudian ijma’ kaum muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut sehingga tidak ada lagi perdebatan diperbolehkan atau tidaknya pembukuan Hadis di zaman setelahnya[14] .

2)        Sejarah Hadis Masa Kodifikasi
a.    Latar belakang Ide Pengkodifikasian Hadis
Tidak seperti halnya pembukuan Al-Qur’an, Hadist tidak dihimpun pada zaman khulafa’urrasyidin. Namun ide pengumpulan sunnah tersebut sudah dimulai sejak zaman Umar bin Khattab, namun beliau sangat hati hati dengan hal tersebut, khawatir orang-orang akan sibuk dengan Hadis dan mengabaikan Al-Qur’an[15]
 Proses kodifikasi Hadis atau tadwiin al-Hadis secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah  tahun 99 – 101 H = 717-720 M[16]). dimana pembukuan Hadis ini terjadi pada akhir tahun 100H atas perintahnya.
Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaharaan sunnah. Ada beberapa hal yang melatar belakangi Pembukuan Hadis[17]:
1.      Tidak adanya larangan dalam pembukuan Hadis, sedangkan Al-Quran telah dihafal oleh ribuan orang dan telah dikumpulkan dan dibukukan pada masa Usman, sehingga dapat dibedakan secara jelas antara keduanya.
2.      Khawatir akan hilangnya Hadis, karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar di beberapa penjuru negeri islam setelah terjadinya perluasan wilayah kekuasaannya.
3.      Munculnya pemalsuan Hadis, perpecahan dikalangan ummat Islam di waktu itu memang tidak secara Aqidah, namun secara politik sosial dan pemikiran benar benar membuat kekacauan yang parah, dan menjadi luka sejarah hingga akhir zaman, Hadis menjadi perisai untuk membela kelompoknya dan senjata menghujat kelompok yang lain yang tidak sepaham dengan mereka, merupakan dalam hal ini pengikut ali (Syi’ah), pengikut Mu’awiyah dan kelompok yang tidak memihak kepada keduanya (Khawarij) menjadi pemeran utamanya. Masing-masing berusaha memperkuat mazhabnya dengan menakwilkan Al-Qur’an bukan dalam makna sebenarnya, atau membuat nash-nash Hadis dan dan menyandarkan nama rasulullah di balik kepentingan mereka masing masing.

M M. Azami dalam bukunya ‘Studies In Early Hadith Literature’ yang diterjemahkan oleh Ali Musthafa Yaqub dengan judul ‘Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya’, telah menguraikan secara rinci dalam bab tersendiri tentang kegiatan penulisan al-Hadis mulai dari masa Rasulullah saw hingga pertengahan abad ke dua Hijriyah. Bahwa telah terjadi transfer informasi atas riwayat Hadis dari generasi ke generasi mulai dari masa sahabat hingga masa tabi’in kecil dan tabi’ tabi’in tidak saja dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan. Misalnya saja catatan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang terkenal dengan al-Shahifah al Shadiqah telah ditransferkan kepada muridnya Abu Subrah. Shahifah tersebut juga sampai ke tangan cucunya Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amr. Dari tangan Syu’aib ini berlanjut ke tangan putra dari Syu’aib bin Muhammad atau cicit dari Abdullah bin Amr yaitu Amr bin Syu’aib.
Pada masa tadwin ini penulisan Hadis belum tersistimatika sebagaimana kitab-kitab Hadis yang ada saat ini tetapi, hanya sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami’ dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadis atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadis yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab Hadis yang memuat hanya Hadis-Hadis shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa ta’dil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Isma’il al-Bukhari.
b.    Upaya dan Hasil yang dicapai
Upaya pengumpulan Hadis pertama kali pernah dilakukan oleh Abdul Aziz bin Marwan, dalam usaha pembukuan Hadis beliau mengirim surat kepada katsir bin Murrah Al-Hadhramy, adapun isi suratnya seperti berikut:
اكتب عنّي بما سمعت من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من أحاديثهم إلا حديث ابي هريرة فإنه عندنا[18]
Tulislah untukku apa yang telah kamu dengar dari Hadis-Hadis para shahabat Rasulullah SAW selain Hadis Abu Hurairah, karna ia bagian dari kita.

Namun secara massal dan kolektif upaya ini baru dilaksanakan oleh Umar Bin Abdul Aziz. Sebagai upaya konkrit beliau yang bertindak sepebagai pemberi perintah dalam “menyelamatkan” Hadis dari bencana kepunahan adalah dengan mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadis menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadis  yang akan hilang pada masa sesudahnya. Abu Na’im menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifa Umar bin Abd al-Aziz mengrimkan pesan “perhatikan Hadis Nabi dan Kumpulkan[19]”.
Pada masa inilah Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, gubernur madinah (w. 117 H) untuk mengumpulkan  Hadis-Hadis yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Sa’d bin Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq
Pengumpulan al-Hadis khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm.
Surat yang dikirimkan kepada Abu bakar Muhammad bin Amru bin Hazm (Gubernur Madinah). Yang isinya sebagai berikut
أنظر إلى حديث رسول الله صلى الله عليه وسلّم فاكتبوه فإني خفت دروس العلم وذهاب العلماء ولا تقبلو إلا حديث النبۑّ صلىّ الله عليه وسلّم[20] (رواه بخارى)  
Perhatikanlah apa yang ada pada Hadis-Hadis Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain Hadis Nabi SAW” .

Dalam sebuah riwayat ditambahkan:
“dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majlis-majlis  ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinyya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan[21]

Dilihat dari isi surat tersebut mengandung maksud untuk melaksanakan proses pembukuan, majelis-majelis atau kelompok pengkajian sejarah secara diam-diam dan tidak terbuka kepada umum, kendati demikian ajaran dari Hadis diharap untuk bisa diamalkan oleh seluruh Umat.
Selain itu Umar bin Abdul Aziz juga memerintahkan imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (15- 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri untuk melakukan hal yang sama[22]. Dengan usaha yang dilakukannya menjadi permulaan bagi pembukuan secara menyeluruh meskipun belum sistematis.
Beliau juga mengirim surat kepada katsir bin Murrah Al-Hadhramy, adapun isi suratnya seperti berikut:
اكتب عليّ بما سمعت من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من أحاديثهم إلا حديث ابي هريرة فإنه عندنا[23]
Tulislah untukku apa yang telah kamu dengar dari Hadis-Hadis para shahabat Rasulullah SAW selain Hadis Abu Hurairah, karna ia bagian dari kita.

Dengan mengirimkan surat berupa perintah untuk mengumpulkan atau membukukan Hadis seperti yang dilakukannya kepada beberapa pejabatnya. Disamping upaya pembukuan juga dilakukan penyeleksian Hadis-Hadis maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.

c.    Perkembangan Usaha Pembukuan Hadis
Setelah Az-zuhri, maka muncullah penerus pembukuan Hadis secara lebih sistematis dalam kurun yang waktu yang bersmaan, Menurut Ibnu Hajar mereka adalah : Ar-rabi’ Bin Shubaih (w 160 H) dan Said bin Abi Arubah (w 156 H), Zakaria Al- Anshari dalam kitab karya Al-Iraqi, شرح كتاب الفية المصطلة mengatakan, “Orang yang pertama menyusun secara muthlak adalah Ibu Juraij dari mekah, Malik dan Ibnu Abi Dzi’b di Madinah, Al-Auza’I di Syam, Ats-Tsauri di Khufah, Said bin Abi Arubah dan Arabi’ bin Shubaih dan Hamad bin Shalamah di Basrah, Ma’mar bin Rasyid dan Khalis bin Jamil di Yaman, Ibnu Al-Mubarak di Khurasan[24].

As-Suyuti menjelaskan beberapa cabang ilmu Hadis juga berkembang pada masa kodifikasi ini, di antaranya membahas tentang perawi dan yang diriwayatkanya ditinjau dari segi diterima atau ditolaknya periwayatannya tersebut ini terjadi pada awal bad kedua seiring dengan berkembangnya ilmu matan Hadis, perintah Umar bin Abdul Aziz menyebar dibeberapa daerah penting dalam lingkup kekuasaan Islam pada saat itu, di antaranya : Hijaz, Syam, Mesir,  Irak,  Yaman dan Hurasan[25]. Sehingga dari rentang waktu hampir delapan abad (405 H- 1182 H) terdapat banyak buku-buku tentang Hadis baik dalam disiplin Hadis secara langsung maupun mengambil “pecahan” dari Hadis tersebut, di antaranya[26] :
-          Al-Hakim Abu Abdillah An Naisabury (w 405 H) bukunya : معرفة علوم الحديث
-          Al-Khatib Al-Baghdady  (w 463 H) : bukunya : كفاية فى قوانين الرواية  dan الجامع الآدب الشيخ والسامع
-          Al-Khadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahshaby (w 544 H) bukunyaالإلماع فى ضبط الرواية وتقييد الأسماع
-          Abdul Rahman As- Syahrazury  (w 643 H) bukunya علوم الحديث
-          Al-hafiz Al-Baqilayni (w 805 H) bukunya محاسن الإصطلاح و تضمين كتاب ابن صلاح
-          Az- Zainul Iraqy (w 806 H) bukunya نظم الدرر فى علم الأثر
-          Al-Muqaddasy (w 851 H) bukunya تذنيب في الزائد على التقريب  
-          Burhanuddin Umar bin Ibrahim Al baqa’I (w 885 H) bukunya النكت وفية بما فى شرح الألفية
-          As-Sakhawi (w 902 H) bukunya فتح المغيث فى شرح ألفية الحديث  
-          Zakaria Al-Anshari (w 928 H) الفتح الباقي بشرح ألفية العراقي    
-          Stamrat An Nazr (w 1182 H) توضيح الأفكار
-          dll
Selanjutnya secara terperinci dijelaskan perkembangan pembukuan Hadis telah melahirkan berbagai kumpulan kitab Hadis dan kitab tentang ilmu Hadis, dalam prosesnya beberapa buku justru dihasilkan tidak dengan cara atau metode  yang sama, ada 12 metode yang di gunakan ulama Hadis yaitu[27]:
Metode Pertama : Metode Masanid
Masanid merupakan bentuk jama’  dari sanad[28], berupa musnad-musnad terkenal:
1.      Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud At-Thayalisi (w 204 H)
2.      Musnad Abu Bakar Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (w 219 H)
3.      Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (w 241 H)
4.      Musnad Abu bakar Ahmadbin Amru Al-Bazzar (w 292 H)
5.      Musnad Abu Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mutsanna Al-Mushili (w 307 H)

Metode Kedua: Al-Ma’ajim
Al-Ma’ajim  adalah jama’ dari mu’jam. Adapun menurut istilah para Hadis adalah : Buku yang berisi kumpulan Hadis-Hadis yang berurutan berdasarkan nama-nama sahabat, atau guru-guru penyusun, atau negeri, sesuai dengan huruf hijaiyah, adapun kitab-kitab mu’jam yang terkenal antara lain:
1.      Al-Mu’jam Al-kabir, karya Abul Qasim Sulaiman At-Thabarani (w 360 H)
2.      Al-Mu’jam Al-Washat, At-Thabarani
3.      Al-Mu’jam As-Shaghir, At-Thabarani
4.      Mu’jam Al-buldan, Karya Abu Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mushili (w 307 H)

Metode Ketiga            : Pengumpulan Hadis berdasarkan semua bab (Jawami’).  Al-Jawami’ jama’ dari jami’. Menurut ilmu Hadis adalah apa yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua pembahasa agama (mencakup iman, thaharah, ibadah, mu’amalat, pernikahan, sirah, riwayat, hidup, tafsir, adab penyucian jiwa, fitnah dal lain-lain). Kitab-kitab jami’ yang terkenal adalah :
1.      Al-Jami’ Asshahih karya Imam bukhari (w 256 H)
2.      Al-Jami’ Asshahih karya Imam Imam Husain Muslim (w 261 H)
3.      Al-Jami’ Asshahih karya Imam At-Tirmidzi (w 279 H)

Metode Keempat : Penulisan Hadis Berdasarkan Pembahasan Fiqih
Karya terkenal untuk metode ini:
1.      As-Sunan yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fiqih dan hanya memuat Hadis yang marfu’ saja sebagai sumber hukum bagi fuqaha’, Kitab-kitab As-Sunan yang terkenal Adalah:
a.      Sunan Abi Dawud (w 275 H)
b.      Sunan An-Nasa’I (w 303 H)
c.       Sunan Ibnu Majah (w 275 H)
d.      Sunan As-Syafi’I (w 204 H)
e.      Sunan Ad-Darimi (w 255 H)
f.        Sunan Ad-Daruquthni (w 385 H)
g.      Sunan Al-Baihaqi (w 458 H)
2.      Al-Mushannafat, yaitu kitab yang disusun berdasarkan urutan tentang fiqih yang meliputi marfu’mauquf, maqhtu’. Kitab-kitab Al-Mushannafat antara lain:
a.      Al-Mushannaf, karya Abu Bakar Abdurrazzaq bin Hammam Ash-Shan’ani ( w 211 H)
b.      Al-Mushannaf, karya Abu Bakar Abdullah bin Muhammad Bin Abi Syaibah Al-Khufi ( w 235 H)
c.       Al-Mushannaf, karya Baqiyy bin Makhlad Al-Qurthubi (w 385 H)
3.      Al-Muwaththa’at, dari segi istilah Al-Muwaththa’at sama dengan Al-Mushannaf, karya yang terkenal dalam bagian ini adalah :
a.      Al-Muwaththa’, karya Imam Malik (w 179 H)
b.      Al-Muwaththa’, karya Ibnu Abi Dzi’b Muhammad bin Abdurrahman Al-Madani (w 158 H)
c.       Al-Muwaththa’, Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Marwazi (293)

Metode Kelima : Kitab-kitab Yang Penyusunnya Menyatakan Komitmen Hanya Menuliskan Hadis-Hadis yang shahih,
Beberapa kitab terkenal di antaranya :  Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Al- Muwaththa, Karya Imam Malik, dan Al-Mustadrak karya Al-Hakim, sahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban (kedua terakhir disusun menurut kriteria shahih oleh penulisnya)

Metode Keenam : Karya Tematik
Penyusunan dengan metode ini terbatas dengan tema tertentu, di antaranya :
1.      الترغيب و الترهيب  (Hadis tentang Motivasi dan ancaman), contoh karya dalam kategori ini :
a.      الترغيب و الترهيب  karya Zakiyudin Abdul Azhim bin Abdil Qawiy Al-Mundziri (w 656 H)
b.      الترغيب و الترهيب  karya Abi Hafsh Umar bin Ahmad, dikenal dengan nama Syahin (w 385)
2.      Buku tentang Kezuhudan, fadhilah amal, adab, akhlak, antara lain:
a.      كتاب الزهد  karya imam Ahmad bin Hanbal (w 241 H)
b.      كتاب الزهد  karya Abdullah bin Al-Mubarak (w 181H)
c.       كتاب اخلاق النبي karya Abi Syaikh Abi Muhammad bin Muhammad Al-Ashbahani (w 369 H)
d.      كتاب رياض الصالحين من كلام سيد المرسلين karya Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-nawawi (w 676H)

Metode Ketujuh :  Kumpulan Hadis Hukum Fiqih (كتب الأحكام)
Buku-buku yang memuat masalah ini antara lain:
1.      الأحكام, karya Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al-Maqdisi (w 600 H)
2.      عمدة الأحكام عن سيد الأنام, Karya Al-Maqdisi
3.      الإمام فى حديث الأحكام, karya Ibnu Daqiq Al-‘Ied (w 702 H)
4.      الإمام فى أحاديث الأحكام, karya Ibnu Daqiq Al-‘Ied
5.      المنتقى فى الأحكام, karya Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah Al- harrani  (w 652 H)
6.      بلوغ المرام من ادلةالأحكام, karya Al-Hafizh Ahmad bin Aki bin Hajar Al-Asqalani (w 852 H)

Metode Kedelapan : Merangkaikan Al-Majami’
Al-Majami’ jamak dari Majma’ yaitu setiap kitab yang berisi kumpulan beberapa mushannaf dan disusun berdasarkan urutan mushannaf yang telah dikumpulkan tersebut. Majami’ yang terkenal diantaranya:
1.      جامع الأصول من أحاديث الرسول, karya Ibnu Al-Atsir
2.      مجمع الزوائد و مبدء الفوائد,  karya Al Hafizh Ali Abu Bakar Al-Haistami (w 807 H)
3.      جامع الفوائد من جامع الأصول ومجمع الزوائد,  karya Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman Al-Maghribi (w 1094 H)


Metode Kesembilan : Al-Ajza’
Al-Ajza’ jama’ dari juz, yaitu kumpulan riwayat seorang perawi atau yang berkaitan  dengan satu permasalahan secara terperinci, seperti
1.      جزوع ما رواه ابو حنيفة عن الصحابة karya At- Thabari
2.      جزوع رفع اليدين فى الصلاة karya Al-Bukhari

Metode Kesepuluh : Al-Athraf
Yaitu setiap kitab yang hanya menyebutkan bagian Hadis yang dapat menunjukkan lanjutan Hadis yang dimaksud, kemudian mengumpulkan seluruh sanad, baik dari sanad satu kitab maupun sanad beberapa kitab. Kitab-kitab yang terkenal:
1.      أطراف الصحيحين karya Muhammad Khalaf bin Muhammad Al-Wasithi (w 401 H)
2.      الاشراف على معرفة الأطراف atau أطراف السنن الأربعة karya Ibnu Asakir (w 571 H)
3.      تحفة الأشراف بمعرفة الأطراف atau أطراف الكتب الستة   karya Al-Hafiz Abul Hajjaj yusuf bin Abdurrahman Al-Mizzi (w 742 H)
4.      إطحاف المهارة بأطراف الشرح karya Ali Ibnu Hajar Al-Asqalani (852)
5.      أطراف المساند الأشارة karya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Buwaishiri (w 840 H)
6.      ذخائر المواريث فى الدلالة على مواضع الحديث  karya Abdul Ghani An-Nabulsi (w 1143)

Metode Kesebelas : Kumpulan Hadis Yang Masyhur diucapkan di Lisan atau Tematik
Kitab-kitab yang terkenal  dalam hal ini antara lain:
1.      اللعالع المنثورة فى الحديث المشتهرة من ما ألفه الطبع و ليس له أصل فى الشرع karya Ibnu hajar Al-Asqalani
2.      المقاصد الحسنة فى بيان كثير من الأحاديث المشتهرة على الألسنة karya Muhammad bin Abdurrahman As-Sakhawi (w 911 H) 
3.      الدرر المنتثرة فى الأحاديث المشتهرة karya As-Suyuthi (w 911 H) 
4.      تمييز الطيمب من الخبيث فيما يضرّ على ألسنة الناس من الحديث karya Abdurrahman bin Ali As-Syaibani (w 944 H)
5.      dll

Metode Keduabelas : Az-Zawa’id
Az-Zawaid adalah karya yang berisi kumpulan Hadis-Hadis tambahan terhadap Hadis yang ada pada bagian-kitab-kitab lain. Buku-buku terkenal dalam bidang ini antara lain:
1.      مصباح الزجاجة فى زوائد إبن مجاح karya Abu Abbas Ahmad bin Muhammad Al-Bushairi (w 84 H)
2.      إتحاف السعادة المهارة الخيرة بزوائد المساند العشرة karya Al-Bushairi
3.      المطالب العالية بزوائد المساند الثمانية karya Al-Asqalani
4.      مجمع الزوائد ومنبأ الفوائد karya Al-Haitsami

C.        PENUTUP
1)        Kesimpulan
a.    Proses kodifikasi Hadis adalah proses pembukuan Hadis yang secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan Hadis, karena kegiatan penulisan Hadis secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih hidup.
b.    Tentang adanya larangan penulisan Hadis hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu menuliskan Hadis bersama al-Qur’an dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadis sehingga mengesampingkan al-Qur’an sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan penulisan Hadis itu dibolehkan dan sesuai dengan kesepakatan ulama.
c.    Beberapa hasil yang telah tercapai pada periode modifikasi dapat dilihat dari banyaknya buku Hadis dan ilmu Hadis oleh masing-masing pengarangnya.
d.    Metode pembukuan Hadis merupakan jalan mudah bagi para ulama’ untuk menyusun pembukuan Hadisnya secara sistemats sesuai kriteria  yang diinginkan penulis atau penyusun. Sehingga menghasilkan beberapa karya dengan beberapa klasifikasi.
e.    Periodesasi Hadis dapat dikelompokkan menjadi 7 periode:
1)      Masa rasulullah         
2)      Masa khulafa’ Ar-Rasyidin (11 H – 40 H)
3)      Masa sahabat kecil dan tabi’in
4)      Perkembangan Hadis pada abad II dan III Hijriah
5)      Masa mentashihkan hadis dan menyusun kaidah-kaidah
6)      Perkembangan Hadis dari abad IV hingga tahun 656
7)      Perkembangan Hadis dari tahun 656 Hijriah sampai sekarang
Tentunya tiap-tiap periode memiliki momen sejarah masing-masing.


[1] Dr. Subhy Al-Shalih, علوم الحديث ومصطلحه (Beirut   دار العلم للملايين  , 1988) hal,14
[2] John M. Echols dan Hassan Shadly, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta, Gramedia, 1992) hal 122
[3] Munzir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993) hal 74
[4] A.W. Munawwir, kamus Al-munawwir Arab-Indonesia (Surabaya; Pustaka progresif, 1997) hal 435
[5] Ibid  hal 1187
[6] MM. Azami, Terjemah: Memahami Ilmu Hadis Telaah Metodologi dan literatur hadis (Lentera,1993) hal 17
[7] M. Al-Zuhri, Hadis Nabi; Sejarah dan Metodologinya, (Yogyakarta, Tiara Wacana,1997) hal 51
[8] Syaih Manna’ Qaththan, terjemah: مباحث فۑ علوم الحديث  , (Jakarta, Pustaka  Alkautsar, 2006) hal 48
[9] Muhammad Ajjaj Al-Khatib أصول الحديث علومه ومصطلحه  (Beirut, دار الفكر, (٢٠٠٦, hal 96
[10] Manna’ Qaththan, Op cit  hal 48-49
[11] Ibid
[12] Ibid hal 51
[13] Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Op Cit  hal 98-99
[14] Manna’ Qaththan Opcit hal 50
[15] Hakim ‘Abisan Al-mathiry تاريخ تدوين السنة و شبهات المستشرقين  (Kuwait, لجنة تأليف والتعريب والنشر,٢٠٠٢) hal 50
[16] A. Latif Osman Ringkasan Sejarah Islam (Jakarta, Wijaya, 1983) hal 93
[17] Manna’ Qatthan Lok Cit hal 51
[18] Hakim ‘abisan Al-mathiry Lok cit, hal 52
[19] Ibid  Hal 52
[20] Ar-Ramahurmuzi, المحدث الفاصل (Beirut, دار الفكر, 1984) hal, 384
[21] M. Agus Shalahuddin, Agus Suyadi, Ulumul hadis,(Bandung, Pustaka Setia, 2009)
[22] Dalam 20 tahun az Zuhri mengumpulkan 2.000 Hadis
[23] Hakim ‘abisan Al-mathiry Lok cit, hal 52
[24] Manna’ Qaththan Lok cit, hal 53
[25]Jalaluddin As-Suyuty,  علم أصول الحديث تدريب الراوى فى شرح تقريب النواوى (Madinah, المكتبة العلمية, 1972) hal 4
[26] Ibid hal 6-8
[27]Manna’ Qaththan Op cit Ibid,  hal 54-65
[28] M. Agus, Sholahuddin, Lok cit hal 64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar