SEJARAH
HADITS MASA PRA KODIFIKASI
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an
adalah sumber pertama syari’ah Islam dan as-Sunnah adalah sumber kedua.
As-Sunnah merupak penjelas al-Qur’an,
perinci hukum-hukumnya, dan mengeluarkan furu’ ‘cabang’ dari ushul ‘pokok’
nya. As-sunnah adalah praktek nyata ajaran Islam yang dilakukan oleh Rasulullah
Muhammad saw. Untuk seluruh umat manusia.Hadits merupakan gambarang aktifitas
kenabian yang berhubungan dengan perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw.
yang dijadikan suri teladan yang baik.
Berpegang
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan rahasia kesuksesan dan kemajuan umat
Islam, sesuai dengan sabda Nabi saw;
Artinya :“Aku
tinggalkan dua hal untuk kalian, yang kalian tidak akan tersesat apabila
berpegang pada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnahku.”
Namun
musuh-musuh Islam, dahulu maupun sekarang, tidak senang melihat umat Islam
berkembang dan meraih kemajuan. Mereka berusaha menghancurkan dasar-dasar Islam
dan menumbuhkan keragu-raguan kaum muslimin terhadap agama mereka.Sungguh
mereka akan menemui kesulitan, jika usaha itu mereka arahkan kepada al-Qur’an.
Itulah sebabnya mereka mengalihkan sasaran kepada as-Sunnah dengan berupaya
mengubahnya.akan tetapi inipun tidak membawa hasil karena umat Islam dan
ulamanya senantiasa mempertahankan dan memelihara as-Sunnah.
Sebagian
tuduhan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam adalah bahwa as-Sunnah telah
diabaikan selama lebih dari dua abad setelah wafatnya Rasulullah saw. (sebelum akhirnya dihimpun
oleh sebagian pengarang dalam kitab-kitab sunan pada abad ke-3 Hijriah).[1]
Tentulah tuduhan ini tidak benar kerena as-Sunnah merupakan penjelas terhadap
al-Qur’an sehinga ia tidak mungkin diabaikan. Dan ternyata bahwa kondisi
as-Sunnah yang terpelihara dengan baik berbeda dengan apa yang mereka tuduhkan.
Kajian
terhadap hadits terutama sejarahnya dalam dunia Islam, tidak terlepas dari
upaya umat Islam dalam melakukan pembelaan atau pemeliharaan dan sanggahan
terhadap sangkaan-sangkaan negative dari kalangan orientalisterhadap keaslian
hadits. Sehubungan dengan itu, kita harus melakukan kajian terhadap as-Sunnah
dan meneliti aspek sejarahnya. Yaitu sejarah perkembangan hadits mulai dari
zaman Rasulullah saw sampai dibukukan seperti yang terdapat pada masa sekarang
ini. Proses pembukuan hadits ini disebut dengan kodifikasi (tadwin).
B.
Pengertian
kodifikasi (al-Tadwin) & Penulisan (al-Kitabah) dan perbedaan keduanya.
1. Pengertian Kodifikasi (al-Tadwin)
Dalam
bahasa Indonesia, kodifikasi memiliki arti “Klasifikasi hukum dan undang-undang
berdasarkan asas-asas tertentu dalam buku undang-undang yang baku”[2].
Sedangkan Kodifikasi dalam bahasa Inggris berasal dari codification yaitu suatu kata benda (noun)
yang berarti “ kodifikasi, penyusunan (undang-undang dan sebagainya)
menurut suatu system.”[3]
Kemudian
kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tadwin, yang berasal
dari kata dawwana, yudawwinu, tadwina, artinya membuktikan, mendaftarkan[4]
atau menulis dan mencatat.[5]
Secara bahasa tadwin diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’
al-shuhuf). [6] secara luas tadwin diartikan dengan al-Jam’u
(mengumpulkan). Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagaimana yang
dikutip oleh Munzeir Saputra dalam bukunya “Ilmu Hadits”. Sebagai berikut:
تقييد
المتفرق المشتت وجمعه فى ديوان او كتاب تجمع فيه الصحوف
“Mengikat yang berserak-serakan kemudian
mengumpulkannya menjadi satu diwan tau kitab yang terdiri dari
lemberan-lembaran”[7]
Sedangkan
secara istilah, tadwin digunakan untuk makna penyusunan dan pembukuan (التصنيف و التألف).[8]
Manna al-Khattan mengatakan bahwa tadwin adalah mengumpulkan shahifah
(lembaran-lembaran) yang sudah tertulis dan yang dihafal dalam dada, lalu
menyusunnya menjadi sebuah buku.[9]
Adapula yang mengartikan kodifikasi hadits dengan proses pembukuan hadits
secara resmi yang dilakukan atas instruksi khalifah (Umar bin Abdul Aziz)
Dengan
demikian tadwin adalah mengumpulkan hadits dari lembaran-lemabaran
sesuai dengan cara tertentu sehingga menjadi sebuah buku agar terpelihara dari
hal-hal yang akan merusak keaslian hadits atau bisa juga diartikan dengan
proses pembukuan hadits secara resmi yang dikodifikasikan oleh pemerintah
(dalam hal ini Khilafah) dan bukan semata-mata kegiatan penulisan hadits saja karena
kegiatan penulisan hadits sudah ada secara berkesinambungan sejak zaman
Rasulullah saw.
2. Pengertian Penulisan (al-Kitabah)
Mahmud
Yunus dalam kamusnya mendefinisikan al-Kitabah dengan “menulis kitab”
yang berasal dari kata: kataba, yaktubu, katban, kitaban, kitabatan.[10]
Maka penulisan merupakan suatu peruses pembuatan, penulisan atau menuliskan
sesuatu. Al-Kitabah juga diartikan dengan perbuatan seseorang dalam
menulis sesuatu pada sebuah atau banyak lembaran/shahifah.[11]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa penulisan (al-kitabah) adalah kegiatan mencatat
atau menulis setiap hadits yang disampaikan oleh Rasulullah saw yang sifatnya
perorangan.
3. Perbedaan kodifikasi dengan penulisan
Berdasarkan
penjelasan diatas dalam pengertian tadwin dan kitabah, maka dapat
dilihat perbedaan mendasar antara tadwin dan kitabah jika dilihat
pada beberapa segi antara lain:
a.
Kitabah sudah
muncul pada masa Rasulullah saw, sedang tadwin baru terjadi pada masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz yaitu pada awal abad II H.
b.
Kitabah bersifat
rahasia dan atas kemauan sendiri, sedangakan tadwin lebih bersifat resmi
dan atas perintah Khalifah.
c.
Kitabah tujuannya
hanya untuk koleksi pribadi, sedangkan tujuan dari tadwin adalah untuk
seluruh umat Islam di seluruh dunia.
d.
Kitabah hanya
melahirkan shahifah (lembaran-lembaran), sedangkan tadwin melahirkan
buku (kitab hadits) sebagai dokumentasi resmi hadits Rasulullah.
C.
Sejarah
Hadits Pra Kodifikasi
Sejarah
hadits pra kodifikasi maksudnya adalah sejarah hadits sebelum dibukukan, mulai
dari zaman Rasul sampai pada masa ditetapkannya pembukuan hadits secara resmi
(tadwin). Masa ini dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu, hadits periode
Rasulullah saw dan periode shahabat.
1. Hadits Periode Rasulullah saw.
Pada
periode ini sejarah hadits disebut “ ‘Ashr al-Wahyi wa at-Takwin” (masa
turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam)[12].
Hasbi Ash Shiddiqiey sebagaimana yang
dikutip oleh Drs. Endang Soetari AD, M.Si mengatakan bahwa pada saat itulah
hadits lahir berupa sabda (aqwal), af’al dan taqrir Nabi yang berfungsi
menerangkan al-Qur’an dalam rangka menegakkan syari’ah Islam dan membentuk
masyarakat Islam. [13]
Rasulullah
saw dalam menyampaikan dakwahnya kepada para shahabanya tidak menyimpang dari
metode al-Qur’an karena Rasulullah saw adalah penyampai kitab Allah (al-Qur’an), penjelas hukum-hukumnya,
dan penerang ayat-ayatnya.
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw secara
beransur-ansur selama 23 tahun. Beliau
menyampaikan kepada kaumnya dan orang-orang yang ada disekitarnya. Beliau merinci
ajaran-ajaran Islam, menerapkan hukum-hukum al-Qur’an. Sepanjang hidupnya,
beliau berperan sebagai Pengajar, Hakim, Qadhi, Mufti, dan Pemimpin. Segala hal
yang berkaitan dengan umat Islam, yang kecil maupun yang besar, dan segala yang
menyangkut pribadi dan jamaah dalam berbagai lapangan kehidupan yang tidak
disebut dal al-Qur’an, tercakup dalam As-Sunnah: amaliyah (perbuatan), qauliyah
(ucapan), atau taqririyah (izin).[14]
Dari sinilah kita menemukan hukum-hukum, norma-norma akhlak, ibadah-ibadah, dan
cara mendekatkan diri kepada Allah yang
disyari’atkan, dipraktekkan dan
disunnahkan selama seperempat abad.
As-Sunnah
disyari’atkan semata-mata untuk mendidik umat Islam dalam berbagai aspek
kehidupan baik bidang agama, sosial, akhlak, politik, hokum, mu’amalah serta
semua bidang keilmuan dan amal .
Dalam
membina para shahabat, Rasulullah saw menjadikan rumah al-Arqam sebagai tempat pembinaan
para shahabat pada masa-masa dakwah secara sembunyi-sembunyi. Kaum muslimin
generasi awal berkerumun di sekeliling beliau, jauh dari kaum musyrikin untuk
mempelajari kitab Allah swt. Kepada mereka beliau mengajarkan dasar-dasar Islam
dan menyampaikan wahyu al-Qur’an. Setelah itu tempat tinggal Rasulullah saw di
Makkah menjadi tempat barkumpul (nadwah) dan institusi (ma’had)
mereka untuk menerima al-Qur’an dan menyerap hadits yang mulia, lansung dari
Rasulullah saw..[15]
Rasulullah
hidup ditengah-tangah para shahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bergaul dengan
beliau secara bebas. Tidak ada perantara yang menghalangi mereka bergaul dengan
beliau. Yang tidak dibenarkan hanyalah mereka lansung masuk ke rumah nabi dikala
beliau tidak ada di rumah. Yakni mereka tidak boleh masuk ke rumah dan
berbicara dengan para istri Nabi tanpa hijab.[16]
Nabi
saw sebagai Rasul, sangat disegani dan ditaati oleh para shahabat, sebab mereka
sadar bahwa mengikuti Rasul dan sunnahnya adalah keharusan dalam berbakti
kepada Allah swt. Seluruh perbuatan Nabi saw, demikian juga seluruh ucapan dan
tutur-kata beliau menjadi tumpuan perhatian para shahabat. Segala gerak gerik
beliau mereka jadikan pedoman hidup. Oleh karena itu para shahabat sangat bersungguh-sungguh
dalam menerima segala yang diajarkan Nabi saw baik berupa wahyu al-Qur’an
maupun haditsnya. Dan disamping dorongan
keagamaan, mereka juga mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang teguh serta
mempunyai kecerdasan dan kecepatan dalam memahami sesuatu.[17]
Berdasarkan
kesungguhan meniru dan meneladani Nabi saw, berganti-gantilah para shahabat
yang jauh rumahnya dari masjid, mendatangi majlis-majlis Nabi.
Kabilah-kabilah
yang tinggal jauh dari kota Madinah selalu mangutus salah seorang anggotanya
pergi mendatangi Rasul untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka
ke kampung, merekapun segera mengejarkan kawan-kawannya sekampung. Hal ini
menerangkan, bahwa para shahabat sangat benar-benar memperhatikan gerak gerik
Nabi dan sangat memerlukannya untuk mengetahui segala apa yang disabdakan
Nabi. Mereka meyakini, bahwa mereka
diperintahkan mengikuti dan menta’ati Nabi saw.
Dari
keterangan di atas dapat dipahami bahwa hadits diterima para shahabat dengan secara lansung maupun tidak lansung dari
segala cara hayat Nabi saw. Penerimaan hadits secara lansung misalnya sewaktu
nabi memberikan ceramah, pengajian, khutbah dan penjelasan terhadap pertanyaan
para shahabat. Adapun yang tidak lansung, seperti mendengar dari shahabat lain
atau dari utusan-utusan, baik dari utusan Nabi saw ke daerah-daerah atau utusan
daerah yang datang kepada Nabi saw.[18]
Para shahabat setelah menerima hadits Nabi saw dalam memelihara hadits-hadits
yang mereka terima, mereka berpegang pada kekuatan hafalan.[19]
Pada
masa Nabi saw., kepandaian tulis baca dikalangan para shahabat sudah
bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Kepandaian tulis baca tersebut
misalnya yang dibawa ke Makkah dari daerah Hirah, dibawa antara lain oleh Harb
Ibn Umayyah, seorang yang banyak melawat yang kemudian orang-orang quraisy
belajar padanya.
Oleh
karena kecakapan tulis baca di kalangan shahabat masih kurang, maka Nabi
menekankan untuk menghafal hadits, memahami, memelihara,
mematerikan/memantapkan dalam amalan sehari-hari, serta mentablighkannya kepada
orang lain.
Nabi
bersabda :
Artinya :“Mudah-mudahan
Allah mengindahkan seseorang yang
mendengar ucapanku lalu dihafalnya, difahaminya, dan disampaikannya kepada
orang persis sebagai yang didengarnya, karena banyak sekali orang yang
kepadanya disampaikan berita lebih paham dari yang mendengarnya sendiri.” (HR.
Abu Daud dan al-Tirmidzi)
Dengan
demikian, periwayatan hadits pada masa Nabi saw pada umumnya secara musyafahah-musyahadah,
menerima secara lisan, menginventarisir dan memelihara dalam hafalan dan
amalannya, serta menyampaikannya secara lisan pula.
Para
shahabat tidak sederajat dalam menerima dan mengetahui hadits dari Nabi saw
karena adanya faktor tempat tinggal, pekerjaan, usia, dan hal lainnya. Ada
sahabat yang banyak mengetahui hadits karena lama berjumpa dan berdialog dengan
Nabi saw dan ada yang sedikit saja menerima hadits.
Adapun
Para shahabat yang banyak menerima hadits dari Nabi saw antara lain[20]:
1. Yang
mula-mula masuk Islam (assabiqunal awwalun), seperti: Abu Bakar, Umar, Usman, Ali,
Abdullah bin Mas’ud.
2. Yang
selalu menyertai Nabi saw dan berusaha keras menghafalnya, sepertia; Abu
Hurairah; yang mencacatnya, seperti : Abdullah ibn Amr ibn Ash.
3. Yang
lama hidupnya sesudah Nabi saw., dapat menerima hadits dari sesame shahabat,
seperti: Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas.
4. Yang
erat hubungannya dengan Nabi saw., yaitu ummu al-Mu’minin, seperti :
Aisyah, Ummu Salamah.
Pada
masa Nabi dalam rangka memelihara al-Qur’an, Nabi saw menyuruh para shahabat
menghafal dan menulisnya, serta secara resmi mengankat penulis wahyu yang
bertugas mencatat setiap ayat al-Qur’an yang turun atas petunjuk lansung dari
Nabi saw., sehingga sepeninggal Nabi saw seluruh ayat al-Qur’an sudah tercatat
walau belum terkumpul dalam suatu mush-haf.
Terhadap
Hadits, Nabi memerintahkan untuk dihafal dan ditablighkan dengan tidak boleh
sama sekali mengubahnya, tapi tidak menyelenggarakan penulisan secara resmi
seperti penulisan al-Qur’an.
Sebab-sebab
penulisan Hadits tidak diselenggarakan secara resmi pada masa Nabi saw. adalah:
1. Agar
tidak ada kesamaran terhadap al-Qur’an dan menjaga agar tidak bercampur antara
catatan al-Qur’an dengan hadits. Karena al-Qur’an dihafal dan ditulis sedangkan
hadits dihafal juga.
2. Pencatatan
al-Qur’an yang beransur-ansur turunnya memerlukan perhatian dan pengerahan
tenaga penulis yang kontinyu, sedang shahabat yang pandai menulis sangat
terbatas, maka tenaga yang ada dikhususkan untuk menulis al-Qur’an.
3. Menyelenggarakan
pemeliharaan hadits dengan hafalan tanpa tuliasan secara keseluruhan berarti memlihara
kekuatan hafalan di kalangan umat islam atau bangsa Arab yang sudah terkenal
kuat hafalannya.
4. Penulisan
hadits dengan segala ucapan, amalan, muamalah dan sebagainya merupakan hal yang
sulit sekali secara teknis, dibutuhkan adanya penulis yang harus terus menerus
menyertai Nabi saw dalam segala hal.[21]
2. Masalah larangan dan kebolehan menulis hadits
M.
Ajaj Al-Khatib di dalam bukunya “As-Sunnah qabla at-Tadwin” mengemukakan
hadits-hadits Rasulullah saw, tentang penulisan hadits, baik yang melarang penulisan
maupun yang membolehkannya.
1. Hadits-hadits
yang melarang Penulsan Hadits
a. Abu
Sa’id al-Hudzri meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “Janganlah
kalian menulis (hadits) dariku, dan barang siapa yang menulis dariku selain
al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya.”
Ini adalah hadits
Rasulullah saw yang paling shahih tentang larang menulis hadits.[22]
b. Abu
Sa’id al-Khudzri berkata, “ Kami memohon kepada Rasulullah saw. agar beliau
mengizinkan kami menulis, namun beliau tidak mengizinkan. Dalam suatu riwayat
dikatakan, “Kami meminta izin Kepada Nabi saw. untuk menulis hadits, namun
beliau tidak mengizinkan.
c. Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw mendatangi kami dan kami sedang
menulis hadits. Kemudian beliau bertanya: Apa yang dengang kelian tulis ini?
Kami menjawab, Kami menulis hadits yang kami dengar dari engkau, ya Rasulullah
saw. beliau bersabda:
Artinya :“Tulisan selain kitab Allah?
Apakah kalian mengetahui? Bangsa-bangsa sebelum kalian tidak sesat kecuali
karena menulis tulisan lain bersama Kitab Allah swt. “
2. Hadits-hadits
yang membolehkan Penulisan
a. Abdullah
bin Amr bin al-Ash r.a. berkata, “Saya menulis segala yang saya dengar dari
Rasulullah saw. saya hendak menghafalnya, namun orang-orang Quraisy melarangku.
Mereka berkata, ‘Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari
Rasulullah saw./, sedangkan beliau manusia yang kadang kala berbicara dalam
keadaan marah dan senang. ‘Saya pun berhenti menulis. Kemudian saya ingat
kepada beliau, ketika beliau menunjukkan jari ke mulutnya dan bersabda,
Artinya : “Tulislah!
Maka demi Allah yang jiwaku berada ditanganNya, tidak keluar darinya (mulut)
kecuali kebenaran.”
b. Abu
Hurairah berkata, “tidak ada seorangpun dari shahabat Nabi saw. yang menjadi
sumber riwayat hadits yang lebih banyak dibandingkan dengan aku, kecuali
riwayat dari Abdullah bin Amr karena dia menulis, sedang aku tidak menulis.
c. Diriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa seorang shahabat Anshar menyaksikan hadits Rasulullah
saw., namun ia tidak hafal. Ia bertanya kepada Abu Hurairah dan Abu Hurairah
memberitahuka kepadanya. Kemudian ia mengadu kepada Nabi saw tentang lemahnya
daya hafalnya. Nabi bersabda kepadanya,
استعن
على حفظك بيمينك
“Buatlah hafalannmu dengan tangan kananmu (menulis).”
d. Diriwayatkan
dari Rafi’ bin Khadij bahwa ia berkata, “Ya, Rasulullah! Kami mendengar banyak
hal (hadits) darimu. Apakah kami boleh menulisnya?” Beliau bersabda: “Tulislah
dna tidaklah mengapa”.
e. Diriwayatkan
dari Anas bin Malik bahwa ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Ikatlah
Ilmu dengan tulisan”
f. Diriwayatkan
dari Rasulullah saw. bahwa belisu menulis tentang sedekah, diyat, faraidh, dan
Sunnah-Sunnah untuk Amr bin Hazm dan yang lainnya.
g. Diriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa ketika Allah memberikan kemenangan kepada Rasulullah
atas kota Makkah, Rasul berdiri dan berpidato. Kemudian seseorang dari Yaman,
Abu Syah, berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah! Tuliskanlah pidato itu untuk
ku”. Beliau bersabda kepada shahabat lain, ( اكتب له) “Tuliskanlah untuknya!”
Abu Abdurrahman
(Abdullah bin Ahmad) berkata, tidak ada satupun hadits tentang penulisan hadits
yang lebih shahih dibandingkan hadits diatas karena Rasulullah memerintahkan
para shahabat untuk menuliskannya. Beliau bersabda, (اكتبوا
الابي شاه )
“Tuliskanlah untuk Abu Syah.”
h. Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, “ketika Nabi saw. sakit keras beliau
bersabda:
ايتوني
بكتاب اكتب لكم كتابا لاتضلوا بعده
Artinya:“Bawakan
aku buku, aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian sehingga kalian tidak akan
sesat sesudahnya.”
Terhadap perbedaan pendapat dan dalil-dalil Hadits
tersebut diatas para ulama telah mengadakan penela’ahan, analisis, pembahasan
atau memunaqasahkan sampai diketahui ketentuan hukum dari penulisan hadits
tersebut, sebagai berikut:[23]
a. Larangan
penulisan hadits berhubungan dengan soal hafalan dan pemeliharaannya, mereka
berpendapat:
1. Penulisan
hadits dilarang untuk memeluhara daya hafalan bangsa Arab yang kuat; kalau sudah
tergantung pada catatan, maka kekuatan hafalannya akan berkurang, sehingga
dengan demikian menulis hadits tidak dibolehkan.
2. Kelau
menulis hadits untuk sekedar penghafalan dan kalu sudah dihafal lalu dihapus,
maka dibolehkan menulis hadits tersebut.
3. Larangan
menulis hadits adalah bagi yang kuat ingatan atau hafalan dan yakin tidak akan
lupa, maka bagi yang takut lupa diperbolehkan menulis hadits.
b. Titik
sasaran/persoalan larangan penulisan hadits terletak pada soal kekhawatiran
tercampurnya antara al-Qur’an dan al-Hadits, maka ada pendapat yang menyatakan.
1. Pada permulaan
Islam, karena kekhawatiran itu lebioh menonjol, maka penulisan hadits dilarang,
tapi setelah bilangan umat Islam semakin banyak dan mereka mampu membedakan
antara al-Qur’an dna Hadits, maka larangan itu sudah tidak perlu lagi dan
diizinkanlah penulisan Hadits itu.
2. Penulisan
Hadits dilarang bagi penulisan wahyu dan al-Qur’an atau kepada siapa yang
menulis Haditsnya ditempat yang sama dengan catatan al-Qur’an.
3. Sedangkan
larangan penulisan Hadits berlaku pada saat al-Qur’an diturunkan, maka diwaktu
selain/setelah itu, penulisan hadits diizinkan.
4. Penulisan
hadits dilarang atau tidak dilakukan adalah untuk menyelenggarakan penulisan
secara formal sebagai tadwin al-Qur’an, tapi diperbolehkan dan dilakukan untuk
keperluan perorangan.
c. Bahwa
penelitian atas hadits-hadits yang menjadi dasar bagoi kedua pendapat tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Hadits yang
berisi larangan dihadapkan bagi umum, dan hadits yang mengizinkan menuliskan
ditujukan secara khusus.
2.
Sebagian ulama
berpendapat bahwa hadits Abu Sa’id
al-Khudri adalah mauquf, tidak dapat dijadikan hujjah. Namun
terhadap pendapat ini ulama lain membantah, karena hadits Abu Sa’id al-Khudri tedapat pada shahih Muslim dan Marfu’.
3.
Dari kenyataan
bahwa wurud Hadits Abu Syah pada masa futuh Makkah, Hadits Abu
Sa’id al-Khudri tidak diamalkan secara
umum oleh shahabat dan ijma’ (sukuti) para ulama yang membolehkan
aktivitas tadwin, merupakan qarinah yang kuat bahwa izinlah yang
terakhir datangnya; maka para ulama menetabkan bahwa Hadits Abu Sa’id al-Khudri tentang larangan menulis Hadits di-nasakh
oleh hadits yang memerintahkannya antara lain Hadits tentang Abu Syah tersebut.
3. Periode sahabat (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali)
Nabi
wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai
dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits yang harus dipegangi bagi pengaturan
seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi saw wafat, kendali kepemimpinan umat
Islam berada di tangan shahabat Nabi. Shahabat Nabi yang pertama menerima
kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as- Shiddiq ( wafat 13 H/634 M) kemudian
disusul oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35
H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam
sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya
biasa disebut juga dengan zaman shahabat besar[24].
Sesudah
Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era shahabat besar dan menyusul era
shahabat kecil. Dalam pada itu muncullah pra tabi’in besar yang bekerjasama
dalam perkembangan pengetahuan dengan para shahabat Nabi yang masih hidup pada
masa itu. Diantara shahabat Nabi yang masih hidup setelah periode al-Khulafa
al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadits Nabi
saw ialah ‘A’isyah istri Nabi (wafat 57 H/578 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678
M), ‘Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin al-Khatthab
(wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M).[25]
Para
shahabat mengetahui kedudukan As-Sunnah sebagai sumber syari’ah pertama setelah
Al-Qur’anulkarim. Mereka tidak mau menyalahi as-Sunnah jika as-Sunnah itu
mereka yakini kebenarannya, sebagaimana mereka tidak mau berpaling sedikitpun
dari as-Sunnah warisan beliau. Mereka berhati-hati dalam meriwayatkan hadits
dari Nabi saw. karena khawatir berbuat kesalahan dan takut as-Sunnah yang suci
tiu ternodai oleh kedustaan atau pengubahan. Oleh karena itu mereka menempuh
segala cara untuk memelihara hadits, mereka lebih memilih bersikap “sedang
dalam meriwayatkan hadits” dari Rasulullah., bahkan sebagian dari mereka lebih
memilih bersikap “sedikit dalam meriwayatkan hadits”.[26]
Periode shahabat disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min
al-riwayah” yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat.[27]
Dalam prakteknya, cara
shahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni[28]:
a. Dengan
lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi saw yang mereka
hafal benar lafazhnya dari Nabi saw.
b. Dengan
maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena
tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi saw.
Berikut
ini dikemukakan sikap al-Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadits
Nabi.
a. Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut
Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu Bakar merupakan
shahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan
hadits. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala
menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek
menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta yang
ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak melihat petunjuk
al-Qur’an dan prektek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu
Bakar lalu bertanya kepada para shahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan
kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta warisan kepada nenek
sebesar seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi menetabkan
kewarisan nenek itu. Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar meminta agar
al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan
kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar
menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan
hadits Nabi saw yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.[29]
Kasus
di atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat
hadits, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar
meminta kepada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi.
Bukti
lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadits terlihat pada
tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits miliknya. Putri Aisyah,
menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima
ratus hadits. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia
membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan
hadits.[30]
Hal ini menjadi bukti sikap kehari-hatian Abu Bakar dalam periwayatan hadits.
Data
sejarah tentang kediatan periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada masa
Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada masa
pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai ancaman
dan kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan
kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam pada itu tidak
sedikit shahabat Nabi, khususnya yang hafal Qur’an, telah gugur di berbagai
peperangan. Atas desakan Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar segara melakukan penghimpunan
al-Qur’an (jam’ al-Qur’an).[31]
Jadi
disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar dapat
dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam.
Walaupun demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan
hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni sangat
berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara lain terlihat pada pemerikasaan hadits
yang diriwayatkan oleh para shahabat.
b. Umar bin al-Khatthab
Umar
dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadits. Hal ini terlihat, misalnya,
ketika umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar barulah
bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para shahabat yang lain,
diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadits Nabi tentang apa
yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi
Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian,
karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadits ini.
Apa
yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh Abu Musa
al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain.[32]
Kesemua itu menunjukkan kehati-hatian Umar dalam periwaytan hadits.
Disamping
itu, Umar juga menekankan kepada para shahabat agar tidak memperbanyak
periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu
konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an.
Kebijakan
Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadits, sesungguhnya
tidaklah bahwa Umar sama sekali melarang para shahabat meriwayatkan hadits.
Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi
dimaksudkan: [a] agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits,
[b] agar perhatian masyarakat terhadap al-Qur’an tidak tergangu. Hal ini
diperkuat oleh bukti-bukti berikut ini[33]:
1. Umar
pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari hadits Nabi dari
para ahlinya, karena mereka lebih menetahui tentang kandungan al-Qur’an.
2. Umar
sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi, Ahmad bin Hanbal telah
meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga ratus
hadits. Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menyebutkan nama-nama shahabat dan
tabi’in terkenal yang telah meneriam riwayat hadits Nabi dari Umar. Ternyata
jumlahnya cukup banyak.
3. Umar
pernah merencanakan menghimpun hadits nabi secara tertulis. Umar meminta
pertimbangan kepada para shahabat. Para shahabat menyetujuinya. Tetapi satu
bulan umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan melakukan shalat istikharah,
akahirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia khawatir himpunan hadits itu akan
memalingkan perhatian umat Islam dari al-Qur’an. Dalam hal ini, dia sama sekali
tidak nenampakkan larangan terhadap periwayatan hadits. Niatnya menghimpun
hadits diurungkan bukan karena alas an periwayatan hadits, melainkan karena
factor lain, yakni takut terganggu konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an.
Dari
uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada zaman Umar bin
al-Khatthab telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila dibandingkan
dengan zaman Abu Bakar. Hal ini bukan hanya disebabkan karena umat islam telah
lebih banyak menghajatkan kepada periwayatan hadits semata, melainkan juga
karena khalifah Umar telah pernah memberikan dorongan kepada umat islam untuk
mempelajari hadits Nabi. Dalam pada itu para periwayat hadits masih agak
“terkekang” dalam melakukan periwaytan hadits, karena Umar telah melakukan pemeriksaan hadits yang cukup
ketat kepad para periwayat hadits. Umar melakukan yang demikian bukan hanya
bertujuan agar konsentrasi umat Islam tidak berpaling dari al-Qur’an, melainkan
juga agar umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadits.
Kebijakan Umar yang demikian telah menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung
jawab melakukan pemalsuan-pemalsuan hadits.
c. Usman bin Affan
Secara
umum, kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa
yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya. Hanya saja, langkah
‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin Khatthab.
‘Usman
secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hambal
meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat ‘Usman sekitar empat puluh
hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang terulang, karena perbedaan sanad.
Matn hadits yang banyak terulang itu adalah hadits tentang berwudu’.[34]
Dengan demikian jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Usman tidak sebanyak
jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khatthab.
Dari
uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman ‘Usman bin Affan, kegiatan
umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak dibandingkan bila
dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman ‘Umar bin Khatthab. Usman
melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan
hadits. Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para
perawi tertentu yang bersikap “longgar” dalam periwaytan hadits. Hal tersebut
terjadi karena selain pribadi ‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga karena
wilayah Islam telah makin luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan
bertambahnya kesuliatan pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.
d. Ali bin Abi Thalib.
Khalifah
Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh
berbeda dengan sikap para khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadits.
Secara umum, Ali barulah bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah
periwayat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang
disampaikannya itu benar-benar dari Nabi saw. hanyalah terhadap yang
benar-benar telah diparcayainya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi
sumpah dalam periwayatan hadits bagi ‘Ali tidaklah sebagai syarat muthlak
keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang
menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar tidak mungkin keliru.
‘Ali
bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang
diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan).
Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda (diyat),
pembahasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larang melakukan
hokum kisas (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir [35].
Ahmad
bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat ‘Ali bin Abi Thalib
sebanyak lebih dari 780 hadits. Sebagian mant dari hadits tersebut
berulang-ulang karena perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam Musnad
Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadits yang terbanyak bila
dibandingkan dengan ke tiga khalifah pendahulunya.[36]
Dilihat
dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits
pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya. Akan
tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah berbeda dengan siatuasi pada
zaman sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentang politik dikalangan umat Islam
telah makin menajam. Peperangan antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung
Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini membawa dampak negative dalam bidang kegiatan
periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong terjadinya pemalsuan
hadits.[37]
Dari
urai di atas dapat disimpulkan, bahwa kebijaksanaan para khulafa al-Rasyidin
tentang periwayatan hadits adalah sebagai berikut:
a. Seluruh
khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadits
b. Larangan
memperbanyak hadits, terutama yang ditekankan oleh khalifah ‘Umar, tujuan
pokoknyaialah agar periwayat bersikap selektif dalam meriwayatakan hadits dan
agar masyarakat tidak dipalingkan perhatiannya dari al-Qur’an
c. Penghadiran
saksi atau mengucapkan sumpah bagi periwayat hadits merupakan salah satu cara
untuk meneliti riwayat hadits. Periwayat yang dinilai memiliki kredibilitas
yang tinggi tidak dibebani kewajiabn mengajukan saksi atau sumpah
d. Masing-masing
khalifah telah meriwayatkan hadits. Riwayat hadits yang disampaikan oleh ketiga
khalifah yang pertama seluruhnya dalam bentuk lisan. Hanya ‘Ali yang
meriwayatkan hadits secara tulisan disamping secara lisan.
Adapun
penulisan hadits pada masa Khulafa al-Rasyidin masih tetap terbatas dan
belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah umar bin khattab
mempunyai gagasan untuk membukukan hadits, namun niatan tersebut diurungkan
setelah beliau melakukan shalat istikharah.
Para
shahabat tidak melakukan penulisan hadits secara resmi, karena
pertimbang-pertimbangan:[38]
a. Agar
tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an. Perhatian shahabat
masa khulafa al-Rasyidin adalah pada al-Qur’an seperti tampak pada
urusan pengumpulan dan pembukuannya sehingga menjadi mush-haf.
b. Para
shahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits
D.
Penutup
1. Kesimpulan
a. Kodifikasi
(tadwin) mengacu kepada penyusunan secara sistematis dari
lemberan-lembaran yang ada secara resmi yang dikoordinasikan oleh pemerintah
dalam hal ini adalah khalifah kedalam sebuah kitab yang tersusun
b. Sedangkan
penulisan (kitabah) adalah kegiatan mencatat atau menulis setiap hadits
yang disampaikan oleh Rasulullah saw yang sifatnya perorangan.
c. Pada
masa Rasulullah saw para shahabat lebih fokos kepada al-Qur’an yang harus
mereka hafal dan catat, sementara hadits hanyasebatas dihafal, ditabligkan dan
diamalkan dan belum ada perintah resmi menulis hadits dari Rasul.
d. Dalam
masalah penulisan hadits terdapat larangan menulis hadits yang berlaku secara
umum karena dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’an, sementara bagi orang
yang tidak dikhawatirkan terjadinya percampuran maka menulis hadits dibolehkan
secara perorangan.
e. Ada
dua cara shahabat menerima hadits dari Rasulullah saw. yaitu secara lansung (musyaddah),
dan secara tidak lansung (musyafahah),
f. Sejarah
hadits pada masa shahabat tidak jauh berbeda dengan sejarah hadits pada masa
rasulullah saw, bahkan pada masa shahabat dilakukan penyediktkan riwayat ,
dengan tujuan memlihara kemurnian hadits.
g. Pada
masa shahabat, dalam menerima hadits mereka sangat teliti. Dalam membuktikan
kebenaran hadits, dibuktikan dengan saksi dan sumpah.
DAFTAR
PUSTAKA
AL-Khatiib,M.
Ajaj, Sunnah Qabla Tadwin,(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet. 1
Yudianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung:[ttp],
2006).
M. Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003)
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta:
PT. Hidakarya Agung, 1989)
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
(Surabaya; Pustaka Progresif, 1997)
Al-Fairuz Abadi, Al-Muhit
Saputra, Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002)
ibn
Muthar al-Zahrani, Muhammad, Tadwin As-Sunnah An-Nabawiyah ( Madinah:
Dar el-Khudairy, 1998)
al-Khattan,
Manna, Mabahits fi Ulum al-Hadits, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992).
Soetari
AD, Endang, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997)
Ash
Shiddieqy, Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Bulan
Bintang, 1974)
Ismail,
Syuhudi, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits, (Jakarta: Bulan Bintang,
1995)
[1] M. Ajaj AL-Khatiib: penterjemah
AH. Akrom Fahmi, Sunnah Qabla Tadwin,(Jakarta: Gema Insani Press, 1999),
Cet. 1, h. 22
[3] John M. Echols dan Hassan Shadily,
Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h.
122
[4]Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989) h. 132
[5] A.W. Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya; Pustaka Progresif, 1997) h. 435
[6] Al-Fairuz Abadi, Al-Muhith…..
[7] Munzier Saputra, Ilmu Hadits,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 88-89
[8] Muhammad ibn Muthar al-Zahrani, Tadwin
As-Sunnah An-Nabawiyah ( Madinah: Dar el-Khudairy, 1998) h. 14
[10] Mahmud Yunus, Loc. Cit, h.
366
[11] Manna al-Khattan, Loc. cit
[13] Ibid
[15] Ibid, h. 73
[17] Drs. H. Endang Soetari
AD, M.Si, op.cit, h. 34
[18] Ibid
[19] Raja’ Mushthafa Hazin, A’lam
al-Muhaddisin wa nahijuhum. (Kairo: Univesitas al-Azhar, t.th), h. 20
[20] Ibid, h. 35
[21] Ibid
[22] M. Ajaj AL-Khatiib: penterjemah
AH. Akrom Fahmi, Loc. cit, h. 345
[23] Drs. H. Endang Soetari AD, M.Si,
Loc. Cit. 38
[24] M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah
Keshahehan Sanad Haits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 41
[25] Ibid
[26] M. Ajaj AL-Khatiib: penterjemah
AH. Akrom Fahmi, Loc. cit, h. 124
[27] Drs. H. Endang Soetari AD, M.Si,
Loc. Cit. 30
[28] Ibid, h. 46
[29] Ibid. h. 42
[30] Ibid, h.43
[31] Ibid, h. 44
[32] Ibid
[33] Ibid, h .46
[34] Ibid, h. 47
[36] Ibid
[37] Ibid, h. 49
[38] Drs. H. Endang Soetari
AD, M.Si, Loc. cit, 41-46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar