TAKHRIJ HADIST
A.
Pendahuluan
Hadist Nabi merupakan ajaran Islam,
disamping Al-Qur’an. Dilihat dari periwayatannya, hadist Nabi berbeda dengan
Al-Qur’an. Untuk Al-Qur’an , semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara
mutawatir, sedangkan untuk hadist Nabi sebagian periwayatannya berlangsung
secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Al-Qur’an juga
merupakan rujukan utama umat Islam, dalam posisinya yang demikian itu,
Al-Qur’an berisikan pedoman dalam memecahkan segala permasalahan kehidupan.
Hanya saja, adakalanya suatu masalah dipaparkan secara mendetil dan ada pula
yang diungkapkannya secara global saja.
Dalam hal yang
pertama, Al-Qur’an membawa konsep yang siap pakai. Sedangkan dalam hal kedua,
konsep yang dibawa Al-Qur’an belum bisa dioperasionalkan. Merialisasikan bagian
yang disebut terakhir masih ditangguhkan sampai adanya petunjuk yang lengkap
dan jelas, sehingga umat Islam dapat mengikuti dan melaksanakannya.
Disinilah peran
dan fungsi Nabi SAW. Karena hadist atau sunah merupakan penafsiran terhadap
Al-Qur’an dalam praktek dan penerapan ajaran Islam secara faktual dan edial.
Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang
ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Untuk melakukan
kajian mendalam tehadap hadist-hadist Nabi sangat dibutuhkan seperangkat ilmu,
kaedah dan ketentuan-ketentuan pokok. Semua itu akan dijadikan sebagai media
utama dalam meneliti hadist. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa,
sebagaimana juga penelitian yang lain, kegiatan penelitian hadist tidaklah
berdiri sendiri tetapi memerlukan beberapa kaidah pokok lainnya. Sedikitnya ada
tiga pokok yang sangat penting diperhatikan dan dipedomani dalam kegiatan
penelitian hadits. Ketiga hal tersebut adalah ‘ilm takhrij al-hadist, ‘ilm
mukhtalif al-hadist, dan ta-nammu’ al-ibadah. Tetapi disini penulis membatasi
pembahasan makalah ini dengan masalah Tahkrij Al-Hadist, yang didalamnya berisikan
pengertian takhrij hadits pada bahasa dan istilah, sejarah timbulnya takhij
al-hadits, objek kajian, kegunaan, langkah-langkah. Mudah-mudahan makalah ini
bermfaat bagi pembaca terutama penulis sendiri, dan hendaknya bisa dijadikan pegangan dalam kehidupan
mendatan.
B.
Pengertian
Takhrij Al-Hadis
Takhrij
menurut bahasa memiliki beberapa makna. Yang paling mendekati disini adalah
berasal dari kata kharaja (خرج) yang artinya nampak dari tempatnya atau keadaaannya, dan
terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الاخرج) yang artinya
menampakkan dan memperlihatkannya. Dan kata al-makhraj (المخرج) yang artinya
tempat keluar dan akhraj al-hadist wa kharajahu artinya menampakkan dan
memperlihatkan hadist kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.[1]
Menurut istilah dan yang biasa dipakai para ulam hadits kata
At-Takhrij mempunyai beberapa arti antara lain:
1.
Mengemukakan
hadits pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang
telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2.
Ulma
mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan uleh para guru hadits, atau
berbagai kitab lain yang susunanya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri,
atau para gurunya, temanya , orang lain,
dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis
yang dijadikan sumber pengambilan.
3.
Menunjukkan
asal usul hadits dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab
hadits yang disusun oleh para mukharrij-Nya langsung.
4.
Mengemukakan
hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadits,
yang didalamnya disertakan metode periwayatannaya dan sanad-Nya masing-masing,
serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas haditsnya.
5.
Menunjukkan
atau mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli, yakni berbagai
kitab, yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya
masing-masing; kemudian, untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadits
yang bersangkutan. [2]
Dari beberapa pengertian takhrij diatas maka pengertian takhrij
Al-Hadits yang digunakan untuk maksud penilitian hadits adalah pengertian yang
dikemukakan dalam butir kelima. Dengan demikian yang dimaksud dengan takhri
al-hadits adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai
sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang didalam sumber itu dikemukakan
secara lengkap sanad dan matan hadits tersebut, kemudian dijelaskan kualitasnya
dengan penelitian terhadap sanat tersebut.
Rumusan Mahmud Ath-Thahhan Takhrij Al-Hadits pada istilah adalah
Artinya: Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis didalam
sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai keperluan.[3]
C.
Sejarah
Perkembangan Tahkrij Al-Hadist
Penguasaan para ulama dahulu
terhadap sumber-sumber hadist begitu luas sehingga jika disebutkan suatu hadist
mereka tidak merasa kesulitan untuk mengetahui sumber hadist tersebut. Ketika
semangat belajar mulai melemah, mereka kesulitan untuk mengetahuai tempat-tempat
hadist yang dijadikan rujukan para penulis ilmu syar’i. Sebahagian ulama
bangkit dan memperlihatkan hadist-hadist yang ada pada sebagian kitab dan
menjelaskan sumbernya dari kitab hadits yang asli, menjelaskan metodenya, dan
menerangkan kualitasnya, apakah hadis tersebut sahih atau daif, lalu munjullah
apa yang dinamakan dengan Kutup
at-takhrij (Buku-buku tahkrij).
Ulama yang pertamakali melakukan takhrij menut Mahmud Ath-Thahhan adalah
Al-Khaththib Al-Bagdadi waapat pada tahun 436 H, kemudian, dilakukan pula oleh
Muhammad bin Musa Al-Hazimi wafat pada tahun 584 H. dengan karyanya Takhrij Ahadist Al-Muhadzhab. Ia
mentakhrij kitap fiqih Syafi’ah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama
lain, seperti Abu Al-Qasimi Al-Husain dan Abu Qasim Al-Mahrawani. Pada
perkembangan selanjutnya, cukup banyak bermunculan kitap yang berupaya
mentakhrij kitab-kitab dalam berbagai ilmu agama. Diantara kitab-kitab takhrij
itu antaara lain:[4]
1.
Takhrij
Ahadits Al-Muhadzdzabi, karya Muhammad
bin Musa Al-Hazimi Asy-Syafi’I (w. 548 H)
2.
Takhrij
Ahadits Al-Mukhtashar Al-Kabir Li Ibni Al-Hajib, karya Muhammad bin Ahmad Abdul Hadi Al-Maqdisi (w. 744 H)
3.
Sashbu
Ar-Rayah Li-Ahadits Al-Hidayah Li Al-Marghinani, karya Abdullah bin Yusuf Az-Zaila’I (w. 762 H).
4.
T akhri Ahadits Al-Kasysyaf Li Az-Zamarksyari, karya Al-Hafizh
Az-Zalla’i
5.
Al-Badru
Al-Munir Fi Takhrij Al-Hadits wa Al-Atsar Al-Waqi’ah Fi, Asy-Syarhi Al-Kabir Li Ar-Rafi’, karya Umar bin Ali bin Al-Mulaqqin (w. 804 H)
6.
Al-Mughni’an
Hamli Al-Asfir Fi Takhrij ma fi Al-Ihya’min Al-Akhbar, karya Abdurahman bin Al-Husaini Al-‘Iraqi (w. 806 H).
7.
Takhrij
Al-Hadits Allati Yusyiiru ilaihi At-Tirmitzi FI Kulli bab, karya Al-Hafizh Al-‘Iraqi.
8.
At-Talkhish
Al-Habir Fi Takhri Ahadits Syah Al-Wajiz Al-Kabir Li Ar-Rafi’, karya Ahmad Bin Ali bin Hajar Al-‘asqolqni (w. 852 H).
9.
Ad-Dirayah
FI takhri Ahadits Al-Hidayah, karya
Al-Hafizh Ibnu Hajar
10.
Tuhfatu
Ar-Rawi Fi Takhrij Ahadits Al-Baidhawi, karya
Abdurauf Ali Al-Manawi (w. 1031 H)
Dalam melakukan takhrij al-hadis
kita memerlukan kitab-kitab yang berkaitan dengan takhrij hadist ini. Adapun
kitab-kitap tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Hidayatul
bari ila tartibi Ahadisil Bukhari
Penyusun kitab ini adalah Abdul Rahman Ambar Al-Misri At-Tahtawi.
Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadist-hadist yang termuat dalam shahih Al-Bukhari. Lafaz hadits disusun
menurut urutan-urutan huruf abjad arab. Namun, hadits-hadits yang dikemukakan
secara berulang dalam Shahih Bukhari tidak memuat secara berulang dalam kamud
diatas. Dengan demikian, perbedaan lafazh dalam matan hadits riwayat Al-Bukhari
tidak dapat diketehui melalui kamus tersebut.
2.
Mu’jam
Al-Fadzi wala Siyyama Al-Gariibu Minha atau Fuhris Litartibi Ahadisi Shahihi
Muslim
Kitab ini merupakan salah satu juz, yakni juz ke-5 dari kitab
shahih Muslim yang disunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz ke-5 ini merupakan
kamus terhadap juz ke-1-4 yang berisi
a.
Daftar
urutan judul kitab, nomor hadits, dan juz yang memuatnya.
b.
Daftar
nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits yang termuat dalam shahih
Muslim.
c.
Daftar
awal matan hadits dalam bentuk sabda yang tersusunmenurut abjat serta
menerangkan nomor-nomor hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bila kebetulan
hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
Bukhari
3.
Miftahus
Sahihain
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa Al-Tauqiyah.
Kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim. Akan tetapi, hadits-hadits yang dimuat dalam kitab ini hanyalah
hadits-hadits yang berupa sabda (qauliyah) saja. Hadits tersebut tersebut
disusun menurut abjad dari awal lafazh matan hadist.
4.
Al-Bugyatu
fi Tartibi Ahadits Al-Hilyah
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin
Sayyid Sidqi Al-Qammari. Kitab tersebut
memuat dan menerangkan hadits-hadts yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu
Nuaim Al-Asabuni wafat pada tahun 430 H. yang berjudul Hiyatul Auliyai wathabaqutul Asfiyai.
Sejenis dengan kitab tersebut adalah kitab Miftahut Tartibi li Ahaditsi Tarikhil Katib yang disusun oleh
Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Siddiqi Al-Qammari yang memuat
dan menerangkan hadits yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu
Bakar bin Ali bin Subit bin Ahamad Al-Baqdadi yang dikenal dengan Al-Khatib
Al-Baqdadi wafat pada tahun 463 H. kitabnya yang berjudul Taikhul Baqdadi yang terdiri dari 4 jilid.
5.
Al-Mu’jam
Al-Mufahras li Alfadzi Hadist Nabawi
Kitab ini disusun oleh imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi wafat
pata tahun 91 H. kitab kamus hadits ini memuat hadits-hadits yang terhimpun dalam
kita himpunan kutipan hadits yang disusun oleh As-Suyuthi juga, yakni kitab jam’ul jawami’i.
Hadits yang disusun dalam kitab Jamius Shaqir disusun berdasarkan
urutan abjad dan awal lafazh matan hadits. Sebahagian dari hadits-hadits itu
ada yang ditulis secara lengkap dan ada pula yang ditulis sebagian saja, namun
telah mengandung pengertian yang cukup.
Kitab hadits tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang
meriwayatkan hadits yang bersangkutan dan nama-nama mukharijnya (periwayat
hadits yang menghimpun hadits dalam kitabnya). Selain itu, hamper setiap hadits
yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian yang dilakukan atau
disetujui oleh Suyuthi.
6.
Al-Mu’jam
Al-Mufahras li Alfadzil Hadis Nawawi
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan Orientalis.
Diantara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan adalah
Dr. Arnold John Wensinck wafat pada tahun 939 M. ,seorang profisor bahasa Arab
di Universitas Leiden, negeri Belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadits berdasarkan petunjuk
lafazh matan hadits. Berbagai lafazh yang disajikan tidak dibatasi hanya
lafazh-lafazh yang berada ditengah dan bagian-bagian lain dari matan hadits.
Dengan demikian, kitab mu’jam mampu memberikan imformasi kepada pencari matan
dan sanad hadits selama sebagian dari lafazh matan yang dicarinya itu telah
diketahinya.
Kitab Mu’jam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk
mencari hadits-hadits yang terdapat dalam Sembilan kitab hadits, yakni Shahih Bukhari, Shahih Musli, Sunan
Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darimi,
Muwatta Malik, dan Musnad Ahmad.[5]
D.
Objek
Kajian Takhrij Al-Hadist
Setiap hadits memiliki tiga unsur
pokok yang merupakan syarat suatu hadits, yakni sanad (silsilah orang yang
meriwayatkan hadits), matn (materi atau lafaz hadits), rawi (orang yang
meriwayatkan hadits).
Takhrij hadis adalah penelusuran
atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang
bersangkutan yang didalam sumber itu disebutkan secara lengkap sanad dan matan
hadis disertai dengan penjelasan kualitas hadis tersebut.
Dengan demikian, objek kajian
takhrij hadits yaitu: rangkaian terhadap sejumlah periwayat yang menyampaikan riwayat
hadits (sanad hadits) dan materi hadits itu sendiri (matan hadits)[6]
E.
Kegunaan
Takhrij Al-Hadist
Ilmu takhrij merupakan dari bagian
ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai, terutama menjadi sangat penting
bagi orang yang mempelajari ilmu syari’at. Sebab didalamnya dibicarakan
berbagai kaidah dan metode untuk mengetahui dariman sumber hadis itu berasal
atau melacak suatu hadis sampai pada sumber aslinya.
Bagi seorang penulis hadis, kegiatan
takhrij hadis sangat pennting. Tampa dilakukan takhrijul hadis terlebih dahulu,
maka akan sulid diketahui asal usul riwayat hadis yang akan diteliti, berbagai
riwayat yang telah meriwayatkan hadis itu, dan ada atau tidaknya korroborasi
(syahid atau mutabik) dalam sanad bagi hadis yang ditelitinya. Dengan demikian,
menimal ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij al-hadits
dalam melaksanakan penelitian hadis. Antara lain adalah:[7]
1.
Untuk
mengetahui asal usul riwayat hadis yang akan diteliti.
Suatu hadis akan sangat sulit diteliti status dan kualitasnya bila
terlebih dahulu tidak diketahui asl usulnya. Tampa diketahui asal usulnya, maka
sanad dan matan hadis yang bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut
sumber pengambilannya. Tampa diketahui susunan sanad dan matannya secaraa
beenar, maka hadis yang bersangkutan akan sulit diteliti secaraa cermat. Untuk
mengetahui asal usul hadis yang diteliti itu, maka kegiatan takhrij perlu
dilakukan terlebih dahulu.
2.
Untuk
mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti.
Hadis
yang akan diteliti mungkin akan memiliki lebih dari satu sanad. Mungkin saja,
salah satu sanad hadis itu berkualitas daif, sedangkan yang lainnya berkualitas
sahih. Untuk dapat menentukan sanad yang berkualitas daif dan sahih, maka terlebih
dahulu harus diketahui seluruh riwayat hadis yang bersangkutan. Dalam hubungan
untuk mengetahui riwayat hadis yang sedang akan diteliti, maka kegiatn takhrij
perlu dilakukan.
3.
Untuk
mengetahui ada atau tidaknya syahid dan mutabi’pada sanad yang diteliti.
Jita hadis diteliti salah satu sanadnya,
mungkin ada periwayat lain yang sanadnya mendukung pada sanad yang sedang
diteliti. Dukungan bila terletak pada bagian periwayat tingkat pertama, yakni
tingkat sahabat disebut syahid, sedangkan dibagian bukan periwyat tingkat sahabat disebut sebagai
mutabi’. Dalam penelitian sebuah sanad, syahid yang didukung oleh sanad yang
kuat dapat memperkuat sanat yang diteliti. Begitu pula mutabi’ yang memiliki
sanad yang kuat, maka sanad yang sedang diteliti mungkin dapat ditingkatkan
kekuatannya oleh mutabi’ tersebut. Untuk mengetahui, apakah suatu sanad
memiliki suatu syahid atau mutabi’, maka seluruh sanad itu harus dikemukakan.
Itu berarti, takhrij hadis, harus dilakukan terlebih dahulu. Tampa kegiatan
takhrij hadis, tidak dapat diketahui secara pasti seluruh sanat untuk hadis
yang sedang diteliti.
Dari
keterangan diatas maka dapat penulis simpulkan maka dengan adanya takhrij hadis
member paidah, yakni akan diketahui asal usul riwayat hadis yang akan diteliti,
mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti, dan mengetahui ada
atau tidaknya syahid atau mutabi.
F.
Metode
Takhrij Hadits
Menelusiri hadis sampai kepada
sumber aslanya tidak semudah menelusuri ayat Al-qur’an . untuk menelusuri ayat
Al-Qur’an, cukup diperlukakn kitab kamus Al-Qur’an misalnya, kitab al-Mu’jam
al-Mufhras li Alfazil-Qur’ani Karim susunan Ahmad Fu’at Abdul Baqi, dan sebuah
kitab rujukan mushaf al-qur’an. Untuk menelusuri hadis tidak cukup hanya
mempergunakan sebuah kamus dan sebuah kitab rujukan berupa kitab hadis yang
disusun oleh Mukharrijnya, yang menyebabkan hadis begitu sulit untuk ditelusuri
sampai sumber aslanya karena hadis terhimpun pada banyak kitab
Untk mempermudah menelusuri hadis
dalam buku-buku sumbenya yang asli, secara garis besar ada dua metode yang akan
ditempuh yaitu:[8]
1.
Metode
Takhrij Hadis Menurut Lafazh Pertama
Metode Takhrij hadis menurut lafazh pertma adalah suatu metode yang berasal dari lafazh matan hadis, sesuai
denga urutan huruf-huru hijaiyah dan alfabetis (abjak), sehingga metode ini
mempermudah pencarian hadis yang dimaksud.
Adapun kitab yang menggunakan metode ini, diantaranya kitab Al-Jami’
As-Shaghir Fi Ahadits Al-Basyir An-Nazir,
yang disusun oleh Jalaluddin Abu Fadhil Abd Ar-Rohman Ibn Abi Bakar
Muhammad Al-Khudri As-Suyuthi. Dalam ini, hadis-hadis disusun berdasarkan
urutan huruf hijaiyah sehingga pencarian hadis yang dimaksud sangat mudah. Juga
didalamnya dimuat petunjuk para mukharij hadis yang bersangkutan dan pernyataan
kualitas hadis yang bersangkutan.
2.
Metode
Takhrij Menurut Lafazh-lafazh yang Terdapat Dalam Hadis
Metode takhrij hadis menurut lafazh-lafazh yang terdapat dalam
hadis adalah suatu metode yang berlangdaskan pada kata- kata yang terdapat
dalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini
tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantungkan bagian hadisnya sehingga
pencarian hadis-hadisny yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat.
Kitab yang berdasarkan metode ini diantaranya adalah kitab Al-Mu’jam
Al-Mufahras Li Al-Fazh Al-Hadits An-Nawawi, yang disusun oleh A.J Winsink
dan Kawan-kawan, yang kemudiannya diterjemahkan oleh Muhammad Fu’at Abd
Al-Baqi. Kitab yang menjadi rujukan kitab tersebut adalah shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Inbnu Majah, Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasa’I, Sunan At-Turmuzi,
Muawatha, Imam Malik, dan Musnad Hamad
Bin Hambal.
3.
Mencari
Hadis Berdasarkan Tema
Upaya mencari hadis terkadang tidak didasarkan pada lafazh matan
(Materi) hadis, tetapi didasarkan pada topik masalah. Pencarian matan hadis
berdasarkan topik masalah sangat menolong pengkaji hadis yang ingin memahami
petunjuk-petunjuk hadis dalam segala konteksnya.
Pencarian matan hadis berdasarkan topik masalah tertentu dapat
ditempuh dengan cara membaca berbagai kitab himpunan kutipan kutipan hadis,
namun berbagai kitab itu biasanya tidak menunjukkan teks hadis yang menurut
para periwayatnya masing-masing. Padahal, untuk memahami topik tertentu tentang
petunjuk hadis, diperlukan pengkajian terhadap teks-teks hadis menurut
periwayatan masing-masing. Dengan bantuan kamus hadis tertentu, pengkajian teks
dan konteks hadis menurut riwayat dari berbagai periwayatan akan mudah
dilakukan. Salah satu kamus hadis itu adalah kitab Miftahu Al-Qunuz
As-Sunnah yang mengarang kita
tersebut adalah Dr. A.J Wensinck (W. 1939 M).
G. Kesimpulan
Takrij
hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai
sumber asli dari hadis yang bersangkutan yang didalam sumber itu disebutkan
secara lengkap sanad dan matan hadis disertai dengan penjelasan kualitas hadis tersebut.
Maka dapat dirincikan bahwa mentakhrij berarti melakukan dua hal, pertama,
berusaha menemukan para penulis hadis itu sendiri dengan rangkaian silsilah
sanadnya dan menunjukkannya pada karya-karya mereka. Kedua, memberikan
penilaian kualitas hadis.
Adapun
objek kajian hadis yaitu: rangkaian terhadap sejumlah periwayat yang
menyampaikan riwayat hadis (sanad hadis) dan materi hadis (matan hadis).
Penguasaan
ulama terdahulu terhadap sumber-sumber hadits begitu luas, mereka tidak
kesusahan untuk mengetahui sumber hadits tersebut. Ketika semangat belajar
melemah mereka kesulitan untk mengetahui tempat hadits yang menjadi rujukan
penggali ilmu syari’at. Sebahagian ulam bangkit dan berusaha memperlihat hadits
pada bagian kitab, maka muncullah apa yang dinamakan kutup takhrij.
Ulam
yang pertama kali melakukan takhrij adalah Al-Khathhib Al-Baqdadi wafat pada
tahun 436 H.
Kegunaan
tahkri hadits adalah untuk mengetahui asla usul riwayat hadis yang akan
diteliti. Untuk mengetahui seluruh riwayat
hadits yang akan diteliti. Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan
mutabi’ pada sanad yang diteliti.
Metode
takrij hadits ada tiga yaitu metode tahkrij hadits menurut lafaz pertama.
Metode takhrij hadits menurut lafazh yang terdapat dalam hadis. Mencari hadits
berdasarkan tema.
DAFTAR PUSTAKA
Chumaidiy,
Zarkasyi, Ahmad, (1990), Takhrij Al-Hadis, Mengkaji dan Meneliti Al-Hadis, Bansung:
IAIN Sunang Gunung Jati.
Ath-Thahha
Muhammad, (t.t) , Usul At-Takhrij Wa Dirasah As-Sanid, Riyad: Maktabah
Rosyat.
Al-Qaththan
Ayaikh Manna, (2005), Mabahis Fi Ulumul Al-Hadis, Jakarta: Pustaka
Alkausar.
Ismail
M. Syuhudi (2002), Metodelogi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulang Bintang
Zulheldi,
(2001), Memahami Hadis-hadis yang bertentangan, Jakarta: Nuansa madani
Solahudin
Agus, Suyadi Agus, (2009) Ulumul Hadi, Bandung: Pustaka Setia
Ahmad Muhammad, (2004), Ulumul
Hadis, Bandung: Pustaka Setia
[1]
. Zulheldi, Memahami Hadits-hadits Yang Bertentangan , (Jakarta: Nuansa
Madani, 2001), h. 26
[2]
. Syuhudi Ismail. Metode Penelitian Sanad Hadis, (Jakarta: Bulang
Bintang, 1992), h. 41-42
[3]
. Mahmud Ath-Thahhan, Usul At-Takhrij wa Dirasah As-Sanid, (Riyat: Maktabah Rosyat,
t,t), h. 12
[4]
. Ahmad Zarksyi Chumaidy, Takhrij Al-Hadits, Mengkaji dan Meneliti Hadits, (Bandung:
IAIN Sunan Gunung Jati), h. 7
[5].
Muhammad Ahmad, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 132-136
[6]
. Zulhelmi, Op,Cit, h. 53
[7]
. Utang Ranuwijaya, Ulumul Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 1996),
h. 191
[8]
. Agus Solihin, Agus Suyudi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), h. 196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar